Minggu, 04 November 2012

Mendaki Pelangi

Diposting oleh Ken Mercedez di 19.46.00 0 komentar

 Waktu kecil, aku selalu mendengarkan dongeng tentang putri di suatu kerajaan, peri, atau putri duyung. Ibu membacakan dongeng – dongeng itu sebelum aku tidur. Hingga kini dongeng ibu menjadi harta karun yang berarti bagiku, tapi tidak bagi teman – temanku. Mereka menertawaiku, mengatakan aku gila, atau hidup dalam ilusi. Tidak ada yang memahamiku. Padahal mengenang semua dongeng itu seperti mendaki pelangi. Jalan hidup semakin menanjak, dan setiap kita mendaki terasa berat, namun pelangi tetap indah dan menjadi inspirasi. Pelangi itu ibaratnya dongeng yang selalu menjadi inspirasi hidupku.
*
“Ivy, melamun lagi?” tegur Lina, penjaga perpustakaan yang bergantian shift denganku.
“Ehm, nggak kok,” jawabku sedikit ragu, karna sepertinya tadi aku memang melamun.
“Berhayal ketemu makhluk kerdil lagi? Aku lupa namanya,” Lani mengerutkan kening seperti mencoba mengingat sesuatu.
“Kurcaci,” jawabku singkat. Ternyata Lani masih ingat kejadian ketika aku mengamati sudut ruangan perpustakaan, berhayal melihat seorang kurcaci kecil membawa sekop hendak menggali lubang harta karun disana.
“Sudahlah, cari imajinasimu di luar. Sekarang ganti aku yang jaga,” Lani meletakkan tasnya di atas mejaku.
“Baiklah. Aku pulang dulu ya,” kataku.
“Ya, hati – hati di jalan. Jangan sampai terjatuh ke lubang yang digali kurcacimu itu,” Lani terkikik sendiri. Aku tahu ia sedang mengejekku, tapi dia tidak sadar sudah terbawa fantasi yang sama denganku.
Aku hanya tersenyum, senang rasanya ketika seseorang mulai berfantasi sepertiku. Ku lambaikan tanganku sebelum pergi meninggalkan perpustakaan.
*
Langit begitu cerah, tak tampak awan mendung seperti hari kemarin. Orang - orang berlalu lalang di pinggir jalan, dan sebagian lagi bersepeda bersama teman – temannya. Hari Sabtu memang hari yang indah, apalagi hari minggu. Aku mengamati seorang pedagang buah yang sedang sibuk melayani pembeli anggurnya. Perhatianku teralih pada makhluk kecil yang sedang asik melahap buah anggur. Makhluk itu sangat lucu, telinganya mencuat ke atas seperti kucing. Tubuhnya mungil dengan baju yang terbuat dari dedaunan kering, dan ia bersayap! Ia menoleh ke arahku yang sejak tadi mengamatinya.
“Ssssttt….” Ia menempelkan jari telunjuknya di tengah bibir kecilnya.
Aku hanya tersenyum. Entah ini imajinasiku atau makhluk itu memang benar nyata. Kuteruskan jejak kakiku hingga melewati jalan yang menanjak, aku berhayal jalan menanjak ini seperti pelangi yang membawa orang – orang ke sebuah kastil yang megah di langit. Nampak seorang pelukis jalanan sedang asik melukis bunga – bunga di pinggir jalan. Sejenak aku memandanginya, ia lebih muda daripada pelukis yang biasanya.
“Hei,” seru pemuda itu.
Aku menoleh ke sampingku, tidak ada orang. Lalu aku menoleh ke belakangku, juga tidak ada orang. Sebenarnya pemuda itu sedang menyapa siapa? Apakah aku?
“Iya,kamu,” serunya lagi seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Mau menjadi model lukisanku?” katanya lagi.
“Aku? Jadi model?” tanyaku tak percaya. Aku mendekatinya.
“Iya, aku sedang mencari seorang gadis yang cocok kulukis. Sepertinya kamu cocok,” katanya.
“Apa temanya?” tanyaku.
“Seorang peri bunga,” jawabnya singkat.
“Peri?” aku terperangah.
“Ya, kenapa?”
“Aku tak menyangka kau juga sama sepertiku, suka berimajinasi,” sorakku bersemangat.
“Hahaha,” ia tertawa. “Kau juga senang melukis?”
“Aku tidak bisa melukis,” kataku tersipu.
“Kalau begitu tulislah imajinasimu. Bagikan pada semua orang,”
“Jangan bercanda,” ujarku malu - malu.
“Serius,” jawabnya. “Oh ya, namaku Ethan,”
“Ivy,” jawabku.
“Mau menjadi modelku?” tanya Ethan lagi.
“Ya, tentu,” jawabku. Ethan lalu mempersilahkanku duduk di kursi kecil yang berhadapan dengannya.
Aku mengatur pose yang baik dan tersenyum manis. Kira – kira satu jam kemudian Ethan mengatakan lukisannya sudah hampir jadi, selebihnya ia akan menambahkan di rumah. Ia tidak memperbolehkanku melihat lukisannya dengan alasan masih belum sempurna.
Karena sudah senja, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Besok aku akan menemui pelukis itu lagi.
*
Keesokan harinya, aku sudah tidak sabar bertemu Ethan. Aku segera bergegas pergi ke tepi jalan yang menanjak dimana aku bertemu dengannya kemarin. Kugunakan baju terusan dengan motif bunga matahari tanpa lengan dan topi anyaman dengan hiasan bunga matahari yang senada dengan bajuku.
Aku menunggu Ethan yang sepertinya belum datang. Setengah jam kemudian seorang pria datang membawa kanvas dan kursi kecil. Ia lalu mengatur tempat untuk melukis di tempat dimana Ethan melukisku kemarin. Pria itu yang biasanya kulihat selama beberapa bulan ini, entah mengapa kemarin ia tidak datang melukis dan digantikan oleh Ethan. Aku begitu penasaran hingga berjalan menghampirinya.
“Permisi, apakah Anda mengenal pelukis yang kemarin melukis disini?” tanyaku.
“Oh, Ethan ya? Dia sudah pulang ke kota asalnya. Katanya bahan untuk pameran seninya sudah selesai,” jawab pria itu sumringah.
Aku hanya termenung. Padahal aku ingin sekali bertemu dengan pemuda itu lagi. Menurutku ia mirip seorang pangeran Elf muda yang tampan dengan hidung mancung dan dagu lancipnya. Aku pulang dengan hati hampa.
*
Sepanjang hari kugunakan untuk melamunkan Ethan. Bahkan ketika aku menjaga perpustakaan seperti biasanya pun kuhabiskan untuk melamun.
“Hei, jangan melamun terus!” tegur Lani. Ia berkacak pinggang dan berdiri memperhatikanku, seperti hendak menghakimi.
“Kali ini apa? Putri duyung baru saja mati di kolam kecilnya?” lagi – lagi ia meledekku.
“Bukan, pangeranku telah pergi,” jawabku sendu.
“Ivy, kamu begitu menyia – nyiakan hidupmu. Coba kau gunakan waktumu untuk sesuatu yang lebih baik, menulis dongeng mungkin,” usul Lani sambil merapikan rambut ikalnya.
Untuk sesaat aku terdiam, Ethan juga pernah berkata hal yang sama.
“Kau benar,” kataku dengan mata berbinar. Aku berdiri dan memeluk sahabatku itu. Aku segera bergegas pulang untuk menulis ide – ide yang selama ini beterbangan di kepalaku.
“Mau kemana?” tanya Lani bingung.
“Menulis dongeng,” sahutku singkat.
*
Hampir setiap hari aku membuat dongeng dan mengirimkannya ke penerbit. Hingga 1 tahun berlalu sejak aku memutuskan untuk menjadi penulis. Aku pun memutuskan untuk pindah ke Jakarta demi karir menulisku.
Di hari Minggu yang cerah, aku duduk di bangku taman sambil menulis ide – ide baru. Setelah semua ide kutangkap dalam sebuah buku catatan, aku memutuskan untuk berjalan – jalan sebentar. Ku dengar hari ini ada pameran seni lukis bertajuk Fantasia di sekitar taman tempatk menulis.
Aku berjalan melalui jalan setapak hingga tiba di sebuah galeri. Di depan galeri itu ada sebuah papan dan pamflet tentang Fantasia. Ada dua orang gadis dengan kostum kelinci yang lucu membagi – bagikan brosur pada pengunjung yang datang. Seorang pria kecil berdiri di sudut yang lain, berkostum kurcaci dengan balon – balon di tangannya.
Tak sabar aku untuk melihat ke dalam galeri itu. Aku segera masuk dan mengisi buku tamu di resepsionis. Ketika aku melihat – lihat lukisan di dalam galeri itu, aku sangat terpukau. Lukisan – lukisannya begitu hidup, seolah ingin mewujudkan khayalan menjadi kenyataan.
Aku mendekati sebuah lukisan yang menggambarkan putri duyung di tengah lautan sedang menyapa pelaut yang berlayar dengan kapal megahnya.
Lalu ada sebuah lukisan tentang kelinci – kelinci yang membuat kue mochi di bulan. Aku tersenyum melihat lukisan yang menjadi legenda di Jepang.
Kemudian aku beralih pada sebuah lukisan dengan kanvas besar di tengah ruangan. Tampak seorang gadis manis dengan rambut ikal panjang duduk manis dengan latar kebun bunga. Aku terperanjat, gadis yang disebut peri dalam lukisan itu adalah aku.
“Kau datang juga,” suara lelaki yang familiar di telingaku membuatku terkejut.
Aku menoleh ke asal suara di belakangku dan aku melihat Ethan, pangeran Elf-ku.
“Aku yakin kau pasti datang,” kata Ethan lagi. “Aku sudah membaca dongeng – dongengmu, Nona Ivon Margaretha,”
Aku tersenyum mendengar kata – katanya.
“Hidup ini memang seperti meniti pelangi, seperti katam dalam setiap dongengmu,” ujar Ethan lagi.
“Ya, terkadang begitu sulit mencapai puncak pelangi untuk melihat keindahan dunia dalam fantasi kita,” lanjutku.
“Kau suka lukisan Peri Bermata Biru-ku?”
“Aku sangat menyukainya,” jawabku.
“Mungkin nanti aku bisa melukismu sebagai putri duyung,” gurau Ethan.
“Aku tidak mau,” jawabku sambil tertawa. Akhirnya aku menemukan pangeran Elf-ku lagi setelah bersusah payah mendaki pelangi.
Selesai

Sedikit share:
Cerpen ini aku bikin waktu boring dengerin dosen di kelas. Waktu kuliah selesai, cerpen ini juga finish. Degdegan banget deh bikinnya, dosennya nunjuk-nunjuk terus sih. >_<

Jumat, 19 Oktober 2012

Resensi Singkat Dorama Arang and The Magistrate

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.59.00 0 komentar
Arang and The Magistrate (Arang dan Hakim)
15 Agustus 2012
Pemeran:
Shin Min Ah
Lee Jun Ki
Yun Woo Jin
Cerita Singkat:
Pada masa Joseon, hantu - hantu berkeliaran di dunia manusia. Salah satu hantu itu adalah Arang (Shin Min Ah). Arang berbeda dengan hantu lainnya yang datang ke dunia manusia karena memiliki urusan duniawi yang belum terselesaikan. Ia kabur dari alam baka karena penasaran mengapa ia menjadi satu - satunya hantu yang tidak ingat masa lalunya. Suatu hari ia bertemu Kim Sato (Sato ini artinya Hakim) yang diperankan oleh Lee Jun Ki. Lee Jun Ki bisa melihat hantu dan ia sedang dalam misi mencari ibunya yang hilang. Keduanya kemudian bekerjasama menemukan ibu sang Hakim dan masa lalu Arang yang ternyata saling berkaitan.
Bagus deh ceritanya, romantis banget!

Senin, 20 Agustus 2012

Pak Nimo, Si Penjual Sapu Lidi

Diposting oleh Ken Mercedez di 23.17.00 0 komentar
Pada bulan ramadhan yang baru saja berlalu ini, ada seorang kakek tua yang menjajakan sapu lidi di depan rumahku. Kakek tua itu bernama Pak Nimo. Umurnya sudah 90tahunan dan masih sanggup berjalan jauh walau dengan langkah tertatih – tatih. Itu senantiasa dilakukannya untuk menjual sapu lidi. Di usianya, beliau tinggal seorang diri di rumah kecilnya di pinggir kota. Setelah aku membeli sapu lidi dagangannya, Pak Nimo meminta izin beristirahat di teras rumahku karena lelah. Subhanallah, beliau tetap berpuasa sehingga aku tidak bisa menawarkan segelas air putih padanya.
Beliau mengingatkanku pada Almarhum kakekku yang sangat ku sayangi. Beliau juga bercerita tentang hidupnya, untuk berbuka puasa hanya makan nasi dan garam. Aku menangis mendengar kisah hidup beliau. Beliau sebenarnya punya 3 orang anak, tetapi semuanya tidak pernah menjenguknya lagi. Istrinya sendiri sudah meninggal sejak lama. Dari beliau aku memahami makna berpuasa, yakni merasakan penderitaan berlapar karena tidak ada yang bisa dimakan tetapi harus tetap semangat bekerja.
Sapu lidi yang dijualnya tidak banyak karena beliau tidak mampu membawa terlalu berat. Harga sapu lidinya 5000 rupiah dan hanya mengambil laba 500 rupiah. Satu hari jika laku satu buah saja sudah untung. Bayangkan bagaimana hidup yang beliau jalani. Beliau juga bertanya berapa harga beras yang enak. Aku menangis sekali lagi, dan lagi. Terus menerus sampai beliau memintaku berhenti menangis.
Kemarin aku memimpikan beliau mengenakan baju taqwa putih, mengenakan peci dan sarung kotak – kotak berwarna merah sembari membawa tongkat. Aku merindukannya. Walau hanya  kali aku bertemu dengannya, tapi aku menganggapnya kakekku. Setiap hari aku menanti beliau lewat di depan rumahku, tapi aku belum melihatnya lagi. Semoga beliau baik – baik saja. Aamiin.

Selasa, 14 Agustus 2012

Yang Kurindukan

Diposting oleh Ken Mercedez di 14.54.00 2 komentar
Kurindu rumput hijau di dekat rumahku,
kurindu embun basah di pagi hariku,
kurindu masa - masa itu,
saat hidup begitu sederhana.

Kini rumput telah mati,
berganti tanah dan bata.
Embun pun tak berasa,
terganti gumpalan asap membumbung tebal.

Hidup semakin rumit.
Hidup tak lagi semudah dahulu,
ketika masa kecil itu masih sederhana,
hijau dan basah.

Senin, 13 Agustus 2012

Catatan Si Boni

Diposting oleh Ken Mercedez di 08.40.00 0 komentar
Hai, namaku Boni. Umurku baru 4 bulan. Aku kucing paling ganteng sejagat kampung rumahku. Aku masih keturunan Persia loh! Nama ibuku Hwang Beo Jin atau lebih unyu dipanggil Pochil.

Mama Pochil merupakan kucing elit, paling elit di kampungku. Dia asli keturunan Persia. Tidak ada kucing yang berani mendekatinya selain ayahku. Ayahku punya nama panggilan Si Tukang Becak. Hihi... Nama panggilan ini diberikan Pak Ayam karena ia tidak suka pada kucing kampung kotor, dekil, dan kurus yang mendekati kucing elit kesayangannya. Kisah cinta Mama Pochil mirip Romeo dan Juliet versi kucing. Gimana enggak, setiap mereka bertemu selalu sembunyi sembunyi di belakang rumah. Kalau ketahuan Pak Ayam bisa payah! Pernah Pak Ayam memergoki Si Tukang Becak mendekati ibuku. Pak ayam yang berang menembakkan senjata angin pada ayahku, namun ayahku yang cerdik dan lincah berhasil melarikan diri.

Kemudian Mama Pochil hamil. Kehamilannya baru diketahui setelah aku dan sodara sodaraku dilahirkan, jadi udah telah banget ya.
Aku dan keenam sodaraku yang lain lahir di kasur Pak Ayam. Malam itu Mama Pochil nekad naik ke atas kasur. Walaupun dipaksa turun, Mama Pochil gak mau. Hingga akhirnya tengah malam sampai jam 7 pagi, Mama Pochil melahirkan 7 anak berturut turut. Sayangnya 3 sodaraku mati karena kondisinya lemah. Aku dan ketiga sodaraku yang lain kemudian dibesarkan di sebuah ember besar yang cukup untuk memandikan bayi manusia. Mama Pochil tidak selalu menemani kami. Terkadang ia mencari ruang yang lebih luas dan tidur di lantai. Mungkin Mama Pochil sedikit tertekan karena ayah tidak pernah datang menjenguk kami.

Setelah berumur 2 bulan, aku dan ketiga sodaraku dipisah. Muezza, kucing yang mirip denganku dan berjenis kelamin jantan menjadi milik teman anak Pak Ayam. Disana ia hidup sejahtera dan berlimpah kasih sayang. Melas kemudian diberikan pada sodara Pak Ayam. Melas awalnya bernasib buruk. Ia menularkan jamur gatal padaku dan sodara sodaraku yang lain. Karena mengakibatkan manusia gatal gatal hebat, Melas sempat berpindah pindah tangan dari satu orang ke orang lainnya. Kabar terakhir yang kudengar, dia diasuh sebuah keluarga yang sangat menyayanginya. Ia dimandikan 2 kali sehari dan dibedakin mirip bayi manusia! Hii...

Aku dan Bonu tinggal di rumah Pak Ayam. Pak Ayam dan kedua putrinya sangat menyayangi aku. Mereka bilang aku kucing ganteng, unyu, dan mirip banget sama Mama Pochil. Sedangkan Bonu yang berwarna hitam-kuning kecokelatan menjadi kesayangan istri Pak Ayam. Bonu memang tidak terlalu unyu, tapi dia sangat cerdik dan licik, juga nakal. Aku sering mengikuti jejak Bonu karna kupikir dia keren!

Mama Pochil hanya bersama kami selama 2 bulan. Suatu sore Mama Pochil menghilang dan tidak kembali sampai sekarang. Kemungkinan 99,99% Mama Pochil diculik orang jahat. Pak Ayam sekeluarga sedih dengan kepergian Mama Pochil. Aku dan Bonu pun begitu.
Sampai saat ini, Mama Pochil masih ada dalam ingatan kami. Kadang aku berdoa, semoga yang mencuri ibuku ketiban sial seumur hidupnya. Tapi itu terlalu jahat juga sih, mengingat mungkin saja pencurinya nekad karna tuntutan hidup. Aku berusaha mengikhlaskan Mama Pochil pergi.
Mungkin di belahan dunia manapun tempat Mama Pochil sekarang tinggal, ia bisa hidup lebih bahagia sebagai kucing elit dan berkelas. Mungkin ia dapat menikmati perawatan untuk kucing elit, rajin check up ke dokter hewan, dan mendapat makanan yang mahal dan lezat. Sluuurrrpppp... Mama Pochil, dimanapun Mama berada semoga aku dan Bonu selalu ada di hatimu. Sarangheyo, Mama Pochil!

Minggu, 29 Juli 2012

Logo Ken Mercedez

Diposting oleh Ken Mercedez di 18.23.00 1 komentar
Guys, aku lagi bikin logo sederhana dengan segenap kemampuanku nih. Kira - kira bagus yang mana ya? Menurutku sendiri sih yang ijo, menurut kalian gimana?

Logo 1:



Logo 2:

Senin, 23 Juli 2012

ABG Galau

Diposting oleh Ken Mercedez di 23.19.00 0 komentar
Guys, tanpa sengaja aku nemuin postingan gambar ini di fb salah seorang temanku. Coba deh diamati, diresapi dalam - dalam. hehehe... Gambar ini lucu lho, sekaligus mengingatkan Qta pada kebiasaan galau yang sering menerpa Qta.

Sekarang lagi musimnya galau. Aku sendiri bingung, siapa pencetus kegalauan ini pada mulanya ya? Terus kenapa harus kata 'galau' yang dipilih? Kok bukan 'Pening' misalnya, atau 'Resah' kek gitu? hehehe
Cukup kreatif sih dengan pilihan kata 'galau'. Unik gimanaaaa geto. hohohoho

Aku sendiri gak memungkiri, daku pun sering galau. Apalagi pas jaman SMA dulu. Hampir tiap hari Galau! Sukanya nangis dengerin lagu - lagu sedih, melow gitu. Waktu itu dengerin lagunya Letto, D'Massiv terus apaan lagi ya, udah banyak yang lupa. Pas waktu dengerin lagu aja baru keinget deh lagu itu pernah aku gemari waktu galau. Padahal nih, banyak orang yang permasalahannya lebih berat daripada Qta, tapi gak diekspos seperti Qta. hm...

Dulu itu aku sering galau pas mikirin dihianati sahabat, putus cinta, nilai ujian ancur, dimarahin ortu, dimarahin guru, kadang gara - gara bokek. xixixi

But, itu alami. Mungkin banyak remaja lainnya yang mengalami kegalauan. Semua ada prosesnya. Untuk menuju dewasa mungkin Qta masuk zona galau dulu. Asal, galaunya jangan lama - lama ya! Ntar bisa stres. Enjoy aja lagi, kayak iklannya rokok. Semuanya pasti berakhir, gak selamanya Qta galau tanpa bahagia.

Kalau kamu disuruh milih, ngikutin trend galau atau jadi orang yang hepi pilih mana? Kalo aku sih milih jadi orang hepi dong. So, Qta harus bangkit. Masalah - masalah yang Qta alami saat ini emang kadang terasa beraaaatttt banget. Tapi suatu saat nanti kalo Qta mengingat masa - masa berat itu bisa senyum - senyum sendiri karna Qta bisa melaluinya. Yang terpenting adalah mengambil maknanya. Ingat, di buku Sidu *kok jadi promosi?* ada tulisan yang kalo gak salah gini nih: Experience is a good teacher. Ada tuh di bawah sendiri. Dulu pas sekolah aku sering melafalkan kata - kata itu.

Semangat ya Guys! Semoga Qta bisa cepet - cepet keluar dari zona Galau yang bikin kepala pusing, hati perih, perut kembung, sesak napas, nyeri sendi, keram otot *alaydotcom* 

Hidup itu indah, terlalu indah untuk ditangisi :D

Rabu, 18 Juli 2012

Merengkuh Rembulan

Diposting oleh Ken Mercedez di 16.02.00 0 komentar

Terik sinar matahari membakar kulitku. Peluhku bercucuran dan tubuhku lelah. Tuanku yang gagah dan tampan tengah menunggangi unta yang ku tuntun menggunakan sebuah tali yang begitu kuat.
“Zaidah, apa kau lelah?” tanya Tuan Aamir padaku.
“Tidak Tuan. Saya masih mampu melanjutkan perjalanan,” ucapku. Aku menengadah memandang wajahnya. Begitu sadar segera ku tundukkan kepalaku. Wajahku panas, bukan karena sinar matahari, tetapi malu dan merasa bersalah. Sebagai seorang budak aku tidak seharusnya memandang wajah Tuanku. Ku betulkan cadarku, takut wajahku yang memerah tampak di hadapan Tuan Aamir.
“Aku lelah. Bisakah kita menginap semalam di penginapan dekat sini?” tanya Tuan Aamir.
“Ya Tuan, mungkin sekitar 1 kilometer lagi,” jawabku seraya menunduk. Aku segera melanjutkan langkahku sambil menarik unta.
“Kalau kau lelah, naiklah ke atas unta ini. Biar aku yang menuntunnya,” Tuan Aamir menawarkan diri.
“Sungguh Tuan, jangan berkata seperti itu. Hamba begitu tidak pantas melakukannya,” ucapku masih dengan menundukkan badan. Ku teruskan lagi langkahku sambil berharap Tuan Aamir tidak berkata apapun lagi. Semakin banyak beliau mengajakku bicara, semakin gugup aku menanggapinya.
Aku seorang budak belian yang mengabdi untuk keluarga Rajab sejak berumur 6 tahun. Ayahanda Tuan Aamir bernama Saif. Beliau membeliku dari seorang teman baiknya. Semula aku tidak punya nama, namun Tuan Aamir yang waktu itu berumur 9 tahun memberiku nama Zaidah. Lalu Tuan Saif Rajab menjadikanku pelayan pribadi Tuan Aamir hingga saat ini ketika aku berusia 21 tahun. Aku sangat kagum pada Tuan Aamir yang begitu cerdas, tampan, dan berakhlak mulia. Beliau selalu memperlakukanku dengan baik, berbeda dengan kebanyakan majikan yang berlaku sewenang – wenang pada budak mereka.
Saat ini aku sedang menjalankan tugas menemani Tuan Aamir pergi menemui keluarga calon istrinya. Tuan Saif menjodohkan putra pertamanya ini dengan putri seorang saudagar kaya. Namun aku merasa Tuan Aamir tidak begitu senang, hatinya masih tidak rela menerima perjodohan tersebut. Mungkin dikarenakan ia masih betah melajang.
“Disinikah tempatnya?” tanya Tuan Aamir saat kami sampai di sebuah penginapan kecil ketika senja.
“Ya Tuan,” jawabku.
Tuan Aamir turun dari unta dan segera masuk ke dalam penginapan. Aku mengikutinya setelah memberikan unta kepada penjaga penginapan.
“Kamarmu di sebelah kamarku,” kata Tuan Aamir.
“Terimakasih Tuan,” jawabku singkat. Tak tahu harus berkata apa lagi.
“Sebaiknya kita beristirahat terlebih dahulu. Besok pagi kita akan melanjutkan perjalanan,” ujar Tuan Aamir sambil tersenyum lirih. Beliau menatapku sejenak dengan tatapan sedih, tapi aku segera menunduk agar ia berhenti memandangku.
Setelah undur diri, aku segera masuk ke dalam kamar yang ditunjukkan Tuan Aamir. Aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan tempat tidur. Di depanku sebuah obor dipasangkan di dinding. Hanya cahaya obor itulah yang menerangi kamar kecil ini. aku membuka kerudung dan cadarku. Ku cari sebuah sisir mungil yang kutaruh di saku bajuku. Aku mulai menyisir rambutku yang hitam panjang. Hatiku kalut. Sebentar lagi Tuan Aamir akan menikah, kemudian memiliki anak. Aku akan menjadi pengasuh anak – anaknya. Entah kenapa aku sangat sedih, air mataku mengalir. Mengapa aku dilahirkan sebagai seorang budak? Seorang budak begitu hina untuk mencintai seseorang, apalagi orang itu adalah tuannya.
Ku berjalan mendekati jendela yang terbuka. Bulan purnama bersinar begitu terang. Memandangnya membuatku tersadar, mencintai Tuan Aamir sama halnya dengan keinginan merengkuh rembulan. Aku ingin menjadi pendamping hidup Tuan Aamir. Selama ini aku selalu melayani kebutuhannya. Setelah beliau menikah akan ada seorang istri yang mendampinginya dan aku harus menyingkir. Memikirkan ini semua membuat hatiku terluka. Kepalaku sedikit pusing. Aku memutuskan untuk tidur agar hatiku tentram setidaknya untuk saat ini.
*
Pagi hari setelah memakan sepotong roti aku bersiap – siap mendampingi Tuan Aamir melanjutkan perjalanan. Tuan Aamir sendiri sudah berdiri memunggungiku. Beliau bersiap – siap naik ke atas unta sementara aku segera memegang tali unta yang diserahkan penjaga penginapan padaku.
“Maaf. Apakah ada pasar di dekat sini?” tanya Tuan Aamir pada seorang lelaki tua penjaga penginapan.
“Ya. Anda lurus ke depan dan 2 kilometer lagi bertemu pasar yang cukup ramai,” ujar pria tua itu.
“Lalu bila saya hendak ke Khasmir harus ke arah mana?” tanya Tuan Aamir.
Aku terkejut, hendak kemana Tuanku ini? Bukankah tempat tujuannya bukan ke Khasmir?
“Dari pasar silahkan menempuh jalur kanan. Anda akan menemukan desa. Khasmir sangat jauh, sekitar 5 hari perjalanan. Anda harus menyebrang laut terlebih dahulu,” ujar pria tua tadi begitu yakin.
“Baiklah, terimakasih. Assalamualaikum,” kata Tuan Aamir sembari tersenyum dan sedikit membungkukkan badan.
“Waalaikumsalam warohmatullahiwabarokatuh,” jawab penjaga penginapan.
*
Kami melewati sebuah pasar, tepat seperti yang dikatakan pria tua penjaga penginapan. Tuan Aamir menunjuk seorang pria berjanggut tebal yang tengah berteriak – teriak menawarkan kudanya untuk orang yang mau membelinya.
“Assalamualaikum,” sapa Tuan Aamir pada pria berjanggut tebal.
“Waalaikumsalam,” jawab pria itu.
“Apakah kudamu dijual?” tanya Tuan Aamir.
“Ya Tuan,”
“Bolehkah aku menukarnya dengan untaku?” tanya Tuan Aamir lagi.
“Tentu saja,” pria itu gembira. Lalu Tuan Aamir turun dari unta dan menyerahkan tali kekangnya pada pria berjanggut tebal.
“Tuan, untuk apa membeli kuda?” tanyaku bingung.
“Kita membutuhkannya supaya cepat sampai di Khasmir,” jawab Tuan Aamir setelah mendapatkan kuda hitam yang terlihat masih muda dan kuat itu.
“Untuk apa kita ke Khasmir? Dari sini kita harus menuju timur Baghdad,”
“Tidak. Aku tidak ingin kesana. Naiklah. Ini perintah,” tuan Aamir memberikan tangannya agar aku dapat naik dengan mudah ke punggung kuda. Walaupun  ragu aku segera melaksanakan perintahnya.
Tanpa mengatakan apapun,beliau naik ke atas punggung kuda tepat duduk di belakangku. Jantungku berdebar kencang. Ia kemudian memacu kudanya dengan kencang menjauhi keramaian orang – orang di pasar.
Hari semakin siang. Kami semakin jauh dari Baghdad. Hingga tiba di sebuah danau, Tuan Aamir menghentikan kudanya. Beliau membantuku turun dari kuda.
Tuanku yang bertubuh tegap mencuci muka dan meminum air danau, sementara aku terus memandanginya dengan perasaan campur aduk.
“Ada apa, Zaidah?” tanya Tuan Aamir.
“Tuan, kita hendak kemana?” tanyaku.
“Kita akan pergi jauh dari Baghdad. Lupakanlah semua yang telah terjadi di Baghdad,” kata tuan Aamir. “Jangan lagi memanggilku dengan sebutan ‘Tuan’,”
“Tapi hamba tidak mengerti,” aku semakin bingung.
“Aku ingin memulai kehidupan yang baru bersama gadis yang kucintai. Tanpa peduli status sosial dan hidup dengan damai,” tuan Aamir menyentuh cadarku dengan lembut. Matanya memancarkan kasih sayang.
Aku sungguh tak percaya. Airmataku mengalir namun aku tak sanggup mengatakan apapun. Kupandangi wajah Tuan Aamir yang begitu teduh. Aku tak peduli, aku akan terus memandangnya seperti ini.
“Aku mencintaimu, Zaidah. Kau telah begitu lama mendampingiku dan aku tak menginginkan apapun lagi,”
Aku menghambur memeluk Tuan Aamir. Pria yang sangat kucintai.
“Aku rela pergi kemanapun selama bersamamu,” akhirnya aku dapat mengatakannya setelah 15 tahun memendamnya.
Kurasakan Tuan Aamir juga menangis tetapi bukan karena sedih, melainkan bahagia. Akhirnya ku dapat merengkuh rembulan. Kami segera melanjutkan perjalanan menuju Khasmir, tempat dimana kehidupan yang baru menanti kami berdua.
SELESAI


Jumat, 01 Juni 2012

Enide, Merindukan Kehidupan

Diposting oleh Ken Mercedez di 13.11.00 6 komentar
 Jika tidak ada yang dapat kulakukan lagi, lebih baik aku mati. Ada dan tiadanya diriku takkan berpengaruh pada siapapun...


“Saya sarankan Anda untuk melakukan kemoteraphy. Kanker anda sudah menyebar dan akan semakin sulit ditangani nantinya,”
“Tidak, Dok. Biarkan saja,” jawabku lunglai.
“Anda harus optimis, jangan menyerah dulu. Kami akan melakukan semampu kami untuk menyelamatkan Anda,” Dokter Ana menyemangatiku walau sebenarnya itu tak ada gunanya. Ini yang kuinginkan, segera enyah dari muka bumi ini.
“Permisi Dok, saya teringat suatu urusan yang penting,” aku berusaha tersenyum walau kaku. Lalu aku berbalik dan membuka kenop pintu.

Aku berjalan keluar dari rumah sakit. Sungguh, aku benci tempat ini. Aku tidak akan datang kemari lagi. Aku terus menyusuri jalan, hingga aku menyadari semakin jauh aku berjalan menjauhi Rumah Sakit Bougenvil. Sekarang kakiku membawaku ke sisi kanan jembatan besar. Orang – orang mengagumi jembatan indah yang dibawahnya berbaring sungai Seine yang indah.

Mademoiselle, apakah kau mau bunuh diri disini?” seorang pria mengagetkanku. Ia tiba – tiba sudah berdiri di belakangku dengan tangannya menarik lenganku.
Quoi?” tanyaku terkejut.
Pardon moi, saya kira Anda hendak melompat dari jembatan ini,” kata pria itu lagi.
“Tidak, aku hanya ingin melihat sungai Seine saja,” jawabku datar.
“Oh, maafkan aku. Aku sungguh bodoh. Mana mungkin gadis semuda dan secantik Anda bisa bunuh diri,” pria itu garuk – garuk kepala.
Sayang sekali dia tidak tahu, aku sudah mencoba banyak cara untuk mengakhiri hidupku. Aku pernah mengiris ulu nadiku, minum obat berlebihan, melompat ke sungai pun pernah. Namun semuanya tidak ada yang berhasil. Akhirnya aku menyerah, dan Tuhan mulai mendengar doaku. Ia memberiku penyakit Leukimia dan sebentar lagi aku akan menghilang dari dunia ini dengan sendirinya.
“Boleh ku tahu siapa namamu?” tanya pemuda itu memecah lamunanku.
“Enide,” jawabku singkat.
“Nama yang bagus sekali,” puji pemuda itu. “Namaku Francoeur,”
“Hati yang jujur,” gumamku.
Pardon?”
“Namamu, Francoeur Hati yang jujur,” jelasku.
“Kau mau kemana, Mademoisell? Biar aku mengantarmu,”
Just call me, Enide,” kataku. “Aku tidak tahu, mungkin aku akan pulang ke rumah,”
“Sayang sekali pagi seperti ini kau habiskan hanya untuk minum teh di rumah. Bagaimana kalau kita berkeliling saja, Enide?” Francoeur menawariku tumpangan di vespanya. Ia menyodorkan helm kuning padaku.
“Tidak, Mercy. Aku pulang saja,” aku tersenyum tipis.
“Ayolah, hari ini indah sekali. Aku ingin berjalan – jalan tapi tidak menemukan kawan. Mungkin kau bisa menemaniku,” Francoeur tersenyum riang. “Apa aku terlihat seperti penculik wanita?”
“Tidak,” jawabku. Oh Tuhan, hari ini aku banyak tersenyum karena pemuda asing ini. Biasanya aku menghabiskan hariku dengan merenung dan meratapi nasib. Jarang sekali aku tersenyum.
“Ayolah. Ini helm-mu. Cepat pakai atau kutinggal,” ia memasangkan helm itu ke kepala, sungguh tidak sopan. Tidak hanya itu, ia menarikku dan mendudukkanku di jok belakang vespanya. “Pegangan, kita akan ngebut di jalanan,”
“Ngebut? Dengan motor vespa?” tanyaku. Francoeur tidak menggubrisku. Ia malah mengegas motornya dan aku terpaksa memeluknya.
Pemuda ini mengingatkanku pada Papa. Punggungnya begitu hangat. Aku sering bersepeda dengan Papa saat berumur 13 tahun. Kami berkeliling kota Paris, lalu berhenti di sebuah taman. Mama menungguku dan Papa sambil mengoleskan selai stroberi pada roti. Ketika aku datang, beliau melambaikan tangan. Kami makan bersama sambil memandangi menara Eiffel dari kejauhan. Oh, aku hampir lupa saat terindah dalam hidupku, ketika Papa dan Mama masih hidup dan menemaniku.
“Kau menangis?” tanya Francoeur setengah berteriak. Suaranya terdengar samar diantara angin dan derum kendaraan di jalanan.
Oui. Bagaimana kau tahu?”
“Aku tahu, airmatamu membasahi punggungku,” katanya setengah berteriak lagi.
Aku segera meregangkan tubuh. Kupandangi kaos yang menempel di punggung Francoeur basah karena airmataku.
“Maafkan aku. Nanti akan kucuci,” aku mengusap - usap punggung pemuda jangkung itu.
“Tidak usah, aku baik – baik saja,” Francoeur membelokkan vespanya ke sebuah taman yang bernama Marigny Square. Ia memarkir motor dan membantuku melepas helm.
“Sepertinya kita bisa bersahabat,” Francoeur memandang wajahku, membuatku malu.
“Ehm, itu kalau kita bisa bertemu lagi,” gumamku. Aku tidak tahu mengapa tiba – tiba aku berkata demikian, pasti ia bertanya – tanya apa maksudku.
“Tentu saja bisa. Tiap hari aku akan menemuimu,” jawab Francoeur, membuatku terkejut. Apa lelaki ini sudah gila? Kenapa ia terlihat begitu tertarik padaku, atau aku hanya ke-GR-an saja?
“Enide, aku selalu kesepian. Aku hidup sebatang kara. Tapi begitu melihatmu tadi, rasanya aku ingin selalu bersamamu. Aku bahkan tidak tahu kenapa. Rasanya sangat damai,”
“Bagaimana kau bisa merasa damai bersamaku? Sedangkan aku tidak punya hasrat untuk hidup,” kataku sambil menatapnya. Ia lebih tinggi dariku. Matanya yang berwarna biru dan rambutnya yang berwarna kecoklatan membuatku tak bosan menatapnya.
“Kau tahu arti dibalik namamu?” Francoeur malah mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya diam. Nama ini pemberian orang tuaku, tapi aku belum sempat bertanya apa artinya saat mereka masih ada di sisiku.
“Enide berarti jiwa. Jadi rasanya aneh kalau kau tidak punya semangat hidup,” Francoeur mengernyitkan dahi seolah berpikir. “Mungkin kau jiwa yang kosong,” ia mencoba bercanda, tapi itu tidak lucu.
“Francoeur, aku juga hidup seorang diri sejak orang tuaku meninggal akibat kecelakaan pesawat,” ujarku.
“Lalu sejak saat itu kau tidak ingin hidup?” tebaknya.
“Ya,”
“Kau berpikiran sempit, Enide. Lihatlah, dunia ini masih menerimamu. Kau masih bisa menikmati hembusan angin, memandang dedaunan yang hijau, sungai Seine yang indah, Marigny Square dan Eiffel,” Francoeur berputar – putar sambil merentangkan tangan. “Kau berada di surga. Bayangkan begitu banyak orang yang ingin datang kemari, dan kau beruntung terlahir disini,”
Dia benar. Aku bahkan tak pernah menyadari itu.
“Ajari aku mengenal kehidupan ini, Francoeur,” kataku. Senyumku merekah, aku telah menemukannya, penyelamatku dari jurang keputusasaan.

Selesai
*mohon kritik dan saran Kawand^^

Jumat, 25 Mei 2012

Try to Make Danbo

Diposting oleh Ken Mercedez di 22.40.00 0 komentar
Hai hai...

Rasa keingintahuan membuatku semangat bikin Danbo. Tutorialnya pake bahasa inggris, gambarnya juga ribet. Males banget mau ngikutin berdasarkan step-nya. Akhirnya bikin dengan ngawur - ngawuran deh. Hehehe

Hasilnya? Seperti ini:






Harap maklum ya, masih pemula jadi masih gak terlalu apik. :p

Jumat, 18 Mei 2012

My Kitties

Diposting oleh Ken Mercedez di 23.25.00 2 komentar
Kucingku yang super Unyu, hehe... Pochil kini sudah punya anak, jadi aku sering panggil dengan sebutan "Mama Pochil". Awalnya Mama Pochil punya anak 7!!! Tapi perlahan mati satu per satu dan menyisakan 4 ekor anak. Kasihan. Tapi maklum, Mama Pochil kawinnya sama beda ras, Pochil si Kucing Persia menjalin hubungan terlarang dengan kucing kampung milik tetanggaku. Walhasil anaknya ada yang cantik, setengah cantik, sampai jelek. xixixi

Dari ke-4 anak kucing itu, hanya 2 yang ku rawat. Namanya Boni-Chil dan Mochil. Boni kucing jantan, sedangkan Mochil kucing betina. Tapi Boni penakut banget, digendong teriak - teriak dan suka nyakar! Tanganku udah banyak jadi korban, sampai seperti orang stres menyayat tangan sendiri, padahal aku hanyalah 'korban'.

Beda dengan Boni, Mochil lebih berani dan pendiam, tapi gesit banget! Mochil jarang nyakar. Tapi kalo Boni ngompor - ngomporin, akhirnya aku dicakar juga deh.... u.u

Trus, yang 2 kemana? Yang 2 diambil orang. Hahaks. 1 diambil temanku, satunya lagi diambil tanteku. Tapi Mama Pochil santai aja tuh anaknya ilang 1 per 1. Malah Mama Pochil sibuk menggemukkan badannya yang kembali kurus pasca melahirkan. Tapi pola makannya berubah. Sekarang dia pengennya makan apa yang dimakan manusia. Roti, Sosis, ikan, santan, kelapa parut, apa aja dehhh.... Tapi kalo buah2an yang seger - seger dia gak suka.

Mau intip fotonya? Ini dia. Tadaaaa!!!!!



Mama Pochil


Boni, Teroris Kecil


Boni waktu main bajuku



Boni umur 1 bulan


  Waktu masih bersama, umur 1 bulan

Sementara itu dulu deh fotonya. Tunggu koleksi berikutnya ya! :p

Anyyeong! ^^
 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting