Selasa, 17 Januari 2012

Ayah untuk Aya

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.20.00
“Aya, kamu mau kan punya Ayah?” tanya ibu padaku. Aku tidak mengerti maksud kata-kata ibu. Maklum saja, umurku baru 6 tahun waktu itu.
“Maksud Ibu apa?” tanyaku polos.
“Ibu ingin menikah lagi. Jadi, Aya akan punya Ayah seperti teman-teman Aya di sekolah,” jelas Ibu.
“Tapi Aya kan sudah punya Ayah, Bu?” bantahku. Tapi Ibu kali ini tidak menjawab, malah memalingkan wajah. Aku juga tidak ingin mencari tahu lebih banyak. Aku hanya diam di kursi ruang baca. Aku tidak tahu pasti apa arti kata dari ‘Perceraian”. Ibu pernah bilang, Ayah nakal. Jadi mereka meilih untuk bercerai. Mungkin bercerai itu berpisah. Tapi untuk berapa lama? Aku tidak tahu. Yang kuketahui, aku masih memiliki Ayah. Dan dia baik padaku. Tapi bagaimana dengan Ayah baru? Apa dia akan menyayangiku seperti Ayah kandungku?

Satu bulan kemudian Ibu membawaku ke sebuah Restaurant malam itu. Aku tidak tahu kenapa, Ibu bilang kejutan. Ibu mendandaniku dari satu jam yang lalu. Rambut ikalku dikuncir dua dengan pita berwarna Pink yang cantik. Baju yang kukenakan adalah baju terbaik yang dibelikan Ibu. Bagian lengannya pendek dan mengembung lucu. Renda-renda putih di pinggiran lengan dan ujung rokku semakin mempermanis penampilanku. Sedangkan Ibu mengenakan gaun malam berwarna hitam yang indah dan elegant. Rambutnya disanggul sehingga terlihat anggun dan lebih muda.
“Aya, duduk yang sopan. Sebentar lagi Ibu kenalkan Aya dengan seseorang,” kata Ibu ketika mendudukkanku di bangku restaurant. Aku hanya mengangguk patuh.
10 mwnit kemudian seorang pria bertubuh tegap dengan kumis tipis menghampiri meja kami. Ia menjabat tangan Ibu lalu melihatku yang sedang menatap wajahnya.
“Ini Cahaya, putriku. Tapi Mas panggil saja Aya,” kata Ibu pada pria itu.
Pria itu membungkuk dan menatapku lekat. Lalu ia tersenyum dan berkata, “Halo Aya! Namaku Arya. Kamu cantik sekali, mirip seperti Ibumu,”
Aku hanya memandangnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Aya Sayang, Paman Arya akan menjadi Ayah barumu,” jelas Ibu. Tapi aku hanya diam.
Aku ingat Ayah kandungku pernah memintaku agar tidak pernah bicara pada orang yang menikahi Ibu kelak. Ayah juga bilang, penggantinya nanti hanyalah benalu yang akan melepas semua kenangan tentang Ayah di hati Ibu. Tidak ada yang menyayangiku seperti Ayahku menyangangi diriku. Oleh karena itu, mulai malam ini dan seterusnya, aku tak pernah berbicara lagi pad siapapun.
Hingga 2 tahun kemudian saat Ibu terkapar tak berdaya setelah keguguran dan mengalami pendarahan hebat di Rumah Sakit...
“Berjanjilah Aya, gantikan posisi Ibu untuk Ayah Arya. Jadilah anak yang berbakti dan menyayanginya. Seperti Ibu menyayangimu dan Ayah Arya. Rawatlah dia Aya, cintai dia seperti kau mencintai Ayahmu sendiri...”
Blaaarrrr!!!! Tubuhku bagai disambar petir. Selama ini aku membenci Paman Arya. Aku bahkan tidak mau memanggilnya dengan sebutan ‘Ayah’. Tapi di saat kritis, Ibu memintaku menyayangi Paman Arya. Aku melepas tangan Ibu yang menggenggam tanganku erat. Aku menangis tanpa berucap. Ibu memandangku dengan penuh linangan airmata. Beliau begitu berharap padaku. Tak kuasa aku memandangnya yang berwajah pucat, dengan berat hati kuiyakan permintaan terakhir Ibu.
Ibu memandangku lega dan tersenyum. Ia mengucapkan terimakasih dengan begitu tulus. Setelah itu Ibu memejamkan mata karena kelelahan, dan kelelahan itu membawa Ibu jauh dariku, selamanya...

8 tahun kemudian...
“Aya... Ayah pulang! Akhirnya Ayah bertemu lagi denganmu Nak! Lihat! Ayah bawa oleh-oleh banyak sekali dari Bali! Lain kali kamu harus ikut Ayah kesana,” ujar Paman Arya panjang lebar. Sementara aku hanya diam mendengar kata-katanya sambil membawa semua barang-barang bawaannya yang tergeletak di depan pintu Apartement.
Setelah Ibu meninggal, kami pindah ke sebuah Apartement di Bandung. Paman Arya adalah seorang pemborong yang sukses. Ia sering bepergian untuk urusan bisnis keluar kota. Dan perjalanannya yang terakhir adalah Bali. Apartement tempat kami tinggal cukup luas. Disini semua fasilitas yang kubutuhkan sudah disediakan Paman Arya. Dari lemari penuh buku, Televisi 21 Inch di kamarku, Video Game, perlengkapan make up, komputer, sampai alat fitness sudah tersedia.paman Arya begitu peduli padaku. Walau aku tak pernah mau berbicara dengannya.
“Aya, besok kamu harus mendaftar di SMA. Kamu sudah lulus SMP kan? Sekolah mana yang kamu mau?” tanya Paman Arya setelah kami duduk di ruang keluarga.
Aku segera mengeluarkan selembar kertas dari saku celana jeansku. Lalu keserahkan pada Paman Arya. Kertas itu adalah selebaran dari SMA Negeri Cempaka Bandung. Aku ingin sekolah disana, karena semua sahabat SMPku akan melanjutkan kesana. Dan tentu saja mereka tidak berpura-pura bisu seperti aku.
“Baiklah, besok kita akan mendaftar disana, Aya!” ujar Paman Arya bersemangat. Ia mengelus rambutku lalu pergi ke dapur untuk memuat segelas jahe hangat kesukaannya. Sedangkan aku memilih kembali ke tempat tidurku . malam ini aku akan memimpikan sekolah baruku kelak.

Keesokan harinya Paman Arya membawaku mendaftar di SMA cempaka. Kami menemui Kepala Sekolah langsung. Tapi hanya kekecewaan yang kami dapat. Kepala sekolah tidak mau menerimaku. Karena ia mengira aku benar-benar bisu. Sekeras apapun Paman Arya mencoba meluluhkan hati Kepala Sekolah, beliau tetap tidak mau menerimaku. Dengan putus asa kami mendaftar di sekolah-sekolah lainnya, tidak ada yang bersedia menerima siswi tuna wicara sepertiku. Aku tidak mengerti mengapa SMA tidak sama seperti SMP. Dulu SMPku mau menampung tuna wicara sepertiku.
“Aya, sudah tidak ada SMA lain selain SMALB,” kata Paman Arya. “Ayah tidak yakin kamu benar-benar tidak bisa bicara. Katakan Aya, apa keinginanmu. Ayolah...Ayah akan berusaha menurut keinginanmu,” lanjutnya setiba kami di rumah.
Aku diam. Ada satu keinginan yang tidak dapat kubendung lagi. Setelah kupikirkan, maka aku putuskan untuk mengatakannya.
“Baiklah. Aku... ingin tinggal bersama Ayah kandungku, Paman.”
Paman Arya terkejut. Wajahnya berubah murung. Ia mengendurkan tubuhnya di sofa. Untuk beberapa saat kami saling diam.
“Ya sudah. Akan kuturuti keinginanmu. Walaupun sebenarnya aku tidak tidak ingin kamu pergi,” kata paman Arya lemah. “Siapkan barang-barangmu, kita pergi besok.”
‘Blam!!!’ pintu kamar Paman Arya tertutup. Samar kudengar ia terisak. Dadaku mendadak sesak. Kupandang semua yang ada di sekelilingku. Aquarium ikan yang Paman belikan di hari ulang tahunku, tumpukan buku fiksi remaja, dan semua alat fitness yang Paman beli untukku. Semuanya untukku... lalu apa salah aku ingin tinggal bersama Ayah kandungku? Apa salahku juga yang telah membuat Paman Arya menangis?

Kami tiba di sebuah rumah mewah di perumah Depok. Pagarnya tinggi dan berukir naga. Dari luar pagar aku bisa melihat betapa megahnya rumah Ayah. Mungkin Ayah tinggal sendiri disini. Kupikir mana mungkin Ayah menikah lagi? Ia pasti tidak bisa melupakan Ibu. Tapi Ayah tidak perlu khawatir, karena aku akan menemani ayah disini.
“Ayo masuk, Aya” ajak Paman Arya. Wajahnya tidak bersemangat seperti biasanya. Ia dingin padaku.
Petugas Satpam membukakan gerbang. Selanjutnya pelayan rumah itu membawa kami memasuki ruang tamu. Ruang tamu itu cukup luas. Ada banyak guci-guci impor di sudut ruangan. Lampu yang menghiasinya juga besar dan mewah. Aku sangat takjub. Tapi kemudian rasa kagum itu sirna saat mataku tertumbuk pada sebuah foto keluarga. Foto yang terdiri dari Ayah, seorang wanita setengah baya berwajah lonjong, seorang anak gadis seusiaku, dan anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun. Aku terbangun dari kenyataan. Apalagi setelah keluarga itu menyambutku dengan sangat dingin. Mereka menunjukkan betapa aku tidak diharapkan dirumah itu. Rasanya ingin tenggelam saja aku ke dalam bumi.
“Baiklah,” kata Paman Arya setelah lama berbasa-basi. “Tugasku sudah selesai, aku akan pulang. Tolong jaga Aya. Selamat tinggal Nak,” lanjutnya. Ia membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
Aku memandang kepergian Paman Arya. Hati ini rasanya sesak. Aku tak kuat lagi, tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan, kutinggal rumah indah itu dan mengejar Paman Arya.
Aku mencari Paman Arya di jalanan yang ramai. Kupikir dia sudah pergi, ternyata masih menunggu bus di halte dekat persimpangan jalan dengan tubuh lunglai.
“Ayah!!!!” seruku. Aku berlari, dan Paman Arya menyambutku. Kupeluik Paman Arya erat dan menangis tersedu-sedu.
“Kamu kenapa, Nak? Mereka menyakitimu? Tanya Paman Arya cemas.
“Tidak. Aku sadar, ayahku adalah pria yang membesarkanku selama 8 tahun dengan penuh kasih sayang.Ayahku adalah kau...”
Paman Arya terharu. Airmatanya membasahi rambutku. Kini aku tidak akan membisu lagi. Akan kukatakan pada dunia bahwa ayahku adalah Paman Arya.

TAMAT

2 komentar:

Awod Argubi on 14 Februari 2012 pukul 22.04 mengatakan...

sad :D

Ken Mercedez on 15 Februari 2012 pukul 22.39 mengatakan...

iya.. makasih ya dah baca karyaku :D

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting