Pada bulan
ramadhan yang baru saja berlalu ini, ada seorang kakek tua yang menjajakan sapu
lidi di depan rumahku. Kakek tua itu bernama Pak Nimo. Umurnya sudah 90tahunan
dan masih sanggup berjalan jauh walau dengan langkah tertatih – tatih. Itu
senantiasa dilakukannya untuk menjual sapu lidi. Di usianya, beliau tinggal
seorang diri di rumah kecilnya di pinggir kota. Setelah aku membeli sapu lidi
dagangannya, Pak Nimo meminta izin beristirahat di teras rumahku karena lelah.
Subhanallah, beliau tetap berpuasa sehingga aku tidak bisa menawarkan segelas
air putih padanya.
Beliau mengingatkanku pada Almarhum kakekku yang sangat ku sayangi. Beliau juga
bercerita tentang hidupnya, untuk berbuka puasa hanya makan nasi dan garam. Aku
menangis mendengar kisah hidup beliau. Beliau sebenarnya punya 3 orang anak,
tetapi semuanya tidak pernah menjenguknya lagi. Istrinya sendiri sudah meninggal
sejak lama. Dari beliau aku memahami makna berpuasa, yakni merasakan
penderitaan berlapar karena tidak ada yang bisa dimakan tetapi harus tetap
semangat bekerja.
Sapu lidi yang dijualnya tidak banyak karena beliau tidak mampu membawa
terlalu berat. Harga sapu lidinya 5000 rupiah dan hanya mengambil laba 500
rupiah. Satu hari jika laku satu buah saja sudah untung. Bayangkan bagaimana hidup
yang beliau jalani. Beliau juga bertanya berapa harga beras yang enak. Aku menangis
sekali lagi, dan lagi. Terus menerus sampai beliau memintaku berhenti menangis.
Kemarin aku memimpikan beliau mengenakan baju taqwa putih, mengenakan peci
dan sarung kotak – kotak berwarna merah sembari membawa tongkat. Aku merindukannya.
Walau hanya kali aku bertemu dengannya,
tapi aku menganggapnya kakekku. Setiap hari aku menanti beliau lewat di depan
rumahku, tapi aku belum melihatnya lagi. Semoga beliau baik – baik saja. Aamiin.