Selasa, 17 Januari 2012

Cintaku Bersemi di Bimasakti

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.10.00
Liburan sekolah udah tiba. Kali ini bukan liburan kenaikan kelas, tapi liburan untuk memberi kesempatan siswa – siswi kelas 12 menyiapkan diri ikut SPMB. Aku termasuk siswi kelas 12 yang juga libur. Tapi ternyata sahabat – sahabatku masih menyempatkan diri ke Pantai. “Kiran! Mau ikut gak?” tanya Sofia, sahabatku. Ia berlari keluar dari mobilnya menghampiriku yang sedang berjalan pulang ke rumah. “Nggak bisa nih. Mama gak ngijinin aku, Fi,” kataku lemas. Sebetulnya aku ingin sekli ikut. “Uh, rugi banget deh! Nano ikut ke Pantai. Dia kan naksir berat sama kamu. Beruntung lho kamu bisa ditaksir cowok seganteng dia,” bujuk Sofia. “Nggak, Fi. Aku gak suka sama Nano. Aku jadi lega gak bisa ikut ke Pantai bareng kalian. Daripada ikut terus dilirik Nano terus. Hiiii…,” aku bergidik. “Hahaha. Jadi kamu mau refreshing kemana?” tanya Sofia. “Nggak ada, di rumah aja,” jawabku. “Oke deh. Ntar kalo kamu kesepian, call aku aja yach! Bye!” Sofia lalu lari ke arah mobilnya. Aku melongok ke arah mobil Yaris silver Sofia yang penuh dengan teman – temanku di dalamnya. * Pagi hari di rumahku terasa sepi. Ya… Memang begini kondisinya tiap hari. Hanya ada aku dan Mama. Kami hanya hidup berdua di rumah kami yang sederhana tapi asri. Papa meninggal 17 tahun lalu. Waktu itu usiaku baru 1 tahun. Dan aku tidak punya kakak ataupun adik. Kalau Mama bekerja, aku kesepian deh… Kulihat Mama sedang sibuk memakai pakaian kerjanya. Terpikir olehku untuk membujuk Mama tinggal di rumah hari ini saja. “Ma, hari ini sama Kiran aja ya?” rengekku manja. “Sayang, Mama nggak bisa. Kalo Mama di rumah, pasien – pasien Mama gimana..?” bujuk Mama lembut. “Kenapa sih Mama bisa betah ngurus pasien – pasien nggak waras? Apa Mama gak takut dicekik mereka?” sungutku sebal. “Mama kan sudah bilang, kalau kita ramah mereka tidak akan macam – macam,” jelas Mama masih dengan senyum ramah. Itulah Mamaku. Mama adalah perawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa bernama Bima Sakti. Pekerjaan ini sudah lama dilakoni Mama setelah Papa meninggal. “Ma, Kiran kesepian,” aku masih berusaha meluluhkan hati Mama. “Gimana kalau kamu ikut Mama aja ke Bima Sakti?” usul Mama tiba – tiba. “Hah? Nggak mau! Kiran takut!” aku sampai bergidik. “Tenang aja! Kan ada Mama…” ujar Mama yakin. * Akhirnya aku datang juga ke Bima Sakti tempat Mama bekerja. Aku hanya duduk di bangku koridor ruangan, menatap taman di depanku. Ternyata Rumah Sakit Jiwa tak seseram yang kubayangkan. Orang – orang hilang ingatan sibuk bermain di taman seperti kembali ke masa kecil mereka. Entah apa yang mereka lakukan asal tidak membuat kegaduhan. Ada yang sedang makan disuapi suster, ada yang menangis tak jelas dan menyanyi lagu – lagu tak jelas. Mama sendiri sedang sibuk menyuapi seorang ibu setengah baya yang memilin – milin rambutnya dengan tatapan kosong. Lama – lama aku bosan sehingga memilih untuk berjalan – jalan di sekitar taman. “Rima, sini!” seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku masih takut untuk menoleh. Bagaimana kalau aku menoleh lalu orang itu mencekikku? “Nggak apa – apa, Mbak. Kan ada saya,” seorang suster datang menghampiriku. Aku jadi malu sendiri. Lalu aku menoleh takut – takut. “Rima, kamu mau main boneka? Ayo Kakak temani!” pemuda berpakaian putih panjang itu menarik lenganku. “Suster…” rengekku. Suster disampingku tersenyum dan menemaniku. Pemuda itu mengajakku duduk di bangku taman. Ia menyodorkan sebongkah kayu padaku yang menurutnya sebuah boneka. “Kok diem aja? Ini boneka kesayangan kamu. Kakak menyelamatkannya dari rumah kita yang kebakaran tadi malam,” celoteh pemuda itu padaku. “I... iya,” jawabku tergagap. “Rima sudah makan? Kakak suapin ya!” tanpa menunggu jawabanku pemuda itu meraih bubur yang sedang dibawa suster di sebelahku. Ia mulai menjejalkan sesendok bubur padaku. Terus seperti itu sampai bubur di mangkuk yang dipegangnya habis. Aku sendiri dengan susah payah menghabiskan bubur di mulutku. Pemuda itu tersenyum puas. Aku buru – buru berdiri dan mundur teratur. “Suster, saya mau pulang aja,” kataku. 1… 2… 3… Lari!!! Aku melarikan diri dari Rumah Sakit Bima Sakti dengan menaiki angkot. * “Kamu kok pulang nggak bilang Mama?” tegur Mama sore itu ketika pulang kerja. “Ma, aku dikerjai cowok gila. Aku takut, jadi aku lari,” ujarku membela diri. Mama geleng – geleng kepala. “Kamu tau nggak, cowok itu bikin gaduh waktu kamu pulang. Dia mau kabur nyari kamu,” kata Mama. Hiii… Aku jadi bergidik ngeri. “Besok kamu datang lagi ya ke Bima Sakti. Kasihan cowok itu, dia sampe disetrum listrik biar tenang,” bujuk Mama. “Hah? Nggak! Kiran takut!” kataku ketakutan. “Plis Ma… mengertilah aku.” “Pokoknya besok kamu harus datang lho! Kalau kamu gak mau nurut, ntar gak dapet uang jajan lho!” ancam Mama. Percuma aku protes, kalau Mama sudah menghendaki itu maka harus aku ikuti. Uffh… sebal! * Aku menyerah, akhirnya aku datang lagi ke Bima Sakti dengan perasaan was – was. “Rima!” pemuda gila yang kemarin langsung lari menyambutku. Sementara aku hanya cuma bisa nyengir kuda, pasrah. “Jangan pergi lagi ya, Rima. Kemarin Kakak mau nyari kamu tapi dimarahin Pak Guru,” kata pemuda itu. Yang dimaksudnya Pak Guru adalah perawat laki – laki yang menyetrumnya hingga pingsan kemarin. “Rima sudah makan?” tanya pemuda itu. “Sudah,” jawabku cepat. Aku takut disuapi bubur dengan paksa seperti kemarin. “Rima mau main apa hari ini?” tanya pemuda itu lagi. Aku memutar otak. Uhm… main apa ya? Yang tidak membahayakan keselamatanku tentunya. “Main…” aku masih berpikir. “Main petak umpet yuk! Kamu yang jaga ya!” usulku seenaknya. “Ya sudah, tapi kamu jangan kabur lagi ya!” ancam pemuda itu. Ups! Rencanaku ketahuan! “Ya deh,” jawabku pasrah. Seharian aku bermain petak umpet dan kejar – kejaran dengan pemuda yang belum aku ketahui namanya ini. Sore hari, Mama mengajakku pulang. Tapi pemuda itu tak mau melepaskanku. “Besok Rima datang lagi, sekarang Rima harus tidur dulu ya,” bujuk Mama halus. Pemuda itu kelihatan tidak rela. Tapi akhirnya ia mengangguk. “Tapi jangan bohong ya! Bohong itu dosa,” katanya manyun. Aku dan Mama spontan mengangguk. Fiuh… Aku lega juga. Akhirnya aku bisa pulang. Tapi aku senang bermain seharian dengan pemuda itu. Seakan aku kembali ke masa kecilku. * Di angkot keesokan harinya… “Ma, cowok yang kemarin itu siapa namanya?” tanyaku saat kami dalam perjalanan menuju Bima Sakti. “Namanya Arjuna, umurnya 20 tahun. Ia hilang ingatan sejak kebakaran yang menghanguskan rumah dan adiknya. Ayahnya lalu memasukkannya ke Bima Sakti,” ujar Mama. “Kasihan sekali ya,” kataku iba. “Sekarang kamu tahu kan kenapa Mama suka kerja disana? Banyak orang yang membutuhkan kasih sayang dan bantuan kita untuk sembuh,” terang Mama. “Iya Ma,” jawabku lirih. * Setibanya di Bima Sakti, Arjuna berlari menyambutku seperti kemarin. “Hari ini kita mau main apa?” tanyanya polos, seperti anak kecil saja. “Liat deh, aku bawa layangan. Gimana kalo kita main layangan aja?” tawarku. “Kamu tahu ya aku suka main layangan!” serunya riang. Lalu kami bermain layangan di taman dekat pohon Akasia. “Begini caranya,” Arjuna memegang tali layangan yang tengah kupegang. Ia mengajariku seolah – olah aku tidak tahu cara bermain layangan, padahal waktu kecil aku selalu menang main lomba layangan di kampung. Ia berdiri di belakangku dan menggenggam tanganku. Belum pernah aku sedekat ini dengan pemuda manapun. Aku merasakan dadanya yang bidang dan lengannya yang kokoh. Dia tak tampak seperti orang gila kalau begini. “Rima jangan takut lagi ya. Kebakaran itu memang menghanguskan rumah kita. Tapi ada kakak disini yang akan jaga Rima selamanya,” kata Arjuna lirih. Suara itu begitu jelas di telingaku. Aku menengadah memandang wajahnya. Dagunya lancip dan membelah. Rahangnya kokoh dan rambutnya sedikit acak – acakan. Sekarang aku mulai menyadari ketampanannya. Oh Tuhan, apakah aku mulai tertarik padanya? Aku tertarik pada orang gila! Ya ampun, apa aku ikutan gila sekarang? Apa kat teman – temanku nanti? Yang waras saja ku tolak, nah sekarang naksir orang gila… * Malam hari di rumah. Aku menatap hujan yang turun begitu deras. Pikiranku melayang pada sosok Arjuna. Betapa menderitanya ia tinggal di sebuah Rumah Sakit Jiwa. Apa yang dilakukannya saat ini? Kalau dia normal tentu aku bisa menelponnya saat ini. Tiba – tiba aku teringat Sofia. Segera ku raih ponselku dan menekan tombol nomor ponsel Sofia. “Halo,” sapa Sofia di seberang sana. “Halo Sof, lagi ngapain?” balasku. “Nih lagi di depan api unggun. Kamu denger suara nyanyian gak?” tanya Sofia. Aku menajamkan telingaku. Samar – samara terdengar suara orang bernyanyi diiringi suara gitar di seberang sana. “Ya, aku dengar. Emang kenapa?” “Itu suara Nano. Suaranya merdu banget kan?” yakin Sofia. “Biasa aja,” jawabku sekenanya. Aku kurang tertarik pada apapun yang dikerjakan Nano. Walaupun dia menang juara panjat Monas sekalipun. “Ah kamu ini! Kamu bener – bener gak ada rasa ya sama cowok keren itu?” “Gak ada,” lagi – lagi nada suaraku datar. “Ih, datar banget!” komentar Sofia. “Jangan – jangan kamu udah naksir cowok lain ya?” tanya Sofia. Glek! Aku harus jujur nggak ya? “I… Iya,” akhirnya aku mengaku juga. “Wah, siapa tuh? Ayo dong kenalin, aku kan sohib kamu. Masa aku gak boleh tau?” goda Sofia dibarengi suara cekikikannya yang khas. “Nanti deh kamu bakal tau, tapi jangan kaget ya!” “Kenapa? Dia lebih keren dari Nano?” tanya Sofia. Boro – boro keren, yang ada malah penampilannya acak – acakan. “Nggak, biasa aja,” kataku. “Sudah ya. Jangan lupa oleh – olehnya buat aku,” “Oke deh,” jawab Sofia. Lalu ia menutup telepon. Uh, aku semakin pusing. Bagaimana caranya menjelaskan pada Sofia tentang Arjuna, pasien Rumah Sakit Jiwa Bima Sakti? “Eh, bengong aja,” Mama mengagetkanku. “Ma, apa Arjuna bisa sembuh ya?” tanyaku. “Ya bisa saja. Asal dia punya semangat untuk sembuh,” jawab Mama. “Oh ya, kamu sudah mutusin mau masuk jurusan apa? Sebentar lagi udah SPMB lho,” tanya Mama kemudian. “Aku mau masuk Psikologi aja, Ma. Aku pengen Bantu Arjuna sembuh,” kataku. “Bagus itu! Mama bangga punya anak berjiwa sosial tinggi kayak kamu,” Mama mengelus rambutku sayang. “Ma, apa salah ya… kalau Kiran suka sama Arjuna?” tanyaku takut –takut. Jangan – jangan Mama bakal kaget lalu memarahi aku atau menilaiku sudah sinting. Tapi ternyata Mama Cuma tersenyum lembut. “Nak, nggak ada yang salah. Cinta itu perasaan yang murni dan suci. Itu merupakan anugerah dari Tuhan. Kalau kamu memang sayang dengan Arjuna, buktikan dengan membantunya sembuh,” ujar Mama bijak. Mama memang orang yang lembut dan penuh perhatian. Aku beruntung punya Mama yang bijaksana. Aku memeluk Mama. Sekarang aku bertekad untuk membantu Arjuna sembuh. * Tak terasa sebulan t’lah berlalu. Dan setiap hari aku tak pernah absen ke Bima Sakti. Kali ini aku datang bersama Sofia. Tentu saja dia kebingungan. “Ngapain kita kesini?” Sofia memegang lenganku erat. Sepertinya ia amat ketakutan. Persis denganku saat pertama kali Mama mengajakku kemari. “Nanti kamu juga tau,” kataku. Sofia mengerutkan kening, ia tentu penasaran. Kulihat Arjuna sedang duduk di bangku taman, memegang mangkok nasinya yang belum ia jamah sama sekali. Aku mempercepat langkahku dan Sofia mengikutiku, tangannya masih saja memegang erat lenganku. “Hei,” sapaku pada Arjuna. Pemuda itu segera menoleh, ia tersenyum dan berdiri menyambutku. “Rima lama sekali, Kakak capek nunggu Rima. Kakak gak mau makan,” kata Arjuna dengan gaya manja. “Siapa itu, Ran?” bisik Sofia di telingaku. “Ini Arjuna. Dia cowok yang aku taksir,” kataku. Aku tak akan malu mengakui orang yang aku taksir bagaimanapun keadaannya saat ini. “Masa kamu naksir orang gila?” tanya Sofia tak percaya. “Biarin. Sebentar lagi dia akan sembuh,” kataku meyakinkan Sofia. “Berapa usia Kakak sekarang?” tanyaku pada Arjuna. Arjuna menghitung dengan jarinya. Sofia memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia sedikit prihatin pada Arjuna. “Sepuluh,” Arjuna mengangkat kedua telapak tangannya. Aku tertawa. Dia lucu sekali. “Sekarang Kakak makan ya? Biar cepat besar,” kataku. Aku mulai menyuapi Arjuna. Ia menurut dan membuka mulutnya lebar – lebar. Aku tak pernah menyangka cintaku bersemi di Bima Sakti. Dan aku akan membantu Arjuna untuk sembuh. * Siang hari setelah kami pulang dari Bima Sakti, aku dan Sofia pergi ke Café Chochoberry dekat Bima Sakti. Aku membeli jus alpokat dan Sofia membeli jus jeruk. Kami lalu duduk di sebuah bangku dekat jendela. Sepanjang perjalanan tadi aku menceritakan awal pertemuanku dengan Arjuna. “Kamu masih menganggapku sahabat kan? tanyaku was – was. Sofia berhenti menyeruput jus jeruknya. “Ran, aku gak akan mutusin persahabatku dengan kamu cuma gara – gara kamu naksir Arjuna,” katanya. “Tapi apa kamu gak menganggapku aneh?” tanyaku lagi. Hatiku masih belum tenang. “Aku gak mau bohong sama kamu. Aku memang sempat berpikiran kamu aneh. Cowok sempurna seperti Nano kamu tolak, sekarang kamu malah naksir sama cowok semacam Arjuna,” tutur Sofia panjang lebar. “Tapi namanya juga cinta, Ran. Kita gak pernah tahu dengan siapa kita akan jatuh cinta. Yang penting sekarang gimana caranya kamu bisa bantu Arjuna sembuh.” “Iya. Aku tahu,” jawabku pendek. “Udah kamu tenang aja. Aku gak bakal cerita sama siapa pun soal Arjuna. Sumpah!” kata Sofia serius. Ia menggenggam tanganku. Memberiku semangat dan rasa tenang saat ini. “Makasih ya, Fi,” kataku. Sofia mengangguk dan tersenyum ramah. * Keesokan harinya, Sofia datang ke rumahku dengan mobil Yaris berwarna silver. “Hei, udah siap?” tanya Sofia di depan pintu rumahku. “Udah nih,” kataku ceria. Hari ini aku dan Sofia akan mengikuti tes SPMB di Universitas Airlangga. “Yuk berangkat!” ajak Sofia. Aku mengangguk setuju. “Ma, aku berangkat dulu,” seruku. Mama yang sedang sibuk di dapur segera keluar mengantar kepergianku. “Doakan aku ya, Ma!” pintaku sembari mencium telapak tangan Mama. “Tentu aja Mama doain kamu,” kata Mama. Aku dan Sofia segera masuk ke dalam mobil. Dalam hati aku berdoa agar aku lulus SPMB dan bisa meraih cita – citaku menjadi seorang Psikiater. Semua ini kulakukan untukmu, Arjuna. Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting