Selasa, 28 Februari 2012

Persegi CInta

Diposting oleh Ken Mercedez di 12.54.00 4 komentar
    8 Februari 2008 adalah hari kenanganku bersama Tia. Waktu itu aku ‘menembaknya’ di sebuah taman dipenuhi cemara dekat sekolah. Tia mengangguk malu saat kutanya apakah ia mau menjadi pacarku. Setelah ia menerimaku, aku mengajaknya berkeliling hutan cemara sambil bergandengan tangan sore itu.
    Hari Rabu berikutnya, Tia mengenalkanku pada Maya. Gadis itu berjilbab dan manis. Maya adalah sahabat Tia. Dan mereka duduk sebangku di kelas X. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Melainkan kabar bahwa Maya adalah pacar Bahri, sahabatku. Aku sempat heran mengapa Bahri tidak bilang padaku.
    3 bulan masa pacaranku dengan Tia. Aku akhirnya mendalami sifatnya. Tia ternyata gadis yang egois, pemarah, dan manja. Aku kesal dengan sifat-sifatnya itu. Lama-kelamaan aku frustasi. Minggu kemarin aku putus dengannya. Tapi 2
hari kemudian ia merengek minta balikan. Aku tak tega padanya. Akhirnya akumengabulkan pintanya dengan harapan Tia akan berubah.
     Suatu hari Maya datang padaku. Ia menanyakan keadaan Bahri. Maya bilang, Bahri memutuskannya tanpa sebab. Aku jadi bingung. Apalagi Bahri tidak mau memberi penjelasan pada kami.
      Maya semakin sering datang untuk mencurahkan isi hatinya padaku, karena aku adalah sahabat Bahri. Tak jarang ia menangis setiap mengingat Bahri. Aku jadi tergerak. Aku menghiburnya yang sedang patah hati. Lama-lama aku jadi dekat dengan Maya. Kami sering bertukar pikiran tentang perjalanan cinta kami masing-masing. Aku merasa Maya berbeda dengan Tia. Maya mengerti aku. Dan dia selalu memberiku semangat-semangat baru. Setiap hari aku mengobrol dengannya melalui pesan singkat via hp. Tia yang egois mulai memudar dari hatiku. Aku semakin melupakannya dan mulai menyukai Maya.
    Tapi aku hanyalah pungguk merindukan bulan. Maya tidak mau menerima cinta yang mulai bersemi dalam hatiku. Dia tetap menanti cinta Bahri kembali padanya. Dan aku tahu dia juga tak enak hati pada Tia. Aku sendiri telah memutuskan Tia. Aku tidak mau menyakiti hatinya lebih lama lagi. Tidak ada lagi Tia dalam hatiku, yang ada hanyalah Maya. Aku tak pernah lelah mengejar cinta Maya. Walaupun tipis harapanku menjadi kenyataan. Persegi cinta yang kami jalani benar-benar rumit. Tia, aku, Maya, dan Bahri sama-sama sulit dalam cinta yang memperangkap kami. Tapi aku tidak peduli. Selama aku masih bernafas, aku akan tetap berjuang untuk mendapatkan cinta Maya.
Selesai

15 Agustus 2008
(Kisah nyata seorang temanku dengan perubahan seperlunya)

Senin, 27 Februari 2012

Tokyo, Aishiteru!

Diposting oleh Ken Mercedez di 12.53.00 4 komentar
      Aku sedang menikmati pemandangan di taman yang dipenuhi bunga sakura. Tak pernah kusangka bunga itu lebih indah daripada yang kulihat di televisi atau di wallpaper ponselku. Aku sungguh beruntung dapat menikmatinya secara langsung disini, di Tokyo. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Lalu kulihat beberapa anak muda yang berjalan mesra dengan pasangannya, Sugoi. Aku bahkan belum pernah pacaran.
    “Baru pertama kali melihat sakura?” sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh ke sebelahku, seorang pemuda berbicara menggunakan bahasa Jepang yang sepertinya ditujukan padaku.
    “Apa?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Bukan karena aku tidak bisa berbahasa Jepang, tapi karena aku terkejut dia berbicara padaku. Aku tidak mengenalnya sebelum ini.
    “Tidak bisa berbahasa Jepang?” tanya pemuda itu lagi.
    “Bisa,” jawabku dalam bahasa Jepang. “Apa aku mengenalmu?”
    “Kau tidak peka ya,” ia mengalihkan pandangannya pada sekelompok anak kecil yang bermain gelembung sabun di jalan. “Aku teman sekelasmu,”
    “Oh, gomenasai,” aku garuk – garuk kepala.
    “Dari Indonesia, kan?” tanyanya lagi.
    “Haik,” jawabku singkat. Hening beberapa saat sampai ponselku berbunyi. Ternyata sms dari Papa. Beliau menungguku di stasiun dekat tempatku berada saat ini. kulirik pemuda oriental di sebelahku yang kelihatannya cuek saja denganku.
    “Aku pergi dulu ya. Sayonara!” kataku sambil melambaikan tangan. Kemudian aku ingat, orang Jepang suka membungkukkan badan saat mengucap salam. Apa aku juga harus begitu? Ah, mungkin akan lebih sopan kalau aku melakukannya. Aku segera membungkuk lalu pergi. Samar – samar kudengar ia tertawa tapi aku tidak menghiraukannya. Memang apanya yang lucu?
*
    “Rika chan,” suara mungil itu memanggilku ketika aku memasuki kelas.
    “Ohayo,” sapaku. Aku segera menghampiri gadis berkacamata yang memanggilku barusan.
    “Rika, lihatlah. Aku baru saja mendapat foto Arashi,” ia memperlihatkan ponselnya padaku.
    “Oh, ini,” aku terbelalak. Pemuda yang kemarin kutemui di taman itu ternyata bernama Arashi, aku baru tahu dari ponsel teman baruku ini.
    “Kenapa? Kamu terkejut kan? Gak mudah lho dapetin fotonya,”
    “Memangnya Sonoko dapat darimana?” tanyaku.
    “Waktu dia sedang berolahraga, aku mengambil fotonya diam – diam. Jangan kasih tahu siapapun ya, biar mereka tidak iri padaku,” kata Sonoko dengan centilnya.
    “Kenapa mereka harus iri?”
    “Arashi-kun paling ganteng satu sekolah ini. masa kamu gak tau?” jelas Sonoko yang mendapat respon gelengan kepala dariku. Mana ku tahu pemuda bermata sipit begitu jadi incaran satu sekolah. Aku sih gak akan ngincer dia.
    “Pokoknya aku ngefans sama dia!” kata Sonoko.
    “Ngefans atau cinta?” tanyaku.
    “Ngefans itu ya cuma mengidolakan saja. Kalau cinta lain lagi. Aku sih Cuma ngefans. Kebutuhan mata,” Sonoko menjentikkan jarinya.
    Aku hanya mencibir. Ih, apa – apaan pake kebutuhan mata segala, memangnya dia wortel?
    “Sudah ya, Arashi datang. Nanti ketahuan,” Sonoko memberi isyarat dengan telunjuknya saat Arashi memasuki kelas. Aku mengangguk dan kami pun bersikap biasa.
    Sepanjang pelajaran aku dan Sonoko tidak saling berbicara. Kami serius mendengarkan penjelasan guru. Lama – lama aku bosan, ternyata mau sekolah dimanapun ya tetap begini menjelaskannya. Guru menerangkan didepan sementara murid terkantuk – kantuk mendengarkan.
    Aku menoleh ke kanan, kulihat Sonoko sedang sibuk mencatat. Lalu aku menoleh ke kiri, dan kulihat Arashi juga meliihat ke arahku. Aku tersenyum, tapi ia tidak membalas. Ih, sebal! Tau gitu gak usah disapa. Aku mencibir lalu menoleh lagi ke depan. Aku tidak akan menyapa orang sombong itu lagi, titik!
*
    Tak terasa sebulan telah berlalu sejak aku berada di Tokyo. Untungnya aku mudah mengakrabkan diri sehingga sebentar saja sudah mendapat banyak teman.
    “Kita ke taman saja ya,” Sonoko menggandeng lengan tanganku ketika kami selesai makan siang di sekolah. Aku hanya menurut saja. Kami segera menuju taman dan memilih bangku pojok yang tidak terlalu ramai. Di sebelah kananku ada semak – semak setinggi pinggul orang dewasa dan sebuah pohon Ek yang sudah tua. Samar – samar terdengar suara seorang gadis dari balik rerumputan.
    “Kamu dengar itu?” aku bertanya pada Sonoko.
    “Ya. Ayo kita lihat,” Sonoko mengajakku mengintip.
    Ternyata seorang adik tingkat yang kutahu bernama Makoto menyerahkan sekotak makanan  pada Arashi. Wah wah, seperti adegan dalam komik saja.
    “Aku suka kakak,” kata Makoto malu – malu.
    “Bawa kembali kotakmu, aku tidak suka nyemil,” jawab Arashi ketus.
    Huah, gak suka nyemil katanya? Hihihi... Jawabannya kejam tapi menggelikan. Kulihat Makoto tampak kecewa. Ia yang berbadan mungil mencoba menyembunyikan wajahnya dibalik rambutnya yang lurus panjang. Arashi berbalik meninggalkan Makoto.
    “Kejam ya,” gumam Sonoko.
    “Iya. Cowok kayak gitu yang kamu suka?” aku menyindir Sonoko.
    “Mulai sekarang aku gak suka lagi. Aku kecewa,” ujar Sonoko berapi – api. Aku hanya cekikikan. Lalu selama hari itu aku dan Sonoko bergosip tentang Arashi yang kejam pada Makoto dan gadis – gadis sebelumnya.
*
    Aku sedang nyemil di kamar ketika Mama membuka pintu.
    “Anak ini, disuruh dandan malah santai – santai,” Mama ngomel di depan pintu.
    “Ngapain dandan segala, Ma. Bentar lagi yang dateng kan temen Papa sama Mama, bukan temenku,” protesku.
    “Tapi temen Mama itu bawa anaknya juga. Kamu kan bisa ngobrol sama anaknya,” ujar Mama.
    “Males ah,” kataku santai.
    “Besok nggak dikasih uang jajan lho. Mama males kalau kamu membantah kayak gitu,” Mama mengancamku dengan ancaman terampuh. Aku gak bisa hidup tanpa uang jajan!
    “Iya, Ma. Aku siap – siap dulu deh,” aku segera bangkit. Mama tersenyum lalu menutup pintu. Tuh kan, Mama cuma gertak sambal.
    15 menit kemudian aku turun ke bawah dengan wajah ditekuk. Dandan pun hanya memakai baju kaos lengan panjang berwarna pink dengan celana jeans biru donker. Rambut ku ikat ke belakang. Tidak perlu memakai gaun segala, kan?
    “Rika, sini nak,” Papa memanggilku. Aku segera menghampiri Papa. “Ini putriku, ayo beri salam,”
    “Halo, nama saya Rika. Senang bertemu Anda,” aku membungkukkan badan. Kudengar seseorang tertawa. Sepertinya aku familier dengan suara tengil itu. Aku segera menegakkan badan dan kulihat Arashi! Ngapain sih dia ada disini? Jangan – jangan yang dimaksud Mama, anak temannya itu Arashi. Oh God!
    “Kalian sudah saling kenal, kan? tanya Mama pada Arashi. Pemuda itu menjawab dengan sopan kalau kami memang kenal, bahkan akrab. Akrab dari Hongkong? Ih, gak banget deh!
    “Kalau gitu Rika ajak Arashi ngobrol ya,” Papa menepuk bahuku. Papa, Mama dan orang tua Arashi lalu duduk di ruang tamu, sementara Arashi tetap berdiri di hadapanku.
    “Kita mau kemana?” tanya Arashi.
    “Ke ujung dunia!” jawabku ketus. Ia tertawa melihat wajah cemberutku.
    “Kolam ikanmu bagus. Kita kesana saja, tidak perlu ke ujung dunia,” kata Arashi sambil menunjuk kolam ikan yang terletak di sebelah koridor tempat kami berdiri.
    “Ayo kutunjukkan ikanku,” kataku masih dengan nada ketus. Kami pun berjalan menuju kolam ikan lalu duduk di sisi kolam itu. Tak lupa aku menyambar snack kentangku yang tergeletak di meja dekat koridor.
    “Bagi dong, masa dimakan sendiri,” kata Arashi.
    “Kamu kan gak suka nyemil,”ujarku.
    “Kata siapa?”
    “Katamu. Kamu bilang gitu sama Makoto,” ups! Aku keceplosan.
    “Hahaha. Kamu nguping ya?” Arashi tertawa. Ah, aku tertangkap basah sekarang.
    “Gak sengaja kok,” aku berkilah.
    “Aku gak suka sama Makoto. Makanya aku bilang begitu supaya dia gak mengharapkan aku lagi,” jelas Arashi. “Aku sudah jatuh cinta pada gadis Indonesia,”
    “Siapa? Kenal dimana?” wah, dia suka gadis dari bangsaku rupanya!
    “Kenal di taman, saat gadis itu menatap bunga sakura dengan noraknya. Mungkin dia baru pertama kali lihat bunga sakura,” katanya sambil tersenyum.
    Aku mencibir. Itu kan aku. Pasti dia ingin mengusiliku lagi.
    “Aku serius!” ujar Arashi kemudian, tapi aku mengabaikannya.
    “Gak percaya?” Arashi bertanya tapi aku tetap mengabaikannya. Aku memainkan kakiku di air kolam sehingga air yang tenang tadi kini naik turun ke udara.       
    Tiba – tiba Arashi mencium pipiku. Apa – apaan ini?
    “Hei kamu, bukan begini caranya bercanda!” aku mulai emosi. Bercandanya keterlaluan!
    “Aku gak bercanda, aku serius tapi kamu gak percaya,” katanya dengan wajah tenang.
    “Jangan main cium sembarangan. Aku wanita Indonesia yang priyayi,” ah, entah dia tahu atau tidak arti kata priyayi yang kulontarkan dengan bahasa Jawa.
    “Terus gimana caranya supaya kamu percaya kalau aku serius?”   
    “Gak tau!” jawabku sekenanya.
    Arashi terdiam. Aku juga diam. Kami tidak berbicara, hanya melihat ikan yang berenang kesana kemari. Duh, aku gak tahu kenapa hatiku jadi degdegan gini. Apa karena dia tadi mencium pipiku ya. Ah, sebal, sebal!
    “Kamu akan pulang ke Indonesia dua hari lagi, kan?” Arashi membuka pembicaraan setelah kami terdiam cukup lama.
    “Iya. Hanya untuk liburan musim panas ini,” jawabku.
    “Aku pasti merindukanmu,” kata Arashi. Aku hanya diam, pura – pura tidak peduli. Hening lagi, hanya terdengar suara ikan berenang.
    “Kamu sudah punya kekasih?” tanya Arashi lagi.
    “Belum,” jawabku singkat. “Kamu sendiri sudah berapa kali pacaran?”
    “Belum pernah,” jawabnya. Oh, ternyata dia juga belum pernah pacaran. Tidak kusangka, Arashi yang menjadi idola satu sekolahan belum pernah memiliki kekasih. Padahal di sekolahku yang lama, si jago basket bernama Ardi memiliki sederet mantan kekasih yang bisa dijajarkan seperti pasukan upacara bendera.
    “Ehm, mau main dakon nggak?” tanyaku kemudian.
    “Dakon? Apa itu?”
    “Mainan tradisional Indonesia. Tunggu ya, aku ambilkan,” aku segera berlari ke kamarku untuk mengambil dakonku yang sering kumainkan saat kesepian. 5 menit kemudian aku turun lagi ke bawah dan menemui Arashi dengan napas terengah – engah.
    “Ini nih namanya dakon,” ako menunjukkan sebuah papan plastik panjang yang ujung – ujungnya membentuk setengah lingkaran. “Cara bermainnya, kita isi lubang – lubang ini seperti bermain Bantumi, mengerti?” jelasku panjang lebar.
    “Oh, mengerti!” sorak Arashi.
    “Yang kalah dicolekin bedak,” aku mengeluarkan bedak taburku. Arashi tertawa. Kami pun bermain dengan riang seperti anak kecil. Hari itu aku tahu bahwa Arashi tidak sepenuhnya cuek seperti yang kukira.
*
    Tiga hari berlalu setelah Arashi main ke rumahku di Tokyo. Saat ini aku sedang menikmati liburanku di Jogja. Entah kenapa rasanya aku merindukan Arashi.  Padahal aku sudah berusaha melupakannya dengan banyak cara. Aku berbelanja di Malioboro bersama sepupuku, kami nonton film, main game, bersepeda dan sebagainya. Tapi tetap saja tidak dapat mengusir bayangan Arashi dari benakku. Aku ingin segera kembali ke Tokyo. Huhuhu...
    “Pa, ayo kita ke Tokyo,” rengekku suatu hari.
    “Baru sampai di Jogja sudah mau kembali ke Tokyo,” omel Papa.
    “Aku bosan disini,” kilahku.
    “Di Tokyo kangen Jogja, di Jogja pengen balik ke Tokyo. Kamu ini membingungkan,” Papa masih mengomel. Ugh, aku menyingkir saja deh. Seandainya ada Pintu Kemana Saja milik Doraemon, pasti aku bisa bolak – balik Jogja – Tokyo hanya dalam hitungan detik. Huaaa... khayalanku begitu tinggi.
    Hari – hariku di Jogja berjalan begitu lama. Tapi setelah sebulan berlalu aku mulai betah di Jogja. Aku bisa sedikit melupakan Arashi walau tiap malam masih memikirkannya. Sekarang sudah lebih baik, aku banyak menghabiskan waktuku bersama pamanku yang hobi memainkan gamelan, atau bersama teman – teman lamaku nongkrong di Cafe. Arashi, bersabarlah menungguku kembali.
*
    Dua bulan sudah berlalu, akhirnya aku sampai juga di Tokyo! Hahaha. Aku yang baru  datang tadi pagi sudah tidak sabar pergi ke taman tempatku dulu mengamati bunga Sakura. Sekarang musim gugur, dan aku belum pernah melihat musim gugur sebelumnya. setelah memindahkan barang – barangku dari koper, aku memutuskan untuk berjalan – jalan di taman.
    Ternyata musim gugur juga indah. Daun – daun berguguran dan nuansa jingga menyeruak di penjuru kota. Aku terperangah mengamati kota Tokyo di musim gugur.
    “Baru pertama kali melihat musim gugur ya?” sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Arashi.
    “iya,” jawabku sambil tersenyum.
    “Ekspresimu lucu sekali,” kata Arashi. “Mana oleh – oleh untukku?”
    Aku segera merogoh tasku. Tadi saat memutuskan untuk berjalan – jalan aku menaruh oleh – olehku untuk Arashi di tas putih ini. aku sengaja membawanya karena mungkin saja akan bertemu Arashi. Ternyata firasatku tajam juga, buktinya sekarang kami bertemu.
    “Ini,” aku menyerahkan oleh – olehku padanya.
    “Ini apa?” Arashi menerima oleh – olehku dengan rasa kagum.
    “Itu wayang, kesenian tradisional negaraku,” jawabku. “Kamu suka?”
    “Suka sekali. Arigato,” kata Arashi dengan wajah gembira. “Aku juga membawakan ini untukmu,” Arashi memberiku setangkai bunga mawar. Ajaib sekali bunga ini tidak layu di musim gugur.
    “Wah, kok masih ada bunga di musim gugur?” tanyaku.
    “Aku mendapatkannya dari seorang temanku dari Indonesia. Ia baru datang tadi malam,” kata Arashi.
    “Jadi ini bunga dari negeriku sendiri?” tanyaku tidak percaya. Arashi mengangguk.
    “Rika, Aishiteru,” kata Arashi. Wajahku bersemu merah.
    “Aku juga cinta kamu,” jawabku dengan bahasa Indonesia yang jelas. Aku terlalu malu untuk mengatakannya dengan bahasa Jepang. Sepertinya Arashi tahu maksud kata – kataku, ia memelukku di tengah keramaian. Kurasa aku sedang jatuh cinta. Tokyo, Aishiteru!
SELESAI

Minggu, 26 Februari 2012

Derita Kami, Rakyat Biasa

Diposting oleh Ken Mercedez di 08.02.00 3 komentar
Kami sedang terluka
Kami masih menanti
Kapankah Sang Pemimpin sejati datang?
Kami sudah tak sabar
Kami hanya bisa menangis dan meronta
Tubuh sudah kami bakar,
Mulut sudah kami jahit
Kami sudah mencoba banyak cara
Namun Para Petinggi itu masih terlena harta dan tahta
Kami tak butuh janji – janji
Kami ingin pemimpin sejati!
Kami ingin hak kami dipenuhi
Kami ingin keadilan
Mengapa pencuri harus dibedakan?
Antara yang bersandal dan bersepatu
apa bedanya?
keduanya sama berdosa
Kami seperti anak terlantar
yang diasuh orang tak bertanggungjawab
inilah jeritan kami
Wahai, Para Petinggi

Sabtu, 25 Februari 2012

Wisata Kulinerku bareng Temen2

Diposting oleh Ken Mercedez di 12.19.00 2 komentar
Hari kamis kemarin, aku dan teman – teman sekelasku di kampus ngerasa gerah dengan hawa puaaanas kota Jember. Kami memutuskan untuk sedikit refreshing. Jadilah kami berenam berwisata kuliner di sekitar kampus. Awalnya kami ke Campus Resto di Jalan Jawa. Wah, pertama kalinya nih buat aku kesana. Selama di Jember belum berani kesana, takut kantong terlalu tipis. Hohoho....
Ternyata nggak mahal juga sih, masih standar anak kosan. Kami pesen ice cream yang kalo gak salah namanya Double Ice Cream deh. Fotonya kayak gini, Tadaaa...

Buat para pecinta Ice Cream, cobain deh yang satu  itu.
Selain ice cream, salah satu temenku pesen kentang goreng yang uenaaak banget. Nyesel deh gak beli juga. T_T tapi lumayan bisa icip – icip. Huehehehe...
Dari sebelum makanan dateng sampe makanan abis kami sempet aja jepret – jepret narsis. Mas waitres, maaf ya jadi tukang foto dadakan. Xixixi :p



Udah kenyang dengan ice cream, kami meluncur ke Jalan Karimata untuk hunting mie ayam. Eh, disana pesen es teh sama es jeruk juga! Padahal di Campus Resto udah makan ice cream. Wah, hari itu gak ada yang namanya DIET! Dihapuskan untuk sementara waktu. Huahahahaaaa....
Tapi guys, ada pemasukan – ada pengeluaran. Masuk makanan, keluar kertinget! Cuacanya puaaanaas banget deh siang itu. Sampe – sampe Cooler teh botol sosro kami buka Cuma pengen dapet hawa dingin. Malu – maluin banget, ih! Hahaha. Pas bagian bayarnya nih yang heboh, kayak ibu – ibu arisan.
“Ini duitku, kembali 30 ribu yak!” kataku pada seorang temanku.
“Eh, eh, aku juga kembali seribu lima ratus!” temenku yang lain ikut menyodorkan uang.
“Aku nanti aja deh. Males ngerogoh saku. Pake uangmu dulu, Cit!” seru yang atunya lagi.
Si pemegang duit ikutan bingung. “Huaaa... kayak mo arisan!” katanya sambil mencak – mencak. Hihihi...
Untung aja kami pulang sebelum ujan. Soalnya pas kami udah nyampe kosan masing – masing, 5 menit kemudian ujan gede dibarengi kilat menyambar – nyambar, Bo! Kekenyangan, aku pun terus tertidur lelap. Hari itu mungkin berat badanku bertambah lagi, padahal udah beli obat pelangsing. Hiks!


Minggu, 19 Februari 2012

Nasehat Sang Waktu

Diposting oleh Ken Mercedez di 09.24.00 2 komentar

Nona kecil, janganlah bersedih
Siapa yang kau nanti?
Dirinya kah?
Takkan lari kemana
Ia sangat mencintaimu
Bukankah telah ia kirimkan begitu banyak cinta padamu?
Belum cukupkah itu?
Ku tahu hatimu begitu merindu
Slalu bersama, namun kini berbeda
Nona kecil, bisakah kau menunggu?
Sejenak ia pergi, cepat kan kembali
Mari menanti bersamaku, Sang Waktu.

Nona kecil kemudian menjawab:
Ya, aku slalu merindukannya
Bagaimana tidak?
Bisakah bunga hidup tanpa batang yang menyangganya?
Ia telah berikan begitu banyak cinta
Tapi sebagai imbalan, ia bawa lari hatiku
Kini ku hanya bisa menunggu brsamamu, Tuan Waktu
Bisakah kau tanyakan pada Takdir yang Agung,
akankah ia jadi jodohku?

Sabtu, 18 Februari 2012

Sejuta Cinta untuk Samantha part 2

Diposting oleh Ken Mercedez di 17.05.00 6 komentar
Cerita sebelumnya: Ketika kecil Samantha memberikan sebuah kotak terbuat dari rotan pada bocah bernama Ramdan yang sedang menangis di taman. Tak disangka mereka bertemu lagi di bangku kuliah dalam keadaan berbeda. Samantha telah menjadi kekasih Ray, sahabat Ramdan yang lebih dikenal dengan sapaan 'Dany'. Tersadar bahwa Samantha adalah gadis yang disukainya semasa kecil, terbesit cemburu dalam hati Dany pada Ray.

***

“Tidak apa – apa. Aku tanpa sengaja menyinggung perasaan Dany,” Samantha mencari alasan. “Maafkan aku Dan, aku gak akan nyinggung masalah cewek itu lagi,” dusta Samantha. Ia menundukkan wajahnya karena tidak mau bertatapan langsung dengan mata Dany ataupun Ray.
            “Ya ampun, Sayang. Kan aku sudah bilang, Dany paling gak suka ngomongin cewek,” Ray mengelus kepala Samantha. Ia menoleh pada Dany yang masih mematung dengan pandangan kosong menatap jalan.
            “Dan, gue minta maaf atas keteledoran cewek gue,” Ray memegang pergelangan tangan Samantha dan mengajaknya pergi. Samantha hanya menunduk dan menuruti ajakan Ray.
            Dany melihat kepergian teman – temannya itu. Ia berusaha menahan airmata. Balok kecil itu digenggamnya erat sekaligus diremas. Ia sangat  kecewa karena Samantha di masa kecilnya yang sangat lembut dan periang ternyata Samantha yang di masa ini menyebalkan dan angkuh. Tetapi ada rasa tidak rela karena mimpinya mendapatkan gadis yang menegarkan hatinya di masa kecil telah menjadi milik orang lain, apalagi itu semua berkat usahanya. Rasanya kenyataan ini seperti bom waktu, dan sekarang saatnya meledak. Dany berteriak keras dan menendang – nendang sebuah kursi yang dekat dengannya hingga kursi itu terjatuh dan patah.
*
            “Ray, sebaiknya kita batalkan saja ya acara ke Bonbin,” ujar Samantha saat mereka berkendara di jalan raya.
            “Kenapa?” suara Ray sedikit keras karena jalanan sangat ramai.
            “Kepalaku pusing,” jawab Samantha lemah.
            “Apa?” Ray tidak mendengar begitu jelas. “Pusing?” lanjutnya memastikan.
            “Iya,” Samantha agak berteriak agar Ray lebih jelas mendengarnya.
            “Kenapa gak bilang dari tadi. Tau gitu aku langsung antar pulang. Aku gak mau kamu sakit walau cuma pusing,” kata Ray. Karena sangat ramai, Samantha hanya dapat mendengar kata ‘kenapa-tadi-antar pulang-pusing’.  Samantha tidak ingin tahu lebih jelasnya karena pikirannya sedang kacau.
            Ray memutar setir dan berbelok ke arah kiri dengan cepat, saking cepatnya ia sampai hampir menyenggol badan mobil yang juga hendak belok ke kiri. Samantha terkejut dan terbangun dari lamunannya.
            “Ray hati – hati,” tegur Samantha.
            “Maaf. Aku gak bisa konsentrasi. Rasanya aku pengen nyetir pesawat jet biar cepat sampai ke rumahmu,” Ray berkata dengan cepat, namun Samantha mendengarnya dengan jelas karena jalanan sedang sepi. Ia begitu tersentuh, ray selalu menghawatirkan kesehatannya lebih dari apapun.
            “Kamu harus minum obat ini,” Ray membuka plastik putih dengan logo ‘Apotek Sehat’. Dia baru saja pergi ke apotek dan kembali lagi ke rumah Samantha 15 menit kemudian. Nafasnya sedikit ngos – ngosan.
            “Kamu seperti dikejar setan aja,” Samantha tersenyum. Ia bersandarkan bantal di atas ranjangnya dengan Ray yang sibuk membuka tutup botol obat dan mengambil segelas air putih.
            “Jangan berkomentar. Ini obat sakit kepala, yang warna kuning itu vitamin. Kalau kepalamu sudah mendingan, minum vitamin itu untuk memulihkan stamina,” Ray begitu serius.
            “Iya Dok,” Samantha masih saja menggodanya.
            “Apa perlu aku panggil dokter beneran?” tanya Ray serius. Ia tidak menggubris gurauan Samantha.
            “Ih, kamu ini berlebihan banget,” Samantha tertawa.
            “Aku mengkhawatirkanmu. Wajahmu dari tadi pucat,” Ray sepertinya tersinggung ketika Samantha menertawai keseriusannya.
            “Maafkan aku. Aku juga menyayangi dan sangat peduli padamu. Tapi kupikir kecemasanmu berlebihan, toh aku cuma pusing aja kan,” gadis itu meneguk segelas air setelah meletakkan obat di pangkal lidahnya.
            “Jangan meremehkan sakit begitu aja,” Ray melunak. Kemudian ia hanya diam memandangi Samantha, membuat gadis itu berusaha untuk tidak tertawa.
            “Apa sebelumnya kamu pernah gini sama mantanmu?” tanya Samantha penasaran. Ray hanya menggelengkan kepala.
            “Mereka sangat enerjik. Hampir setiap pagi bangun dengan kepala pening sehabis berdisko semalamann, jadi aku tidak pernah khawatir,”
            “Aku gak pernah disko, padahal itu seperti olahraga juga sih. Apa aku lebih gendut dari mereka?” tanya Samantha.
            Ray menggeleng pelan. “Kau lebih anggun dari mereka,”
*
            Samantha terserang penyakit flu dan panas selama tiga hari. Terpaksa ia hanya diam di rumah tanpa pergi ke kampus. Walaupun begitu, Ray selalu menemaninya setelah acaranya bersama genknya selesai. Samantha tidak ingin merampas kebebasan Ray untuk bergaul dengan teman – temannya, dengan syarat Ray gak boleh minum – minum atau mengganggu kenyamanan orang lain lagi.
            Sebenanya kepala Samantha pusing bukan hanya karena flu dan panas, tapi juga karena Dany. Ia merasa bersalah karena Dany jadi kelewat berani dari yang seharusnya. Tapi juga merasa rasanya tidak adil bila ia disalahkan 100 persen. Toh Samantha tidak bermaksud buruk pada Dany ketika memberikan kotak itu dulu sekali. Sekarang Samantha tahu siapa Dany, walau tidak semuanya. Tetapi pengetahuan itu lebih banyak dari sebelumnya. Tidak seharusnya pula Samantha menjauh karena tahu siapa cowok itu sebenarnya. Tapi toh dari dulu kan memang nggak deket. Benar – benar membuatnya merasa serba salah.
            “Kenapa sih dari tadi ngelamun?” tegur Ray yang duduk di samping Samantha.
            “Ah, nggak kok,” Samantha menoleh pada Ray lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
            “Ngelamun kok, tadi diajak ngobrol gak jawab,” serang Ray. Sekarang Samantha yang bingung hendak memberi alasan apa.
            “Ehm, cuma mikir. Aku udah ketinggalan perkuliahan selama tiga hari,” akhirnya Samantha berhasil menemukan alasan yang lumayan masuk akal.
            “Oh, kalo itu jangan khawatir. Kan ada Renata,” kata Ray.
            “Iya juga ya. Kok aku gak kepikiran sampe sana sih,” Samantha memukul kepalanya pelan.
            “Jangan mukul kepala sendiri dong, Sayang,” Ray tampak khawatir. “Kan wajar gak mikir sampe sana. Kamu lagi sakit gini kan,”
            Samantha hanya mengangguk. Ia bersandar di bahu Ray, rasanya nyaman sekali.
            “Maaf ya sebelumnya. Boleh nggak aku ikut balap motor bareng anak – anak Scorpion?” Ray mengganti topik pembicaraan.
            “Racing dimana?”
            “Di Bogor. Cuma tiga hari aja kok,”
            “Hem,” Samantha berpikir sejenak. “Boleh deh. Tapi ati – ati ya. Bogor kan sering ujan. Nanti jalannya becek,”
            “Tenang aja,” Ray membelai rambut Samantha.
            Entah mengapa rasanya dada Samantha agak sakit. Mungkin karena ia belum sembuh benar atau ada firasat tertentu? Ah, mungkin gara – gara masih sakit-pikir Samantha.
*
            “Gimana kabar cewekmu?” tanya Dany ketika genk Scorpion berkumpul di penginapan perbukitan kota Bogor.
            “Udah sembuh, pasti tadi udah mulai kuliah,” Ray melepas jaket kulitnya dan berjalan menghampiri kursi di sebelah Dany. Mody, Lian, dan Charly terdengar asik mengobrol tentang motor mereka di depan penginapan sederhana itu.
            “Ya bagus deh,” kata Dany sambil meregangkan otot.
            “Tiap hari loe nanyain dia. Biasanya loe bosen dengerin gue cerita tentang dia melulu,”
            “Biasa aja, ceweknya Mody, Lian, ama Charly juga gue tanyain kabarnya tiap hari,” Dany ngeles.
            “Makanya loe cari cewek aja. Apa perlu gue cariin?”
            “Yee... Loe aja siapa yang nyomblangin pas waktu itu?” Dany rada sewot.
            “Hahaha. Loe masih ngarep temen masa kecil loe itu?”
            Dany hanya diam. Sejujurnya, setelah tahu dimana dan siapa gadis itu, rasanya penantiannya selama ini sudah terjawab. Tapi apakah ia harus merebutnya dari sahabatnya sendiri? Dany tidak tega pada Ray yang selama ini sudah sangat baik padanya.
            “Dan, buat gue Samantha itu sangat berharga. Gue sayang banget sama dia, beribu – ribu sayang,” tiba – tiba ucapan Ray terdengar sangat serius. “Kalo ada apa – apa sama gue, sebagai sahabat terbaik gue, apa loe mau gue mintai tolong?”
            “Kok tiba – tiba ngomong ngaco gitu sih, Ray?” sergah Dany.
            “Gak tau kenapa rasanya gue pengen banget nitipin dia sama loe. Walaupun loe gak suka sama dia, tapi please kalo ada apa – apa sama gue, loe harus jagain dia ya?” tatapan Ray seperti menerawang.
            “Ngaco! Loe aja yang jagain dia. Gue sih ogah, emangnya gue baby sitter apa? Kata Dany agak kasar walau dalam hatinya berkata lain. Tanpa loe suruh juga pasti gue jagain mati – matian tuh cewek,batin Dany.
            “Gue serius, Dan,” kata Ray.
            “Iya deh. Gue janji bakal ngelindungi Samantha kalo terjadi sesuatu sama loe,” Dany menyerah untuk berbohong.
            “Thanks, Dan. Gue akan ingat janji loe selamanya,” Ray memeluk Dany.
            “Ah udah jangan peluk – peluk,” Dany pura – pura marah.

Keesokan harinya, dimulailah lomba balap motor di tempat yang sudah ditentukan. Medan area cukup luas, namun sedikit basah akibat hujan semalam. Semua peserta lomba bersiap – siap di garis start. Dany menoleh pada Ray, saat itu Ray itu mengacungkan jempol tanda ia baik – baik saja dan siap mengikuti lomba. Dany menganggung. Terdengar aba – aba panitia, 1... 2... 3... Dorr! Tembakan dilepas ke udara. Semua peserta lomba memacu motor melewati lintasan.
Awalnya, Dany memimpin di depan. Ray berada di posisi ketiga setelah Dany. Ia berusaha menyalip motor – motor lainnya dan berhasil sejajar dengan Dany. Satu menit kemudian ia melajukan motornya dan berada agak jauh dari Dany, sekarang ia memimpin di depan sendiri. Dany tak mau kalah, ia berusaha menyusul namun Mody mengejarnya. Tikungan mulai terlihat di depan mata, semua pengendara bersiap – siap dan mengatur kecepatan yang tepat. Samar – samar Dany melihat motor yang dikendarai Ray sedikit oleng. Cahaya matahari sedikit membuat mata silau, namun Dany menyipitkan mata dan melihat Ray yang memiringkan tubuhnya, lututnya menyentuh lintasan dan Bruaaak!!! Ia jatuh terpelanting, motornya terpental ke samping melompati batas lintasan. Dany sangat terkejut. Ia mengambil resiko untuk menepi secepat mungkin dan menolong Ray.
            “Cepat panggil ambulans!” seru petugas – petugas yang mulai berdatangan dan mengerumuni Ray. Dany sendiri memeluk sahabatnya itu dan memanggil – manggil nama Ray, tapi cowok itu tidak bergerak sama sekali.
            Beberapa saat kemudian ambulans datang dan Ray langsung dilarikan ke rumah sakit. Dany dan kawan – kawannya ikut mengantarkan Ray.
*
            “Ray!” Samantha berlari mendekati kamar ICU tempat Ray dirawat. Dany dan kawan – kawannya sudah berjaga di rumah sakit selama dua hari. Samantha sendiri langsung datang setelah mendengar berita kecelakaan Ray dari Charly. Orang tua Ray sendiri sudah datang kemarin, ibunya tidak henti – hentinya menangis dalam pelukan ayah Ray.
            “Sabar Tha, ayo ikut aku,” Dany menarik tangan Samantha dan mengajaknya menjauh karena belum ada yang diperbolehkan masuk ke kamar Ray.
            “Seandainya dia tidak ikut balapan, gak akan seperti ini, Dan,” Samantha terisak.
            “Ini sudah takdir. Kamu harus optimis dia bisa sembuh,” Dany berusaha menenangkan Samantha.
            “Aku gak mau kehilangan dia. Aku sayang sama Ray,”
            Hati Dany terluka, namun ia tidak tega melihat keadaan Samantha yang sedang terpuruk. Refleks Dany memeluk Samantha, namun gadis itu menolak.
            “Jangan seperti itu, Dan. Aku gak mau saat Ray sadar, dia salah paham tentang kita,” kata Samantha. Ia mengusap airmatanya dan pergi meninggalkan Dany.
            Aku harus bagaimana? Yang di dalam sana adalah sahabatku, yang berada di dekatku seorang gadis yang kusukai. Meskipun kejam, aku ingin mendapatkannya. Apapun caranya. Tapi bagaimana dengan Ray? Haruskah aku mengharapkannya pergi agar aku mendapatkan Samantha? Oh, apa yang sedang kupikirkan? Ray itu sahabatku! – Dany begitu bingung dengan hatinya.
            Dany sempat melihat pada Samantha yang sedang menangis di dekat pintu kamar Ray. Rasanya begitu menyakitkan. Gadis yang ia cintai menyalahkannya atas kejadian yang menimpa Ray, padahal Dany tidak melakukan apapun untuk menciderai Ray.  Ia meraih ponsel dari dalam sakunya. Setelah menimbang untuk beberapa saat, Dany kemudian menekan tombol – tombol ponsel dan menelpon seseorang.
            “Ayah, aku sudah putuskan. Aku setuju pergi ke Kuala Lumpur,” kata Dany via telepon.
            Dany menghela napas. Sebelum pergi ia melihat punggung Samantha yang berguncang karena gadis itu menangis. Selamat tinggal, Samantha.
*
Sebulan telah berlalu sejak peristiwa kecelakaan Ray. Ternyata nasib baik masih berpihak pada Ray. Pemuda itu kini dapat melalui hari – harinya kembali walau tidak seperti dulu. Ray terpaksa harus duduk di kursi roda karena kakinya lumpuh. Sumsum tulang belakangnya rusak dan menyebabkan kaki kirinya lumpuh. Ia menjadi pemurung dan memilih menyendiri di kediamannya.
“Ray, Samantha datang,” ibu Ray mengetuk pintu kamar putra semata wayangnya itu.
“Aku tidak mau bertemu siapapun,” seru Ray dari dalam kamar.
“Ray, kumohon biarkan aku masuk,” Samantha mencoba membujuk kekasihnya. Lama tidak ada jawaban dari dalam.
“Biarkan saja dulu, Nak Samantha. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir,” Ibunda Ray mengajakSamantha turun. Dengan lemah Samantha menurut. Saat mereka hendak pergi, Ray membuka pintu kamarnya.
“Samantha, aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Ray.
Samantha tersenyum senang. Ia kemudian mengikuti Ray yang memutar kursi rodanya menuju koridor ruangan.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Samantha penasaran. Ia berlutut di hadapan Ray karna ingin melihat wajah Ray lebih jelas.
“Kau lihat kondisiku ini? aku sudah tidak pantas lagi untukmu,” kata Ray.
“Aku menyukaimu bukan karna fisikmu, tapi karna hatimu,”
“Tapi dengan kondisimu yang seperti ini bagaimana aku bisa melindungimu? Kau tidak tahu bagaimana perasaanku,”
“Kamu juga tidak tahu perasaanku. Seandainya aku yang lumpuh, apa kamu juga akan meninggalkanku?” tanya Samantha.
“Kenapa bicara begitu? Aku tentu saja akan selalu mendampingimu!”
“Itulah yang kurasakan,” ujar Samantha.
Ray tercengang. Samantha menyadarkan Ray bahwa mereka berdua tidak ingin berpisah. Apapun yang terjadi tidak dapat membuat mereka berpikir untuk mundur.
“Kamu bersungguh – sungguh?” tanya Ray ragu.
“Ya,” Samantha mengangguk mantap.
“Kalau begitu buktikan. Kita akan menikah dua bulan lagi. Aku memberimu waktu selama 2 bulan untuk berpikir apakah kau benar – benar ingin bersamaku atau tidak,” ujar Ray. Samantha sama sekali tidak bergeming.
Sementara itu di lain sisi, Dany sudah menetap di Kuala Lumpur untuk melanjutkan studinya di bidang Manajemen. Walaupun sudah jauh, kerap kali ia merasa bersalah karena telah pergi begitu saja. Sungguh seperti pecundang yang tidak berani menghadapi kenyataan. Keresahannya membuatnya berpikir untuk menghubungi temannya. Ia lalu menelpon salah satu anggota genk Scorpion.
“Moldy, ini aku,” ujar Dany ketika Moldy mengangkat telepon darinya.
“Hei pengecut! Ada apa lagi sekarang?” suara Moldy terdengar kesal.
“Moldy, kamu tahu kan kejadian yang menimpa Ray sama sekali bukan salahku,”
“Ya, aku tentu saja tahu. Justru karna itu kamu pengecut. Kamu tidak berani menjelaskan kalau kamu tidak bersalah. Malah kamu kabur ke luar negri,”
“Samantha membenciku. Aku tidak mungkin menunjukkan wajahku di hadapannya,” terang Dany.
“Dia sudah tidak apa – apa. Ray sudah menjelaskan padanya,”
“Ray sudah sembuh?” Dany terkejut. Ia bersyukur Ray baik – baik saja.
“Ya. Mereka akan menikah 2 bulan lagi,” ujar Moldy dengan nada datar.
“A...apa?” Dany tidak percaya.
 “Iya. Sudahlah, walaupun kamu muncul pun tidak ada gunanya. Sudah dulu ya, aku lagi sibuk,” Moldy menutup pembicaraan.
Dany terkulai lemas. Pupus sudah harapannya. Pada akhirnya ia tetap saja menjadi si penakut. Takut pada kenyataan. Ia memutuskan untuk melupakan semua yang terjadi dalam hidupnya selama ini. ia ingin membuat hidup baru di Kuala Lumpur sebagai orang yang baru.
*
            5 tahun berlalu dengan cepat. Kini  Dany berubah menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ia tidak lagi menjadi seorang pengecut atau brandalan. Ia membuktikan bahwa ia benar – benar berubah. Lima perusahaan asing di Malaysia dipercayakan kepadanya sebagai Direktur Perusahaan.
            Malam ini ia akan menjumpai sebuah perjamuan dengan para investor di sebuah hotel mewah. Dany tidak ingin terlambat datang. Setelah menyiapkan penampilan sebaik mungkin, ia segera meluncur dengan mobil Accord bewarna silver produksi Honda yang cabang perusahaannya dipercayakan padanya.
15 menit kemudian ia memasuki ballroom yang megah. Nuansa malam itu formal. Sekumpulan orang berdasi menghadiri acara. Para sosialita juga berkumpul disana dengan gaun – gaun elitnya. Sebagian orang datang bersama pasangan, namun Dany terlihat percaya diri walau datang tanpa pendamping.
“Bukk!” seorang anak menumbruk kaki Dany.
“I’m so sory. Where’s your mother?” Dany berlutut untuk melihat wajah mungil itu. Anak laki – laki itu terlihat seperti orang melayu dan seperti familier dengannya.
“I’,m sory, my son disturbs you, Sir,” seorang wanita bergaun hitam elegan menghampiri Dany. Dany tampak terkejut, begitu pula dengan wanita itu.
“Dany?” tanya wanita itu memastikan.
“Samantha? Ini... putramu?” Dany balas bertanya.
“Ya, ini putraku. Maaf putraku mengganggumu,” Samantha menghampiri anak kecil itu dan menggandeng lengan mungilnya.
“Sedang apa disini?” tanya Dany bingung.
“Aku investor baru disini. Kau sendiri?” Samantha kikuk.
“Aku... aku direktur perusahaan,” jawab Dany gugup.
“Sungguh tidak menyangka dapat bertemu denganmu disini. Mana istrimu?”
“Aku belum menikah,” Dany tersenyum lirih. “Mana Ray? Kudengar kalian menikah lima tahun yang lalu,”
“Suamiku sudah meninggal. Sebelum meninggal ia menanyakanmu,” Samantha tampak sedih saat mengatakan hal itu.
“Maafkan aku. Aku sungguh tidak tahu,” kata Dany.
“Tidak apa – apa. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku sudah menyalahkanmu untuk sesuatu yang tidak kau lakukan,”
“Ah sudahlah, lebih baik tidak usah diingat lagi,” kata Dany.
“Maaf Dany, aku harus pergi. Aku disini bersama Renata. Sepertinya ia mencariku,” kata Samantha.
“Oh, tunggu sebentar,” tanpa sengaja Dany memegang lengan Samantha. “Maaf, kamu tinggal dimana?”
“Aku menginap di hotel ini. kamar nomor 26, bersama Renata tentunya. Bye Dany,” Samantha berlalu bersama putra kecilnya.
Dany memandang kepergian Samantha. Ternyata sejauh apapun ia berlari, tetap saja suatu saat ia bertemu lagi dengan gadis yang ia cintai itu. Dunia memang begitu sempit.
*
            Keesokan harinya, Dany memutuskan untuk berkunjung ke kediaman Samantha. Ia merapikan jasnya dan bergegas pergi ke hotel yang semalam ia datangi. Setelah sampai di hotel, ia segera menaiki lift dan mencari kamar nomor 26.
            “Dany?” seorang wanita membukakan pintu ketika Dany menekan tombol di pintu kamarnya.
            “Renata, lama tidak berjumpa. Apa Samantha ada?” tanya Dany tidak sabar.
            “Dia sedang berjalan – jalan bersama putranya. Mungkin belum jauh, cari saja di taman dekat sini,” kata Renata.
            “Oh, terimakasih Ren,” Dany bergegas pergi. Ia mencari Samantha di taman. Ternyata susah juga karena banyak orang disana pagi itu. Kemudian pandangannya tertuju pada seorang wanita yang tengah bercanda dengan anak kecil di bangku taman. Disitu rupanya Samantha. Dany berlari menghampirinya.
            “Samantha,” sapanya terengah – engah.
            “Oh, sedang apa disini?” Samantha terkejut.
            “Aku sedang jalan – jalan,” dusta Dany.
            “Jalan – jalan memakai jas?” Samantha memperhatikan pakaian Dany.
            “Aku ingin bertemu si kecil,” ujar Dany.
            “Oh. Ayo Ramdan, beri salam pada paman Dany,” Samantha mengulurkan tangan putranya.
            “Halo paman,” anak itu lalu mencium tangan Dany.
            “Halo juga,” Dany mengusap kepala Ramdan dengan lembut.
            “Kenapa menamainya seperti namaku?”
            “Ray yang memintanya. Duduklah di samping Ramdan,” ujar Samantha sambil menepuk – nepuk kursi taman tempatnya duduk.
            Dany segera duduk di sisi Ramdan kecil. Ia langsung sayang pada anak itu. Diangkatnya Ramdan kecil lalu dipangkunya sambil sesekali ia menciumi pipinya seperti pada anaknya sendiri. Entah mengapa ia merasa begitu rindu pada anak itu.
            “Dan, sebenarnya aku ke Kuala Lumpur karena pesan terakhir Ray,” kata Samantha.
            “Pesan apa?” tanya Dany penasaran.
            “Dia bilang, ‘Dany punya janji yang harus ditepati. Pergilah kesana untuk menagih janjinya padaku’,” Samantha menirukan kata – kata suaminya.
            Dany terdiam. Ia masih ingat janji itu. Ray pernah memintanya untuk menjaga Samantha jika sesuatu menimpa dirinya.
            “Aku tidak tahu janji apa itu. Ray tidak mau mengatakannya. Aku harus menanyakannya langsung padamu,” lanjut Samantha.
            “Soal itu, aku tidak tahu ia masih mengingatnya,” kata Dany lirih. Matanya memandang lurus ke depan, seolah tidak ingin menatap mata Samantha.
            “Bolehkah aku tahu janji apa itu?”
            “Ia memintaku untuk menjagamu,” jawab Dany pelan.
            Samantha tidak berkata apa – apa. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan tubuhnya terguncang, rupanya ia menangis.
            “Tha, maafkan aku,” Dany berusaha menenangkan Samantha walau tidak menemukan kata – kata yang tepat.
            “Mama,” Ramdan ikut merajuk melihat ibunya menangis.
            “Jangan menangis, Ramdan ketakutan,” ujar Dany lagi.
            “Aku ingin kembali ke hotel. Tolong antarkan aku,” kata Samantha.
Dany mengangguk setuju. Ia berjalan beriringan dengan Samantha, sementara Ramdan kecil digendongnya. Selama perjalanan mereka tidak saling bicara. Tapi Dany kelihatan sibuk dengan Ramdan kecil. Berkali – kali ia tertawa ketika menggoda anak itu dengan cubitan – cubitan kecil. Samantha sesekali memerhatikan keduanya yang cepat akrab. Ia tersenyum lirih namun tidak mengatakan apa – apa hingga tiba di depan kamarnya.
“Sudah sampai. Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa. Daagh Ramdan,” Dany melambaikan tangannya pada putra Samantha.
“Dany,” panggil Samantha ketika pria itu menjauh. Dany menoleh. “Aku ingin menagih janjimu pada suamiku,”
Dany tersenyum. “Sebaiknya kita mulai semuanya dari awal. Sampai jumpa lagi, Samantha!” Dany melambaikan tangan. Dalam hati ia berjanji, esok ia akan datang lagi dan lagi. Ia akan selalu hadir dalam hidup Samantha. Bukan sekedar menepati janji pada sahabatnya, tapi lebih karena seribu cinta yang tak pernah padam untuk Samantha.
SELESAI
 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting