Minggu, 29 Januari 2012

Cookaphobia

Diposting oleh Ken Mercedez di 21.14.00
         
  Aku paling gak suuuuuka masak.  Buatku, memasak itu ibarat penindasan. Aku harus motong – motong bawang dengan pisau yang tajam, menumbuk, menggiling adonan, mixer, menggoreng yang beresiko kena percikan minyak, dan bermain api untuk menghidupkan kompor. Agh, pokoknya aku Cookaphobia!
*
            “Machi, ayo bantu Mama masak!” terdengar suara ibuku yang lebih mirip seperti orang hendak membeli kue machi. Sialnya, namaku Machi, jadi mirip nama kue kan. Ibuku bilang waktu hamil mengidam kue machi. Jadilah diriku yang berpipi tembam namun, ehem, tubuh tetap ideal. Hehehe.
            “Ma, aku lagi ngerjain PR. Deadline nih,” aku sok sibuk. Mama menggerutu, tapi kemudian suaranya mulai mengecil, semakin kecil, lalu menghilang. Hihihi... pokoknya aku gak mau berurusan dengan dapur, aku kan wanita modern.
            Aku mulai berkutat dengan kertasku yang lebih banyak kugambari desain baju. Setahun lagi aku akan lulus SMK. Cita – citaku adalah menjadi desainer busana. Ohoho...
            Suara musik yang liriknya saja aku tidak mengerti karena menggunakan bahasa korea mengalun dari handphoneku. Segera kulirik nama yang tertera disana, “Intan”. Wah, ada apa si gendut itu sms aku siang – siang begini?
            Ikut aku, ada kontes memasak.cepetan, 15 menit harus nyampe sekolah!
            Hah, 15 menit? Memangnya aku mesin jet? Tapi Si Gendut itu bakal mengacau kalau tidak ada aku. Aku harus menyelamatkan dunia, kalau tidak bisa rusak acara memasak itu di sekolah. Dia bisa melahap semuanya, bahkan mungkin pancinya juga. Hihi...
            Setelah semua siap, aku segera berangkat. Tidak lupa aku mencium tangan Mama yang bau masakan, bikin lupa diri hampir gigit tangan mama. Kuhidupkan mesin motor matic-ku lalu segera meluncur ke sekolah.

*
“Lama banget sih,” Intan menggerutu ketika aku datang. Matanya tidak lepas dari para kontestan yang lagi memasak.
“Emangnya aku pesawat jet, apa?” kataku keki. “Lagian kamu hobi banget nonton anak tata boga lagi praktek?”
“Eh Chi, mencium aromanya aja sudah menggugah selera. Kalau makan masakannya pasti lebih heboh lagi,” Intan heboh.
Aku hanya geleng – geleng kepala. Iya deh, aku ikut aja.
“Liat, yang itu murid baru,” Intan menunjuk seorang cowok di ujung kiri yang sedang sibuk meracik bumbu. Aku mengikuti arah tangan gemuk Intan. Wuaw, itu cowok apa Angel? Aku terpesona. Baru kali ini ketemu orang seganteng itu. Tinggi, rambutnya lurus dan tidak dimodel nyeleneh, bibirnya kecil, kulitnya bersih. OMG, keren banget!
“Baru pertama kali ya liat orang ganteng?” Intan menyikut lenganku, membuyarkan lamunanku.
“Ehehe, iya.” Aku tersipu. “Namanya siapa?”
“Edo,”
“Wah, Edoardo. Jo t’amor,” bisikku.
“Ngawur! Mana mungkin namanya Edoardo. Hahaha,” Intan cekikikan. “Namanya Raden Mas Edo Karto Wijoyo Kusumo,”
Busyet, nama kok kayak kereta gerbong 7. Ckckck... Tapi gak apalah, yang penting ganteng.
“Kira – kira udah punya cewek nggak ya, Tan?”
“Gosipnya sih belum. Tapi kriteria ceweknya harus yang jago masak,”
“Yaaaah... gak mungkin diriku dong,” nyaliku merosot.
“Usaha dong, Chi. Usahaaaa!” Intan ngotot.
“Kalo dia udah bisa masak, kenapa ceweknya juga harus pinter masak? Apa dia gak pengen keahlian yang lain gitu?”
“Meneketehek,” Intan angkat bahu. Hiks, harus berkutat dengan dapur nih. Gak apa deh, demi Edoardo Kusumo. Gunung kan kudaki, lautan kan kusebrangi, dapur kan kukuasai.
*
            Dengan tekat sekuat baja anti karat, aku pun mulai belajar memasak. Dari memasak bawang hingga ayam kucoba semuanya. Hari pertama, dapur seperti hampir meletus. Hari kedua, dapurku seperti terkena gempa. Hari ketiga seperti terkena angin puting beliung. Mama memarahiku setiap hari. Mama sangat menjaga kebersihan, terutama dapur yang sudah seperti museum seni baginya. Sementara aku masih bertahan dengan semua keteledoranku. Tentu saja Mama memarahiku tanpa ampun. Hiks...
            “Sudah, jangan masak di dapur Mama lagi,”  kata Mama di hari ke-empat aku belajar memasak.
            “Terus belajar dimana,Ma?” kataku dengan tampang memelas.
            “Terserah. Kan kamu biasa kerumah Intan. Disekolah kan juga ada laboratoriumnya,”
            Aku menghela nafas berat. Ya sudah, sepertinya tidak ada peluang lagi untuk memasak di rumah. Sebaiknya aku diskusikan saja dengan Intan. Dia harus tanggung jawab. Bagaimanapun dia yang menunjukkan aku si cowok ganteng itu. Kalo dia gak nunjukin si Edoardo itu kan aku gak mungkin belajar masak, sudah tahu aku Cookaphobia.
            “Kita masak di sekolah aja deh, Chi,” usul Intan ketika aku berdiskusi dengannya via telepon.
            “Kenapa, Tan?”
            “Kamu sendiri udah ngancurin dapurmu. Kalo dapurku ikutan ancur, bisa dimarahin Enyak nih,”
            “Yah... Tapi kita kan gak bisa leluasa memasak di sekolah,Tan,”
            “Bisa kok. Aku kenal juru kuncinya,”
            “Juru kunci? Kayak keraton aja deh. Jangan ngaco deh, Tan,” kataku meremehkan. Mana mungkin ada juru kunci segala.
            “kamu kurang gaul, Chi. Temen – temenku yang di jurusan tata boga kan banyak. Aku kenal orang kepercayaan yang ngawasi laboratorium,”
            “Siapa coba?” aku menantang.
            “Leo,” kata Intan singkat, padat, dan jelas.
            “Ah, ogah. Gak mau! Leo orangnya galak,”
            “Gak juga. Kamu belum kenal dia aja. Ya udah, bateraiku lowbat. Udah dulu ya!” Intan segera mematikan teleponnya.
            Ugh, mana bisa macan Leopard ditundukkan.  Aku jadi pesimis. Tapi ketika membayangkan wajah si ganteng Edoardo nyaliku jadi berapi – api. Aku kan langsing, kulit bersih, tinggiku juga lumayan, rambut rebondingan. Ohoho, kayaknya aku pantes deh bersanding dengan Edoardo. Hanya saja yang jadi kendala adalah keahlianku dalam memasak. Wah, ini harus segera kukuasai sebelum akhir bulan. Kalau terlalu lama bisa – bisa posisi ‘pendamping’ disabet orang lain.
*
            Malam Jum’at, aku dan Intan menunggu di depan laboratorium. Sunyi sepi, bikin merinding. 10 menit, 15 menit Leo belum juga datang. 20 menit kemudian cowok jangkung itu datang dengan raut wajah datar. Tuh kan, belum apa – apa dah bikin gerogi. Apalagi memulai, wah, bisa pingsan aku.
            “Lama ya nungguinnya?” tanya Leo pada Intan. Hei, hei, aku kan disini. Kenapa tidakdisapa juga?
            “Nggak juga kok,” dusta Intan. “Bisa mulai aja nggak? Udah kesemutan nih berdiri disini,”
            “Oh, tentu aja. Ayo masuk,” katanya datar.
            Kami bertiga masuk ruang laboratorium yang cukup besar. Ketika lampu dinyalakan oleh si Leopard, tampak beberapa kompor listrik dan alat – alat memasak yang ditata rapi.
            “Kalian lihat kan, ruangan ini rapi. Begitu kalian selesai memasak juga harus rapi kembali,” kata Leo tegas. Aku dan Intan mengangguk.
            “Anu, kita... Mau masak apa, Chef?” tanyaku ragu – ragu.
            “Hahaha, kamu tau diri juga. Memang junior sepantasnya memanggil Chef pada seniornya,” Leo membusungkan dada. Rasanya pingin ku tusuk pake jarum. “Kita akan memulai dengan yang mudah dulu. Puding cokelat,”
            “Wah, kesukaanku,” Intan bertepuk tangan.
            “Pertama, kalian harus menyediakan agar-agar putih, coklat blok, gula pasir,susu, creamer, coklat bubuk, dan vanili” Leo memberi instruksi.
            Untungnya laboratorium ini sangat lengkap. Semua bahan yang disebutkan Leo ada di laci besar dan sebagian di kulkas. Rasanya gak rugi ngeluarin dana besar untuk masuk SMK di kota Surabaya ini.
“Sudah lengkap?” Leo memastikan. Gayanya sungguh menyebalkan. Kedua tangannya dilipat didepan dada dengan wajah mendongak ke atas. Sombong sekali.
            “Sudah, Chef,” jawabku dan Intan serempak.
            “Oke. Ini resep kalian, kalau tidak mengerti segera tanyakan,” ia menyodorkan selembar kertas resep.
Resep Puding Coklat
Bahan puding coklat
  • 2 box agar-agar putih, merk yang anda suka tentunya
  • 250 gram coklat, lebih bagus coklat blok, serut coklat nya dan biarkan meleleh
  • 250 gram gula pasir
  • 1 lt sus, yang ini susu murni ya
  • 500 cc double cream atau anda juga dapat menggunakan Creamer cap kembang
  • 25 gram coklat bubuk kemudian  encerkan dengan air panas secukupnya
  • Vanili sesuai selera

Bahan tambahan puding coklat optional
  • 800 cc susu sama ini juga susu murni
  • 100 gram gula pasir
  • 1 buah telur ambil kuningnya
  • Vanili sesuai selera

Cara membuat puding coklat
  • Campurkan semua bahan puding coklat semua bahan kecuali double cream menjadi satu
  • Panaskan diatas api sedang. Terus aduk sampai mendidih
  • Tuangkan double cream saat adonan sudah mendidih sambil adonan diaduk terus, aduk sampai rata, angkat dari api.
  • Dinginkan sampai uapnya mengilang jangan sampai beku
  • Tuang dalam cetakan.

Cara membuat vla puding :
  • Kocok kuning telur
  • Campurkan bahan tanbahan puding,  susu, gula dan vanili, Panaskan dengan api sedang sambil diaduk sampai mendidih
  • Kemudian tuangkan dua sendok sayur susu ke dalam kocokan telur, campurkan sampai rata setelah itu masukan adonan telur ke dalam susu yang mendidih terus aduk sebentar diatas api.
  • Selanjutnya angkat dari atas api terus aduk fla sampai agak dingin ini supaya Vla jangan pecah.
JJJ
            Aku dan Intan bekerjasama mengerjakannya. Ya walaupun  sebenarnya aku lebih banyak mengacau dan Intan memperbaikinya. Aku menuang tepung terlalu banyak, Intan membantuku memasukkan kelebihannya ke dalam toples tepung terigu kembali.
Saat memasak adonan, rasanya tawar karena gula yang ku tuangkan sedikit. Intan memberi tambahan gula supaya lebih sedap. Begitu juga saat air yang masak hampir tumpah, Intan buru – buru mematikan kompor. Leo tentu saja marah – marah padaku. Huhuhu...
            Akhirnya, setelah 1 setengah jam berlalu, puding pun jadi. Leo yang lebih dulu mencicipi.
            “Cukup enak untuk pemula,” katanya.
            “Kalian coba lagi dirumah masing – masing. Sekarang kalian habiskan puding ini, dibawa pulang juga boleh. Setelah itu kalian bersihkan lagi dapur ini seperti semula,” instruksi Leo.
            “Siap, Chef!” jawabku dan Intan kompak.
*
            “Mama, ini ada kue,” aku meletakkan bingkisan puding di atas meja ruang tivi. Ayahku yang sedang asik membaca koran segera menghentikan aktivitasnya untuk membongkar bingkisanku. Aku sendiri segera naik ke lantai atas untuk merebahkan diri di kasur yang empuk, punggungku rasanya mau patah.
            “Hem, siapa yang kasih kue malem – malem gini?” Mama bertanya sambil menggiling puding di mulutnya.
            “Aku bikin sama Intan di sekolah,” jawabku gontai.
            “Wah, anak Mama akhirnya jadi perempuan beneran!” mama bersorak gembira.
            “Enak. Kamu pintar, Nak!” puji Ayah. Beliau memang selalu memuji apa saja yang aku hasilkan. Ayah idaman sepanjang masa. Hihi...
            “Makasih, Yah. Aku tidur dulu ya, capek,” kataku sambil tersenyum tipis. Mataku sudah tidak kuat lagi.
            “Ya, cepat tidur. Jangan lupa gosok gigi,” seru Ayah. Aku mengiyakan lalu berangkat ke kamar. Di kamarku juga ada kamar mandinya kok.
            “Kenapa tiba – tiba dia pengen belajar masak ya?” Mama bergumam pada ayah.
            “Mungkin dia lagi jatuh cinta,” tebak Ayah.
            “Masa sih?”
            “Iya, kayak kamu dulu. Waktu deketin aku kan ngasih kue. Mungkin dia juga mau seperti itu,”’
            “Ah, masih ingat saja,” Mama tersipu malu.
*
            Setiap malam aku berlatih bersama Intan di laboratorium memasak di sekolah. Setiap hari pula Leo memarahiku karna kecerobohanku. Aku masih saja tahan, semua yang kulakukan adalah untuk Edo. Cinta memang butuh perjuangan. Walaupun badai menghadang akan kulalui. Walaupun Leo marah – marah akan kuhadapi.
            “Ini hari kelima. Kemampuan kalian semakin meningkat,” ujar Leo. “Apa kalian bawa ayam kampung yang aku instruksikan?”
            “Ya, Chef,” jawabku. Tadi pagi aku dan Intan membeli ayam kampung di pasar. Ternyata seru juga ya hunting di pasar tradisional.
            “Kalian akan memasak ayam bumbu rica – rica khas Manado,” terang Leo.
            Aku dan Intan agak terkejut. Wah, bagaimana cara membuatnya? Sepertinya susah.
            “Tidak susah, pokoknya kalian ikuti saja,” Leo seperti bisa membaca pikiranku.
            Aku dan Intan membaca instruksi yang dituliskan oleh Leo di selembar kertas dan mulai mengerjakannya. Ternyata lumayan, tidak terlalu susah.
Resep Ayam Bumbu Rica – Rica
Bahan-bahan:
1 ekor ayam dipotong 16 bagian
2 batang serai di memarkan
6 buah bawang merah di rajang
1 lembar daun pandan
5 lembar daun jeruk
50 ml air
1 buah jeruk nipis
12 buah cabai merah
10 buah cabai rawit merah
7 siung bawang putih
4 cm jahe
Cara mengolah:
1. Haluskan cabai merah,cabai rawit merah,bawang putih dan jahe,sisihkan.
2. Tumis bawang merah,serai dan daun pandan hingga bawang kecoklatan.
3. Masukkan bumbu yang dihaluskan dan daun jeruk ,aduk hingga harum.
4. Kemudian masukkan ayam aduk hingga ayam berubah warnanya, tambahkan air, kecilkan api, tutup. Di ungkep hingga airnya agak mengering sambil sekali-sekali di aduk-aduk.Angkat.
5. Tambahkan air jeruk,aduk hingga rata.
Tips penting :
1. Sangat disarankan untuk mempergunakan Jahe Merah daripada Jahe Putih. Rasanya sangat beda.
2. Tambahkan juga Daun Bawang dan Daun Kemangi secukupnya untuk penguat rasa. Gurih loh rasanya.
3. Sebaiknya ayam itu sebelum di olah, setelah dipotong-potong direndam dengan perasan air jeruk selama -/+ 45 menit. Jadi tidak perlu lagi ditambahkan air jeruknya diadonan.
JJJ
*
            Hari ke-enam. Malam ini aku datang sendirian ke laboratorium. Intan sedang sibuk menggarap gaun coktail rancangannya. Ia akan mengikuti peragaan busana besok. Jadi malam ini dia lembur bersama beberapa teman sekelas kami. Sementara aku kebagian sesi minggu depan untuk merampungkan hasil rancanganku.
            “Sendirian?” tegur Leo ketika ia datang.
            “Iya,” jawabku.
            “Mana Intan?” Leo celingukan.
            “Dia lembur, besok ada peragaan busana,”
            “Oh, kalau begitu ayo masuk,” Leo segera mengeluarkan kunci dari saku jaketnya. Tapi kunci itu sangat banyak, entah kunci apa saja itu. Ia memeriksanya satu per satu, tapi kemudian segerombolan kunci itu jatuh. Aku segera membantunya memunguti kunci itu.
            “Makasih,” kata Leo pelan.
            “Sama – sama,” jawabku.
            Leo kembali memutar gagang pintu. Setelah itu kami masuk ke ruangan.
            “Chef, tidak keberatan kan kalau hari terakhir ini aku ingin buat brownies?” tanyaku.
            “Brownies? Hm, boleh juga. Apa kamu sudah bawa bahannya?” tanya Leo. Entah apa dia baru saja tersengat listrik, gaya bicaranya berbeda dari biasanya. Terdengar lebih pelan dan lembut.
            “Sudah. Aku ingin buat brownies Kentang Keju,”
            “Bagus. Kamu sudah menyiapkan dengan matang. Ayo kita mulai,” ujar Leo bersemangat.
Resep Brownies Kentang Keju
Bahan:
375 gr kentang organik
2 sdm tepung terigu
½ sdt baking powder
100 gr mentega
100 gr gula kastor
3 btr telur organik
75 gr cokelat masak putih, potong-potong, tim hingga meleleh
50 gr keju cheddar parut

Cara membuat:
1. Kupas dan potong-potong kentang. Cuci bersih. Kukus hingga matang. Angkat dan haluskan selagi panas. Sisihkan.
2. Campur tepung terigu bersama baking powder, aduk rata. Sisihkan.
3. Kocok mentega dan gula kastor dengan mixer hingga lembut. Masukkan telur satu per satu sambil kocok terus dengan kecepatan rendah hingga adonan rata.
4. Masukkan campuran tepung terigu dan kentang halus, aduk rata. Tambahkan cokelat leleh, aduk hingga rata.
5. Tuangkan adonan ke dalam loyang tahan panas. Ratakan, taburi atasnya dengan keju parut.
6. Panggang dalam oven panas selama 20-30 menit hingga matang. Angkat. Keluarkan dari loyang, potong-potong.
JJJ
            Kali ini aku sudah lebih pandai memasak. Aku juga tidak mebuat ruangan begitu berantakan seperti sebelumnya. Dengan kondisiku yang semakin ahli, Mama memperbolehkan aku menggunakan dapur rumah kembali.
            “Machi,” Leo memanggil namaku. Aku langsung menoleh padanya yang memandangku, atau lebih tepatnya memandang adonanku.
            “Ya?”
            “Kenapa kamu ingin belajar masak?” tanya Leo.
            “Aku...,” wah, jadi malu mau mengatakannya. “Aku ingin membuat kue untuk kak Edo,”
            “Oh,” nada suara Leo terdengar datar. “Memang banyak yang berlomba membuat kue untuknya. Memangnya apa istimewanya sih Kak Edo?”
            “Dia ganteng, mempesona,” sahutku sambil mengaduk adonan.
            “Cuma itu?”
            “untukku sih iya. Tapi aku belum mengenalnya,”
            “Kukira kamu membuatkannya kue karna sudah mengenalnya,” kata Leo.
            “Tenang saja, Chef. Kalau aku sukses, nanti kubuatkan kue juga untukmu,” aku tersenyum riang.
            “Tidak usah,” katanya datar. Ugh, dasar menyebalkan! Padahal aku sudah berbaik hati padanya.
            “Lanjutkan saja membuat kuenya,” Leo menjauh. Ia sibuk mencuci piring.
*
            Keesokan harinya, dengan perasaan takut, malu, waswas yang bercampur jadi satu, aku memberanikan diri menghampiri Edo yang sedang duduk di taman sekolah.
            “Hai,” sapaku.
            “Hai juga,” dia balik menyapaku.
            “Sudah makan siang?” tanyaku memberanikan diri.
            “Kenapa?”
            “Ehm, aku Machi dari kelas XI jurusan desain. Aku membuat kue ini untuk kakak,” ugh, aku takut sekali saat mengatakan ini.
            “Terimakasih ya,” kak Edo meraih bingkisan brownies buatanku. “Nanti akan kumakan bersama pacarku,”
            Pacar? OMG. Aku terlambat!
            “Iya, boleh saja,” kataku berusaha bersikap biasa. Kak Edo tersenyum dan berlalu pergi sambil melambaikan tangan. Rasanya aku sangat sedih. Susah payah aku membuatkannya kue, tapi dia memakannya bersama gadis lain. Semoga kueku tidak sukses sampai membuat mereka mulas 7 hari 7 malam.
            Aku berlari pulang menahan kecewa dan airmata yang hampir mengalir dari mataku. Kudengar Leo memanggilku, tapi aku tidak ingin menghampirinya dengan kondisi hancur seperti ini.
*
            Setelah kejadian itu, aku berhenti memasak. Sekarang aku lebih fokus pada rancangan tuxedoyang sedang kuselesaikan. Mama bertanya kenapa aku berhenti memasak, tapi aku hanya menjawab bosan.
            Intan mengunjungiku tiap hari. Tidak lupa ia membawa beraneka kue kering kreasinya. Sepertinya malah dia yang keranjingan memasak.
            “Machi, udah dong jangan seperti gunung es gitu. Tiap hari diam membisu,” rengek Intan.
            “Masa sih aku kayak gunung es?” tanyaku datar.
            “Kan masih ada seribu cowok ganteng di luar sana,” Intan mengalihkan pembicaraan.
            “Tapi aku masih kesal. Masih trauma dengan si Edoardo itu,” kataku. “Lebih baik kita bahas yang lain aja deh,”
            “Hm, oke,” Intan memutar otak. “Siapa yang akan memakai tuxedo itu?”
            “Aku juga tidak tahu, belum terpikirkan,” aku tiba – tiba sadar. Selama ini aku terlalu konsentrasi memasak. Aku lupa mencari model untuk rancanganku.
            “Gimana kalo Leo aja. Dia kan tinggi, cocok dengan tuxedo itu,” usul Intan.
            “Dia gak mungkin mau,”
            “Dicoba dulu dong,” Intan menyemangatiku. Aku mulai berpikir, mungkin ada benarnya. Aku harus mencobanya terlebih dahulu.
*
            “Hai,” aku menyapa Leo di ruang laboratorium siang itu setelah ia selesai memasak.
            “Hai. Tumben kesini,” jawabnya sinis tanpa memandangku. Ia sedang sibuk membersihkan meja.
            “Iya. Aku mau nawarin kamu jadi modelku di peragaan busana,” kataku. Tapi Leo tidak menjawab. “Kalo gak mau juga gak apa kok. Aku cuma nawarin aja,”
            “Siapa bilang aku gak mau?” Leo mendongak memandangku. Wah, aku terkejut. Ternyata dia mau juga.
            “Wah, makasih ya,”
            “Tapi ada syaratnya,” kata Leo.
            “Apa?” ugh, pake syarat segala.
            “Kamu harus buatin brownies yang sama dengan brownies Kak Edo,” kata Leo dengan wajah serius.
            “Dulu kamu bilang gak mau,” sergahku.
            “Aku kan gak mau kalo rencanamu sukses. Tapi karna rencanamu gagal, aku ingin mendapatkan brownies itu,”
            “Tapi kenapa? Aku gak ngerti. Kamu seneng aku gagal?” cercahku agak emosi.
            “Ya, aku seneng banget. Dengan begitu aku punya peluang untuk dapetin kamu,” katanya mantap. Senyumnya mengembang, baru aku tahu dia punya senyuman yang sangat manis, semanis cokelat.
            Aku hanya bisa tersenyum tanpa bisa menjawab. Dadaku berdesir cepat. Kemudian seperti ada drum yang dipukul – pukul di dadaku. Dag dig dug, dag dig dug.
            “Mau kan?” tanya Leo. Ia menyentuh tanganku yang tengah bertumpu di meja.
            “Iya deh,” jawabku malu – malu. OMG, gak dapet Edoardo malah dapet Leonardo. Hihihi.
Selesai
Source:
Resep Puding Coklat: 
 www.gusbud.web.id
Untuk jalan cerita, murni inspirasi penulis.

2 komentar:

Rin on 2 Februari 2012 pukul 23.36 mengatakan...

keren..... :D

Ken Mercedez on 3 Februari 2012 pukul 17.37 mengatakan...

makasih ya... ayo baca yg laenx juga ya :D

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting