Minggu, 29 Januari 2012

Cookaphobia

Diposting oleh Ken Mercedez di 21.14.00 2 komentar
         
  Aku paling gak suuuuuka masak.  Buatku, memasak itu ibarat penindasan. Aku harus motong – motong bawang dengan pisau yang tajam, menumbuk, menggiling adonan, mixer, menggoreng yang beresiko kena percikan minyak, dan bermain api untuk menghidupkan kompor. Agh, pokoknya aku Cookaphobia!
*
            “Machi, ayo bantu Mama masak!” terdengar suara ibuku yang lebih mirip seperti orang hendak membeli kue machi. Sialnya, namaku Machi, jadi mirip nama kue kan. Ibuku bilang waktu hamil mengidam kue machi. Jadilah diriku yang berpipi tembam namun, ehem, tubuh tetap ideal. Hehehe.
            “Ma, aku lagi ngerjain PR. Deadline nih,” aku sok sibuk. Mama menggerutu, tapi kemudian suaranya mulai mengecil, semakin kecil, lalu menghilang. Hihihi... pokoknya aku gak mau berurusan dengan dapur, aku kan wanita modern.
            Aku mulai berkutat dengan kertasku yang lebih banyak kugambari desain baju. Setahun lagi aku akan lulus SMK. Cita – citaku adalah menjadi desainer busana. Ohoho...
            Suara musik yang liriknya saja aku tidak mengerti karena menggunakan bahasa korea mengalun dari handphoneku. Segera kulirik nama yang tertera disana, “Intan”. Wah, ada apa si gendut itu sms aku siang – siang begini?
            Ikut aku, ada kontes memasak.cepetan, 15 menit harus nyampe sekolah!
            Hah, 15 menit? Memangnya aku mesin jet? Tapi Si Gendut itu bakal mengacau kalau tidak ada aku. Aku harus menyelamatkan dunia, kalau tidak bisa rusak acara memasak itu di sekolah. Dia bisa melahap semuanya, bahkan mungkin pancinya juga. Hihi...
            Setelah semua siap, aku segera berangkat. Tidak lupa aku mencium tangan Mama yang bau masakan, bikin lupa diri hampir gigit tangan mama. Kuhidupkan mesin motor matic-ku lalu segera meluncur ke sekolah.

*
“Lama banget sih,” Intan menggerutu ketika aku datang. Matanya tidak lepas dari para kontestan yang lagi memasak.
“Emangnya aku pesawat jet, apa?” kataku keki. “Lagian kamu hobi banget nonton anak tata boga lagi praktek?”
“Eh Chi, mencium aromanya aja sudah menggugah selera. Kalau makan masakannya pasti lebih heboh lagi,” Intan heboh.
Aku hanya geleng – geleng kepala. Iya deh, aku ikut aja.
“Liat, yang itu murid baru,” Intan menunjuk seorang cowok di ujung kiri yang sedang sibuk meracik bumbu. Aku mengikuti arah tangan gemuk Intan. Wuaw, itu cowok apa Angel? Aku terpesona. Baru kali ini ketemu orang seganteng itu. Tinggi, rambutnya lurus dan tidak dimodel nyeleneh, bibirnya kecil, kulitnya bersih. OMG, keren banget!
“Baru pertama kali ya liat orang ganteng?” Intan menyikut lenganku, membuyarkan lamunanku.
“Ehehe, iya.” Aku tersipu. “Namanya siapa?”
“Edo,”
“Wah, Edoardo. Jo t’amor,” bisikku.
“Ngawur! Mana mungkin namanya Edoardo. Hahaha,” Intan cekikikan. “Namanya Raden Mas Edo Karto Wijoyo Kusumo,”
Busyet, nama kok kayak kereta gerbong 7. Ckckck... Tapi gak apalah, yang penting ganteng.
“Kira – kira udah punya cewek nggak ya, Tan?”
“Gosipnya sih belum. Tapi kriteria ceweknya harus yang jago masak,”
“Yaaaah... gak mungkin diriku dong,” nyaliku merosot.
“Usaha dong, Chi. Usahaaaa!” Intan ngotot.
“Kalo dia udah bisa masak, kenapa ceweknya juga harus pinter masak? Apa dia gak pengen keahlian yang lain gitu?”
“Meneketehek,” Intan angkat bahu. Hiks, harus berkutat dengan dapur nih. Gak apa deh, demi Edoardo Kusumo. Gunung kan kudaki, lautan kan kusebrangi, dapur kan kukuasai.
*
            Dengan tekat sekuat baja anti karat, aku pun mulai belajar memasak. Dari memasak bawang hingga ayam kucoba semuanya. Hari pertama, dapur seperti hampir meletus. Hari kedua, dapurku seperti terkena gempa. Hari ketiga seperti terkena angin puting beliung. Mama memarahiku setiap hari. Mama sangat menjaga kebersihan, terutama dapur yang sudah seperti museum seni baginya. Sementara aku masih bertahan dengan semua keteledoranku. Tentu saja Mama memarahiku tanpa ampun. Hiks...
            “Sudah, jangan masak di dapur Mama lagi,”  kata Mama di hari ke-empat aku belajar memasak.
            “Terus belajar dimana,Ma?” kataku dengan tampang memelas.
            “Terserah. Kan kamu biasa kerumah Intan. Disekolah kan juga ada laboratoriumnya,”
            Aku menghela nafas berat. Ya sudah, sepertinya tidak ada peluang lagi untuk memasak di rumah. Sebaiknya aku diskusikan saja dengan Intan. Dia harus tanggung jawab. Bagaimanapun dia yang menunjukkan aku si cowok ganteng itu. Kalo dia gak nunjukin si Edoardo itu kan aku gak mungkin belajar masak, sudah tahu aku Cookaphobia.
            “Kita masak di sekolah aja deh, Chi,” usul Intan ketika aku berdiskusi dengannya via telepon.
            “Kenapa, Tan?”
            “Kamu sendiri udah ngancurin dapurmu. Kalo dapurku ikutan ancur, bisa dimarahin Enyak nih,”
            “Yah... Tapi kita kan gak bisa leluasa memasak di sekolah,Tan,”
            “Bisa kok. Aku kenal juru kuncinya,”
            “Juru kunci? Kayak keraton aja deh. Jangan ngaco deh, Tan,” kataku meremehkan. Mana mungkin ada juru kunci segala.
            “kamu kurang gaul, Chi. Temen – temenku yang di jurusan tata boga kan banyak. Aku kenal orang kepercayaan yang ngawasi laboratorium,”
            “Siapa coba?” aku menantang.
            “Leo,” kata Intan singkat, padat, dan jelas.
            “Ah, ogah. Gak mau! Leo orangnya galak,”
            “Gak juga. Kamu belum kenal dia aja. Ya udah, bateraiku lowbat. Udah dulu ya!” Intan segera mematikan teleponnya.
            Ugh, mana bisa macan Leopard ditundukkan.  Aku jadi pesimis. Tapi ketika membayangkan wajah si ganteng Edoardo nyaliku jadi berapi – api. Aku kan langsing, kulit bersih, tinggiku juga lumayan, rambut rebondingan. Ohoho, kayaknya aku pantes deh bersanding dengan Edoardo. Hanya saja yang jadi kendala adalah keahlianku dalam memasak. Wah, ini harus segera kukuasai sebelum akhir bulan. Kalau terlalu lama bisa – bisa posisi ‘pendamping’ disabet orang lain.
*
            Malam Jum’at, aku dan Intan menunggu di depan laboratorium. Sunyi sepi, bikin merinding. 10 menit, 15 menit Leo belum juga datang. 20 menit kemudian cowok jangkung itu datang dengan raut wajah datar. Tuh kan, belum apa – apa dah bikin gerogi. Apalagi memulai, wah, bisa pingsan aku.
            “Lama ya nungguinnya?” tanya Leo pada Intan. Hei, hei, aku kan disini. Kenapa tidakdisapa juga?
            “Nggak juga kok,” dusta Intan. “Bisa mulai aja nggak? Udah kesemutan nih berdiri disini,”
            “Oh, tentu aja. Ayo masuk,” katanya datar.
            Kami bertiga masuk ruang laboratorium yang cukup besar. Ketika lampu dinyalakan oleh si Leopard, tampak beberapa kompor listrik dan alat – alat memasak yang ditata rapi.
            “Kalian lihat kan, ruangan ini rapi. Begitu kalian selesai memasak juga harus rapi kembali,” kata Leo tegas. Aku dan Intan mengangguk.
            “Anu, kita... Mau masak apa, Chef?” tanyaku ragu – ragu.
            “Hahaha, kamu tau diri juga. Memang junior sepantasnya memanggil Chef pada seniornya,” Leo membusungkan dada. Rasanya pingin ku tusuk pake jarum. “Kita akan memulai dengan yang mudah dulu. Puding cokelat,”
            “Wah, kesukaanku,” Intan bertepuk tangan.
            “Pertama, kalian harus menyediakan agar-agar putih, coklat blok, gula pasir,susu, creamer, coklat bubuk, dan vanili” Leo memberi instruksi.
            Untungnya laboratorium ini sangat lengkap. Semua bahan yang disebutkan Leo ada di laci besar dan sebagian di kulkas. Rasanya gak rugi ngeluarin dana besar untuk masuk SMK di kota Surabaya ini.
“Sudah lengkap?” Leo memastikan. Gayanya sungguh menyebalkan. Kedua tangannya dilipat didepan dada dengan wajah mendongak ke atas. Sombong sekali.
            “Sudah, Chef,” jawabku dan Intan serempak.
            “Oke. Ini resep kalian, kalau tidak mengerti segera tanyakan,” ia menyodorkan selembar kertas resep.
Resep Puding Coklat
Bahan puding coklat
  • 2 box agar-agar putih, merk yang anda suka tentunya
  • 250 gram coklat, lebih bagus coklat blok, serut coklat nya dan biarkan meleleh
  • 250 gram gula pasir
  • 1 lt sus, yang ini susu murni ya
  • 500 cc double cream atau anda juga dapat menggunakan Creamer cap kembang
  • 25 gram coklat bubuk kemudian  encerkan dengan air panas secukupnya
  • Vanili sesuai selera

Bahan tambahan puding coklat optional
  • 800 cc susu sama ini juga susu murni
  • 100 gram gula pasir
  • 1 buah telur ambil kuningnya
  • Vanili sesuai selera

Cara membuat puding coklat
  • Campurkan semua bahan puding coklat semua bahan kecuali double cream menjadi satu
  • Panaskan diatas api sedang. Terus aduk sampai mendidih
  • Tuangkan double cream saat adonan sudah mendidih sambil adonan diaduk terus, aduk sampai rata, angkat dari api.
  • Dinginkan sampai uapnya mengilang jangan sampai beku
  • Tuang dalam cetakan.

Cara membuat vla puding :
  • Kocok kuning telur
  • Campurkan bahan tanbahan puding,  susu, gula dan vanili, Panaskan dengan api sedang sambil diaduk sampai mendidih
  • Kemudian tuangkan dua sendok sayur susu ke dalam kocokan telur, campurkan sampai rata setelah itu masukan adonan telur ke dalam susu yang mendidih terus aduk sebentar diatas api.
  • Selanjutnya angkat dari atas api terus aduk fla sampai agak dingin ini supaya Vla jangan pecah.
JJJ
            Aku dan Intan bekerjasama mengerjakannya. Ya walaupun  sebenarnya aku lebih banyak mengacau dan Intan memperbaikinya. Aku menuang tepung terlalu banyak, Intan membantuku memasukkan kelebihannya ke dalam toples tepung terigu kembali.
Saat memasak adonan, rasanya tawar karena gula yang ku tuangkan sedikit. Intan memberi tambahan gula supaya lebih sedap. Begitu juga saat air yang masak hampir tumpah, Intan buru – buru mematikan kompor. Leo tentu saja marah – marah padaku. Huhuhu...
            Akhirnya, setelah 1 setengah jam berlalu, puding pun jadi. Leo yang lebih dulu mencicipi.
            “Cukup enak untuk pemula,” katanya.
            “Kalian coba lagi dirumah masing – masing. Sekarang kalian habiskan puding ini, dibawa pulang juga boleh. Setelah itu kalian bersihkan lagi dapur ini seperti semula,” instruksi Leo.
            “Siap, Chef!” jawabku dan Intan kompak.
*
            “Mama, ini ada kue,” aku meletakkan bingkisan puding di atas meja ruang tivi. Ayahku yang sedang asik membaca koran segera menghentikan aktivitasnya untuk membongkar bingkisanku. Aku sendiri segera naik ke lantai atas untuk merebahkan diri di kasur yang empuk, punggungku rasanya mau patah.
            “Hem, siapa yang kasih kue malem – malem gini?” Mama bertanya sambil menggiling puding di mulutnya.
            “Aku bikin sama Intan di sekolah,” jawabku gontai.
            “Wah, anak Mama akhirnya jadi perempuan beneran!” mama bersorak gembira.
            “Enak. Kamu pintar, Nak!” puji Ayah. Beliau memang selalu memuji apa saja yang aku hasilkan. Ayah idaman sepanjang masa. Hihi...
            “Makasih, Yah. Aku tidur dulu ya, capek,” kataku sambil tersenyum tipis. Mataku sudah tidak kuat lagi.
            “Ya, cepat tidur. Jangan lupa gosok gigi,” seru Ayah. Aku mengiyakan lalu berangkat ke kamar. Di kamarku juga ada kamar mandinya kok.
            “Kenapa tiba – tiba dia pengen belajar masak ya?” Mama bergumam pada ayah.
            “Mungkin dia lagi jatuh cinta,” tebak Ayah.
            “Masa sih?”
            “Iya, kayak kamu dulu. Waktu deketin aku kan ngasih kue. Mungkin dia juga mau seperti itu,”’
            “Ah, masih ingat saja,” Mama tersipu malu.
*
            Setiap malam aku berlatih bersama Intan di laboratorium memasak di sekolah. Setiap hari pula Leo memarahiku karna kecerobohanku. Aku masih saja tahan, semua yang kulakukan adalah untuk Edo. Cinta memang butuh perjuangan. Walaupun badai menghadang akan kulalui. Walaupun Leo marah – marah akan kuhadapi.
            “Ini hari kelima. Kemampuan kalian semakin meningkat,” ujar Leo. “Apa kalian bawa ayam kampung yang aku instruksikan?”
            “Ya, Chef,” jawabku. Tadi pagi aku dan Intan membeli ayam kampung di pasar. Ternyata seru juga ya hunting di pasar tradisional.
            “Kalian akan memasak ayam bumbu rica – rica khas Manado,” terang Leo.
            Aku dan Intan agak terkejut. Wah, bagaimana cara membuatnya? Sepertinya susah.
            “Tidak susah, pokoknya kalian ikuti saja,” Leo seperti bisa membaca pikiranku.
            Aku dan Intan membaca instruksi yang dituliskan oleh Leo di selembar kertas dan mulai mengerjakannya. Ternyata lumayan, tidak terlalu susah.
Resep Ayam Bumbu Rica – Rica
Bahan-bahan:
1 ekor ayam dipotong 16 bagian
2 batang serai di memarkan
6 buah bawang merah di rajang
1 lembar daun pandan
5 lembar daun jeruk
50 ml air
1 buah jeruk nipis
12 buah cabai merah
10 buah cabai rawit merah
7 siung bawang putih
4 cm jahe
Cara mengolah:
1. Haluskan cabai merah,cabai rawit merah,bawang putih dan jahe,sisihkan.
2. Tumis bawang merah,serai dan daun pandan hingga bawang kecoklatan.
3. Masukkan bumbu yang dihaluskan dan daun jeruk ,aduk hingga harum.
4. Kemudian masukkan ayam aduk hingga ayam berubah warnanya, tambahkan air, kecilkan api, tutup. Di ungkep hingga airnya agak mengering sambil sekali-sekali di aduk-aduk.Angkat.
5. Tambahkan air jeruk,aduk hingga rata.
Tips penting :
1. Sangat disarankan untuk mempergunakan Jahe Merah daripada Jahe Putih. Rasanya sangat beda.
2. Tambahkan juga Daun Bawang dan Daun Kemangi secukupnya untuk penguat rasa. Gurih loh rasanya.
3. Sebaiknya ayam itu sebelum di olah, setelah dipotong-potong direndam dengan perasan air jeruk selama -/+ 45 menit. Jadi tidak perlu lagi ditambahkan air jeruknya diadonan.
JJJ
*
            Hari ke-enam. Malam ini aku datang sendirian ke laboratorium. Intan sedang sibuk menggarap gaun coktail rancangannya. Ia akan mengikuti peragaan busana besok. Jadi malam ini dia lembur bersama beberapa teman sekelas kami. Sementara aku kebagian sesi minggu depan untuk merampungkan hasil rancanganku.
            “Sendirian?” tegur Leo ketika ia datang.
            “Iya,” jawabku.
            “Mana Intan?” Leo celingukan.
            “Dia lembur, besok ada peragaan busana,”
            “Oh, kalau begitu ayo masuk,” Leo segera mengeluarkan kunci dari saku jaketnya. Tapi kunci itu sangat banyak, entah kunci apa saja itu. Ia memeriksanya satu per satu, tapi kemudian segerombolan kunci itu jatuh. Aku segera membantunya memunguti kunci itu.
            “Makasih,” kata Leo pelan.
            “Sama – sama,” jawabku.
            Leo kembali memutar gagang pintu. Setelah itu kami masuk ke ruangan.
            “Chef, tidak keberatan kan kalau hari terakhir ini aku ingin buat brownies?” tanyaku.
            “Brownies? Hm, boleh juga. Apa kamu sudah bawa bahannya?” tanya Leo. Entah apa dia baru saja tersengat listrik, gaya bicaranya berbeda dari biasanya. Terdengar lebih pelan dan lembut.
            “Sudah. Aku ingin buat brownies Kentang Keju,”
            “Bagus. Kamu sudah menyiapkan dengan matang. Ayo kita mulai,” ujar Leo bersemangat.
Resep Brownies Kentang Keju
Bahan:
375 gr kentang organik
2 sdm tepung terigu
½ sdt baking powder
100 gr mentega
100 gr gula kastor
3 btr telur organik
75 gr cokelat masak putih, potong-potong, tim hingga meleleh
50 gr keju cheddar parut

Cara membuat:
1. Kupas dan potong-potong kentang. Cuci bersih. Kukus hingga matang. Angkat dan haluskan selagi panas. Sisihkan.
2. Campur tepung terigu bersama baking powder, aduk rata. Sisihkan.
3. Kocok mentega dan gula kastor dengan mixer hingga lembut. Masukkan telur satu per satu sambil kocok terus dengan kecepatan rendah hingga adonan rata.
4. Masukkan campuran tepung terigu dan kentang halus, aduk rata. Tambahkan cokelat leleh, aduk hingga rata.
5. Tuangkan adonan ke dalam loyang tahan panas. Ratakan, taburi atasnya dengan keju parut.
6. Panggang dalam oven panas selama 20-30 menit hingga matang. Angkat. Keluarkan dari loyang, potong-potong.
JJJ
            Kali ini aku sudah lebih pandai memasak. Aku juga tidak mebuat ruangan begitu berantakan seperti sebelumnya. Dengan kondisiku yang semakin ahli, Mama memperbolehkan aku menggunakan dapur rumah kembali.
            “Machi,” Leo memanggil namaku. Aku langsung menoleh padanya yang memandangku, atau lebih tepatnya memandang adonanku.
            “Ya?”
            “Kenapa kamu ingin belajar masak?” tanya Leo.
            “Aku...,” wah, jadi malu mau mengatakannya. “Aku ingin membuat kue untuk kak Edo,”
            “Oh,” nada suara Leo terdengar datar. “Memang banyak yang berlomba membuat kue untuknya. Memangnya apa istimewanya sih Kak Edo?”
            “Dia ganteng, mempesona,” sahutku sambil mengaduk adonan.
            “Cuma itu?”
            “untukku sih iya. Tapi aku belum mengenalnya,”
            “Kukira kamu membuatkannya kue karna sudah mengenalnya,” kata Leo.
            “Tenang saja, Chef. Kalau aku sukses, nanti kubuatkan kue juga untukmu,” aku tersenyum riang.
            “Tidak usah,” katanya datar. Ugh, dasar menyebalkan! Padahal aku sudah berbaik hati padanya.
            “Lanjutkan saja membuat kuenya,” Leo menjauh. Ia sibuk mencuci piring.
*
            Keesokan harinya, dengan perasaan takut, malu, waswas yang bercampur jadi satu, aku memberanikan diri menghampiri Edo yang sedang duduk di taman sekolah.
            “Hai,” sapaku.
            “Hai juga,” dia balik menyapaku.
            “Sudah makan siang?” tanyaku memberanikan diri.
            “Kenapa?”
            “Ehm, aku Machi dari kelas XI jurusan desain. Aku membuat kue ini untuk kakak,” ugh, aku takut sekali saat mengatakan ini.
            “Terimakasih ya,” kak Edo meraih bingkisan brownies buatanku. “Nanti akan kumakan bersama pacarku,”
            Pacar? OMG. Aku terlambat!
            “Iya, boleh saja,” kataku berusaha bersikap biasa. Kak Edo tersenyum dan berlalu pergi sambil melambaikan tangan. Rasanya aku sangat sedih. Susah payah aku membuatkannya kue, tapi dia memakannya bersama gadis lain. Semoga kueku tidak sukses sampai membuat mereka mulas 7 hari 7 malam.
            Aku berlari pulang menahan kecewa dan airmata yang hampir mengalir dari mataku. Kudengar Leo memanggilku, tapi aku tidak ingin menghampirinya dengan kondisi hancur seperti ini.
*
            Setelah kejadian itu, aku berhenti memasak. Sekarang aku lebih fokus pada rancangan tuxedoyang sedang kuselesaikan. Mama bertanya kenapa aku berhenti memasak, tapi aku hanya menjawab bosan.
            Intan mengunjungiku tiap hari. Tidak lupa ia membawa beraneka kue kering kreasinya. Sepertinya malah dia yang keranjingan memasak.
            “Machi, udah dong jangan seperti gunung es gitu. Tiap hari diam membisu,” rengek Intan.
            “Masa sih aku kayak gunung es?” tanyaku datar.
            “Kan masih ada seribu cowok ganteng di luar sana,” Intan mengalihkan pembicaraan.
            “Tapi aku masih kesal. Masih trauma dengan si Edoardo itu,” kataku. “Lebih baik kita bahas yang lain aja deh,”
            “Hm, oke,” Intan memutar otak. “Siapa yang akan memakai tuxedo itu?”
            “Aku juga tidak tahu, belum terpikirkan,” aku tiba – tiba sadar. Selama ini aku terlalu konsentrasi memasak. Aku lupa mencari model untuk rancanganku.
            “Gimana kalo Leo aja. Dia kan tinggi, cocok dengan tuxedo itu,” usul Intan.
            “Dia gak mungkin mau,”
            “Dicoba dulu dong,” Intan menyemangatiku. Aku mulai berpikir, mungkin ada benarnya. Aku harus mencobanya terlebih dahulu.
*
            “Hai,” aku menyapa Leo di ruang laboratorium siang itu setelah ia selesai memasak.
            “Hai. Tumben kesini,” jawabnya sinis tanpa memandangku. Ia sedang sibuk membersihkan meja.
            “Iya. Aku mau nawarin kamu jadi modelku di peragaan busana,” kataku. Tapi Leo tidak menjawab. “Kalo gak mau juga gak apa kok. Aku cuma nawarin aja,”
            “Siapa bilang aku gak mau?” Leo mendongak memandangku. Wah, aku terkejut. Ternyata dia mau juga.
            “Wah, makasih ya,”
            “Tapi ada syaratnya,” kata Leo.
            “Apa?” ugh, pake syarat segala.
            “Kamu harus buatin brownies yang sama dengan brownies Kak Edo,” kata Leo dengan wajah serius.
            “Dulu kamu bilang gak mau,” sergahku.
            “Aku kan gak mau kalo rencanamu sukses. Tapi karna rencanamu gagal, aku ingin mendapatkan brownies itu,”
            “Tapi kenapa? Aku gak ngerti. Kamu seneng aku gagal?” cercahku agak emosi.
            “Ya, aku seneng banget. Dengan begitu aku punya peluang untuk dapetin kamu,” katanya mantap. Senyumnya mengembang, baru aku tahu dia punya senyuman yang sangat manis, semanis cokelat.
            Aku hanya bisa tersenyum tanpa bisa menjawab. Dadaku berdesir cepat. Kemudian seperti ada drum yang dipukul – pukul di dadaku. Dag dig dug, dag dig dug.
            “Mau kan?” tanya Leo. Ia menyentuh tanganku yang tengah bertumpu di meja.
            “Iya deh,” jawabku malu – malu. OMG, gak dapet Edoardo malah dapet Leonardo. Hihihi.
Selesai
Source:
Resep Puding Coklat: 
 www.gusbud.web.id
Untuk jalan cerita, murni inspirasi penulis.

Sejuta Cinta untuk Samantha part 1

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.46.00 10 komentar

Tahun 1999
            Di pagi hari yang cerah, seorang gadis kecil berjalan di trotoar depan rumahnya. Ia mengenakan baju putih yang dipadukan dengan mantel rajutan berwarna merah dan rok putih bermotif ceri di pinggiran kainnya. Wajahnya putih merona, hidungnya memerah karena hawa dingin di pagi hari. Rambut hitamnya yang ikal diikat dua. Ia berjalan dengan riang, menyanyikan lagu Twinkle – Twinkle Litle Star sambil mengayun – ayunkan keranjang rotannya dan melompati genangan – genangan air bekas hujan tadi malam dengan riang gembira.
            Tak jauh dari tempat si gadis bernama Samantha itu, nampak bocah laki – laki kecil menangis di atas rerumputan. Ia meringkuk memangku kepalanya di atas lutut, tangannya menutupi wajahnya seolah tidak ingin orang tahu bahwa ia tengah menangis. Namun Samantha melihatnya dari dekat. Ia menghampiri anak itu dan berjongkok di depannya.
            “Kau sedang menangis kan?” tanya Samantha polos.
            “Kau pikir sedang apa?” jawab bocah itu sambil tetap meringkuk dan terisak – isak.
            “Kau menangisi kotak keberanianmu yang hilang ya?” pancing Samantha.
            “Kotak apa?” bocah itu mendongakkan kepalanya. Tampak jelas wajahnya yang merah sehabis menangis, juga matanya yang juga memerah.
            “Kau tahu, setiap orang punya Kotak keberanian. Kalau kau menangis, Kotak keberanianmu hilang,” jawab Samantha.
            “Tapi aku tidak tahu Kotak keberanian itu seperti apa. Aku tidak punya dari dulu,” tutur bocah laki – laki itu polos.
            “Kebetulan aku punya dua. Akan kuberikan satu untukmu,” Samantha mengambil sebuah balok rotan kecil dari dalam keranjang rotannya dan memberikan balok itu pada si bocah.
“Jaga baik – baik, dengan Kotak ini kamu akan jadi anak pemberani. Jangan menangis lagi, karna kotak ini bisa hilang,”
            “Trimakasih banyak. Siapa namamu?” tanya bocah laki – laki itu sambil memegang balok itu dengan sangat hati – hati.
            “Samantha,”
            “Aku Ramdan,” ujar bocah itu sambil memperhatikan tangan kanan Samantha saat mereka berjabat tangan. Ada sebuah tahi lalat kecil di jari tengahnya.
            Mereka berdua main bersama pada hari itu. Namun keesokan harinya Samantha bersama ayahnya pindah ke rumah barunya di blok lain. Padahal Ramdan baru saja pindah ke rumah di blok Samantha yang lama. Mereka tak pernah bertemu lagi. Samantha tidak tahu, balok kecil yang ia berikan pada Ramdan mengubah hidup bocah laki – laki itu sepenuhnya.

*
        Tahun 2012
            Samantha bersiap – siap di depan cermin. Rambut ikalnya di ikat menjadi satu di belakang kepalanya. Ia menambahkan sebuah jepit  rambut berbentuk cery untuk mempermanis wajahnya yang kecil. Samantha kini tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih merona, matanya bulat, hidungnya sedikit mancung, dan bibirnya mungil. Tubuhnya juga tergolong ideal. Di kampusnya yang lama, Samantha banyak dikagumi para pria. Entah bagaimana sekarang di kampus barunya.
            “Sudah siap?” tanya ayah Samantha yang tiba – tiba muncul dari arah pintu kamarnya.
            “Ayah, aku harap ini terakhir kalinya kita pindah ya,” ujar Samantha sambil memeluk ayahnya.
            “Ayah sudah menemukan pekerjaan tetap disini. Jangan khawatir, konsen saja pada kuliahmu,” kata ayah dengan lembut.
            “Aku juga ingin bekerja sambilan, Yah. Boleh kan?” bujuk Samantha.
            “Boleh saja. Tapi jangan sampai mengganggu kuliahmu,” ayah membelai rambut Samantha.
            Samantha mengiyakan dengan pasti. Lalu setelah mencium tangan ayahnya ia bergegas pergi ke kampus barunya.
*
            Bus yang ditumpangi Samantha berhenti di halte dekat kampus. Samantha segera turun dan melihat jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum pelajaran pertamanya. Ia segera berjalan, namun langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada segerombolan pria yang menaiki motor besar, ada juga yang menaiki motor Ninja. Mereka kompak berpakaian serba hitam namun tampak seperti brandalan. Kelompok itu berteriak dan tertawa di jalanan. Ketika melihat seorang pengemis tua mereka menertawakannya, begitu pula ketika melewati seorang gadis berpakaian minim mereka menggodanya dengan kata – kata nakal. Samantha hanya bisa geleng – geleng kepala. Tidak menyangka sama sekali bahwa gerombolan itu juga mahasiswa di kampus barunya.
            Gadis muda itu melanjutkan perjalanannya hingga sampai di kampus. Ketika hendak menaiki tangga, sebuah balok kecil terjatuh dari tasnya.
            “Nona, ini milikmu?” seorang pemuda berpakaian hitam menjajari langkah Samantha menaiki anak tangga.
            “Oh iya. Trimakasih banyak ya,” Samantha segera mengambil balok yang disodorkan pemuda itu. Mereka kemudian saling memandang. Pemuda itu tertarik dengan paras cantik Samantha. Sementara Samantha terkejut karena pemuda itu ternyata anggota kelompok genk motor yang ia lihat di jalan.
            “Kau...,” Samantha tidak tahu harus mengatakan apa.
            “Namaku Ray. Kenapa, takut ya?” tanya pemuda itu seperti membaca pikiran Samantha.
            “Enggak,” Samantha tertawa kecil. Panggil saja Thata ya. Salam kenal,” Samantha melambaikan tangan pada pemuda itu dan berjalan tergesa – gesa sambil melirik jam tangannya.
            Ray memandang punggung Samantha sampai gadis itu tak kelihatan lagi. Sungguh cantik, membuat Ray jatuh cinta pada pandangan pertama.
*
            “Ray, dari tadi bengong terus,” seseorang melempar kaleng coke pada Ray.
            “Gue lagi terhipnotis,” jawab Ray sambil menurunkan satu kakinya dari kursi sofa.
            “Terhipnotis apa’an?” temannya yang lain bertanya dengan nada mengejek.
            “Ada cewek cakep banget, Bro...  Gila, cakep banget tuh cewek,” Ray bergumam.
            “Hahaha, preman jatuh cinta!” teman – temannya yang lain tertawa. Ray belum pernah memuji seorang gadis dengan sebutan cantik. Biasanya ia hanya berkata ‘seksi’. Teman – temannya menduga gadis yang memikat Ray saat ini lain dari biasanya.
            “Kalo gitu, tunjukin dong sama kita,” cowok yang melempar kaleng coke tadi bersuara.
            “Jangan sekarang, Bro. Cewek itu takut ngeliat penampilan gue, apalagi gue bawa kesini. Tar dikira gue mau merkosa dia rame – rame,” kata Ray.
            “Hahaha... Gila loe!” sahut yang lain.
            Seorang pria mendobrak pintu. Ia membawa lima kaleng bir dan melemparkannya satu persatu pada anggota genk itu.
            “Mody, Ray, Charly, Lian. Pas semua!” kata pemuda itu seperti mengabsen para anggotanya.
            “Tar malem kemana, Bos” tanya Mody, si cowok ‘kaleng coke’.
            “Jalan – jalan di Blok 16. Disana sepi kalo malem. Kita ramein aja,” kata si ketua genk.
            “Beres, Bos!” jawab Charly sambil membuka kaleng birnya.
            “Dan, ada yang lagi jatuh cinta nih sama cewek cupu,” ujar Mody.
            “Oh ya? Siapa? Kok gak ada yang crita sama gue?” Dany mendongak.
            “Tuh, si Ray. Baru aja dia crita,” Mody menunjuk Ray dengan dagunya.
            “Hahaha... Loe turun standart, Bro,” gurau Dany.
            “Biarin aja Bos. Gue baru aja nemuin bidadari secantik dia. Pokoknya gue mau dapetin dia,” kata Ray bersemangat. Sementara teman – temannya yang lain menertawainya.
*
            Seorang gadis mengetuk pintu rumah Samantha. Tak berapa lama, pintu itu dibuka oleh Samantha sendiri. Samantha mempersilahkan gadis itu masuk.
            “Rumahmu mungil tapi bagus ya,” puji gadis itu.
            “Makasih pujiannya Ren. Aku gak nyangka kamu beneran datang. Mau minum apa?” kata Samantha.
            “Terserah kamu deh, yang penting anget,” jawab Renata.
            “Tunggu sebentar ya, aku bikinin dulu. Anggep aja rumah sendiri,” Samantha pamit ke dapur. Renata mengangguk. Ia kemudian berjalan – jalan mengamati ruang tamu yang perabotannya terbuat dari rotan.
            Renata mengamati foto – foto Samantha. Di tembok sebelah kiri, yang ada pintu menuju ruang tengah terdapat foto Samantha ketika ia masih kecil. Ada foto saat bayi,saat SD, SMP, hingga SMA. Di bawah foto – foto Samantha ada piagam – piagam lomba. Renata membungkuk untuk membaca tulisan kecil dalam salah satu piagam itu. Tertulis “Pemenang Harapan I Lomba Kerajinan Tangan dari Rotan”. Piagam lain bertuliskan “Pemenang I Lomba Bermain Biola”.
            “Ehem,” Samantha muncul dengan membawa nampan berisi secangkir coklat panas dan kue kering.
            “Kamu jago bikin kerajinan tangan dari rotan ya?” tanya Renata sambil menunjuk piagam Samantha.
            “Nggak juga sih, cuma bakat  turunan dari ayah,” jawab Samantha.
            “Main biola juga bakat turunan?” tanya Renata polos.
            “Kalo yang itu bakat dari diriku sendiri,” gurau Samantha.
            “Suka main musik apa?” tanya Renata lagi.
            “Mau dengerin Symphony No. 40 by Mozart?” tawar Samantha sambil meraih biola yang diletakkan manis di sudut kanan ruangan. Renata mengangguk. Mereka kemudian tenggelam dalam alunan musik yang dimainkan Samantha.
            Alunan musik itu sangat indah, mengalun bagaikan angin yang berhembus. Renata dapat membayangkan dirinya tengah duduk di sebuah podium besar, menikmati sebuah konser klasikal musik. Samantha pintar sekali memainkan irama. Membuat semua kegundahan hati dalam diri Renata hilang dalam sekejap.  Ingatannya terlempar pada kenangan tahun 1998.
            Saat itu usianya 7 tahun, kakak laki – lakinya yang berusia 9 tahun memainkan musik itu di sebuah konser dalam podium yang megah. Renata bersama ayah dan ibunya menikmati pertunjukan itu dengan sangat bangga. Anak pertama yang sekaligus kakak Renata menampilkan bakatnya untuk kali pertama. Renata melambaikan tangan pada kakaknya yang duduk di barisan pertama bersama – teman – teman sebayanya. Karena sangat serius memainkan musik itu, kakaknya tidak sempat melihat Renata.
            Tiba – tiba segerombolan genk motor lewat di depan rumah Samantha, memecah keheningan malam. Mereka tertawa terbahak – bahak. Seorang lelaki memecahkan lampu taman dengan pemukul baseball. Samantha yang terkejut menghentikan permainan biolanya dan segera berlari ke jendela diikuti Renata.
            Samantha dapat melihat gerombolan laki – laki berjaket hitam yang ia lihat di kampus tadi, dan juga Ray! Ray di samping kiri dengan motor besarnya tertawa bersama teman – temannya. Kemudian tanpa sengaja ia menoleh pada Samantha yang memandang sinis padanya. Ray sangat terkejut, namun ia berlalu bersama kawan – kawannya.
            “Kawanan itu lagi,” Renata berbalik dari jendela.
            “Kenapa orang seperti itu tidak di D.O dari kampus?” tanya Samantha.
            “Salah satu dari mereka, yang bernama Ray itu anak donatur terbesar di kampus. Orang tuanya sangat kaya. Apapun yang diinginkan Ray pasti terkabulkan,” terang Renata.
            “Sepertinya kamu tidak suka pada mereka, terlihat jelas di matamu,” selidik Samantha.
            “Lebih dari itu, aku membenci semuanya. Terutama Dany, “ sahut Renata. Ia menghempaskan dirinya di kursi.
            “Kenapa?” Samantha sangat penasaran.
            “Dia banyak merugikan orang lain,” kata Renata. “Jangan pernah mendekati mereka, Tha.”
            Samantha mengangguk setuju. Ia tidak pernah suka pada kumpulan genk motor seperti itu. Namun ia sangat senang mendapat teman baru seperti Renata. Gadis itu sangat polos, rambutnya panjang dan lurus. Matanya sipit dan kulitnya kuning langsat. Sepertinya Renata cocok dijadikan sahabat. Mereka lalu mengobrol banyak tentang genk motor itu yang ternyata memiliki julukan Scorpion.
*
            Keesokan harinya di kampus, Ray berlari menjajari langkah Samantha namun gadis itu tidak menghiraukan Ray.
            “Semalam aku melihatmu,” kata Ray.
            “Ya. Aku juga melihatmu menghancurkan lampu taman,” sahut Samantha.
            “Bukan aku, tapi Mody,” elak Ray masih berusaha menjajari langkah cepat Samantha.
            “Sama saja. Tetap perbuatan genkmu,” kata Samantha dengan cueknya.
            “Kamu benci aku, Tha?” tanya Ray cemas.
            “Aku benci perbuatanmu, memalukan. Sudah ya, aku ada kuliah,” Samantha berlalu memasuki sebuah ruangan.
            Ray terpaku di depan ruangan. Kemudian dia menendang pintu dan berjalan kesal sambil mengacak – acak rambutnya.
*
            Tampaknya Ray tidak ingin menyerah begitu saja. Ia menunggu Samantha keluar ruangan dan mulai mengejarnya lagi. Samantha agak terkejut, tapi ia tetap berjalan seolah – olah tidak melihat Ray yang membuntutinya.
            Ketika menuruni anak tangga, Samantha tersandung dan hampir terjatuh. Ray menarik tangan Samantha sehingga mereka saling berpandangan.
            “Aku tertarik padamu,” kata Ray lembut.
            “Tapi aku tidak tertarik dengan kelakuanmu,” Samantha melepaskan genggaman tangan Ray lalu berlari meninggalkan pemuda itu. Ray terluka, untuk pertama kalinya menyesali perbuatannya.
            Setelah kepergian Samantha, ia mengemudikan motor besarnya ke markas genknya. Disana ia merenung hingga tak sadar kawan – kawannya mulai berdatangan.
            “Loe kenapa?” tanya Charly yang bergaya punk.
            “Cewek itu melihat kita tadi malam. Dia gak mau liat gue lagi,” terang Ray.
            “Karna itu loe murung kayak anak cengeng disini?” tanya Dany.
            “Gue pengen banget dapetin cewek itu. Tapi gue gak tau harus gimana. Dia tuh beda banget sama cewek – cewek yang gue pacarin sebelumnya,” tutur Ray serius.
            “Serahin semuanya sama gue. Gue jamin dalam waktu tiga hari dia udah jadi milik loe,” jamin Dany.
            “Loe yakin Bos? Gimana caranya?” tanya Ray terperangah.
            “Dany bisa ngelakuin apapun. Loe yakin aja sama gue,” kata Dany meyakinkan.
            “Thanks banget Dan. Loe emang yang terbaek,” Ray mulai bersemangat lagi.
*
            Hari berikutnya, genk Scorpion menunggu Samantha di depan kampus. Saat melihat Samantha yang terburu – buru hendak menuju kelasnya, Dany bersama genknya menghadang Samantha. Sontak banyak mahasiswa yang melihatnya saling berbisik, mengira – ngira apa yang akan dilakukan genk itu terhadap anak baru di kampus mereka.
            “Jadi loe yang namanya Thata?” Dany sambil mengunyah permen karet menghadang Samantha. Sementara Ray berdiri paling belakang, sedikit cemas dengan apa yang akan dikatakan ketua genknya pada gadis yang disukainya itu.
            “Samantha lebih tepatnya,” jawab Samantha tanpa rasa takut.
            “Loe tau temen gue suka sama loe?” tanya Dany kasar.
            “Yang mana?” Samantha malah balik bertanya.
            “Cewek bego. Tuh, Si Ray...” Dany menunjuk Ray yang langsung gugup.
            “Dia gak pernah ngomong, mana aku tau,” jawab Samantha.
            “Sekarang loe udah tau dari gue kan. Loe musti jadian sama dia,” kata Dany.
            “Ngapain aku harus nurutin kamu? Kamu gak punya hak ngatur hidupku,” tantang Samantha.
            “Berani juga nih cewek,” kata Dany. “Ray punya selera yang unik juga ya. Jadi loe gak mau?” tanya Dany lagi.
            Samantha tidak menjawab tapi malah pergi meninggalkan genk Scorpion. Dany tidak bergeming.
            “Dan, dia ngacir,” Mody bingung.
            “Ini hari pertama. Masih ada dua hari lagi. Kita pake rencana kedua,” kata Dany. “Ray, siapa cewek yang loe liat waktu itu di rumah Samantha?” tanya Dany kemudian.
            “Gue liat Renata,” kata Ray.
            “Target selanjutnya  Renata,” Ray tersenyum sinis lalu memasang kacamata hitamnya.
*
            Samantha pulang bersama Renata  dengan naik bus. Ia bercerita tentang apa yang terjadi tadi pagi. Renata mendengarkan dengan seksama setiap cerita Samantha.
            “Tha, mereka itu licik. Kamu harus hati – hati. Kakakku pernah jadi korbannya,” kata Renata.
            “Oh ya? Kenapa kamu gak pernah cerita?” Samantha terkejut.
            “Kakakku sangat pemalu. Dia selalu menyendiri di kampus. Dua tahun yang lalu, Dany mengerjainya habis – habisan. Mereka mengejek dan meneror kakakku hingga sesuatu yang buruk terjadi padanya,” kata Renata.
            “Apa itu?” tanya Samantha.
            “Kakakku depresi dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa,” Renata sangat sedih saat mengatakan itu.
            “Ren, aku turut bersimpati. Kalau kamu mengunjungi kakakmu, bolehkah aku ikut?” tanya Samantha.
            “Tentu saja. Aku seneng ada orang yang mau menjenguk kakakku selain aku dan orang tuaku,” Renata tampak terhibur.
*
            Hari kamis pagi, Renata membuka lokernya. Ia berteriak dan berjingkat – jingkat hingga semua orang memperhatikannya. Kecoa – kecoa keluar dari loker Renata dan membuat banyak mahasiswi yang ada disana berteriak – teriak. Pandangan sinis tertuju pada Renata. Gadis itu ketakutan dan malu hingga berlari dan bersembunyi di toilet kampus.
            Waktu pelajaran bahasa Inggris di laboraturium bahasa, Renata mencari flashdisknya yang hilang. Ia baru ingat flashdisknya tertinggal di lokernya.
            “Loe cari ini? tadi jatuh di jalan,” Lian, salah satu anggota genk Scorpion menyerahkan flashdisk Renata. Dengan ragu – ragu Renata menerima flash disk itu. Lalu Lian duduk di belakang Renata. Selama kuliah berlangsung Renata merasa canggung.
            “Kumpulkan tugas kalian dalam bentuk file di koordinator kelompok,” kata Pak Nardi, Dosen bahasa Inggris.
            Renata segera mengumpulkan flash disknya pada Martha, koordinator kelompok bahasa Inggris lalu kembali duduk di kursinya.
            Setelah beberapa menit berlalu, para mahasiswa dan mahasiswi berkerumun di sekitar Martha. Semuanya tertawa dan melirik Renata.
            “Loe gaul banget Ren, gak nyangka gue,” kata salah satu cowok.
            “Koleksi loe lengkap banget,” timpal mahasiswa yang lainnya.
            Renata hanya celingukan tak mengerti. “Ada apa?” ia lalu mendekati Martha. Matanya terbelalak kaget.
            Pak Nardi mendekat karena semua mahasiswa gaduh. Beliau juga melotot kaget.
            “Renata, apa – apaan kamu? Calon guru jadi biang video porno. Mau kamu ajari apa muridmu nanti?!” tegur Dosen itu keras.
            Renata lebih terkejut dari sebelumnya lalu pingsan seketika. Semua mahasiswa panik dan mengerumuni Renata. Sementara itu Lian tersenyum puas lalu keluar dari ruangan.
*
            “Ren, ada apa?” Samantha menghampiri Renata yang terbaring lemah di klinik kampus.
            “Aku mau pindah sekolah aja,” Renata menangis tersedu – sedu.
            “Emangnya kenapa Ren?” tanya Samantha tidak mengerti.
            “Genk Scorpion melakukan hal yang sama seperti apa yang mereka lakukan pada kakakku. Huhuhu...” Renata menangis keras.
            Samantha semakin jengkel. Ia mengepalkan tangannya.
            “Ini gak bisa dibiarin,” Samantha geram.
            “Jangan melakukan apa – apa Tha. Mereka itu berbahaya. Sudah, biarkan saja. Aku akan minta dipindahkan ke universitas lain pada orang tuaku. Aku tidak mau gila seperti kakakku,” kata Renata.
            Samantha semakin sedih tapi ia bingung harus berbuat apa. Handphone-nya berdering, sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal masuk.
            ‘Masih keras kepala juga ya? Temanmu sudah jadi korbanmu sendiri lho.’
            “Sial!” Samantha mengumpat.
*
            Renata masih syok. Ia berbaring di kamarnya tapi belum bisa tidur. Kedua orang tuanya sedang pergi keluar kota. Ia hanya ditemani neneknya yang sudah tua dan seorang pembantu.
            “Bibi bikin susu hangat ,Non. Diminum dulu ya?” pembantu Renata meletakkan susu di meja kecil kamar Renata. Ketika Renata hendak meminumnya, terdengar suara jendela pecah dan suara motor di depan rumahnya. Renata menjerit ketakutan. Ia segera berlari ke kamar neneknya, khawatir neneknya terkena serangan jantung. Dan benar saja, neneknya megap – megap. Renata dan pembantunya segera membawanya ke rumah sakit.
*
            “Kamu bolos Ren?” Samantha menelpon Renata keesokan harinya.
            “Nenekku masuk UGD. Semalam kaca rumahku pecah dilempar batu.ini kelakuan genk Scorpion lagi. Aku bener – bener depresi,” suara Renata terdengar panik dan ada nada sinis dalam suaranya.
            “Ren, aku ke rumah sakit sekarang ya?” kata Samantha.
            “Gak usah, Tha. Sebaiknya kita jangan deket – deket dulu. Aku takut mereka ngerjain aku lagi,” Renata segera memutuskan pembicaraan.
            Samantha terkejut. Sekarang ia bimbang. Ia tidak mau teman barunya menjauhinya, terlebih lagi ia takut temannya itu mengalami hal yang sama dengan kakaknya. Oleh karena itu ia harus membuat kesepakatan dengan genk Scorpion.
            Pagi itu setelah pamit pada ayahnya, Samantha mencari markas genk Scorpion dan mendatanginya seorang diri.
*
            “Wah, akhirnya loe nyerah juga,” ujar Dany ketika melihat Samantha datang dengan wajah memerah karena marah.
            “Aku mau jadian dengan Ray dengan syarat kalian harus membersihkan nama Renata di kampus, tanggung jawab atas kerusakan di rumah Renata, dan minta maaf secara langsung sama Renata. Apa kalian sanggup?” tanya Samantha.
            “Ngapain kita harus ngelakuin itu?” sahut Charly yang sedang menyikat kukunya di kursi.
            “Karna kalian yang udah nimbulin kekacauan ini. Kenapa? Genk besar seperti kalian takut nerima tantangan cewek cupu seperti aku?” tantang Samantha.
            “Siapa bilang kita takut?” Dany merasa tertantang.
            “Kalau kalian bukan pengecut, kalian harus ngelakuin itu. Setelah aku liat hasilnya, baru aku mau jadian sama Ray,” kata Samantha tegas. Kemudian Samantha bergegas pergi dari sana.
*
            Genk Scorpion menempel pengumuman bahwa mereka lah yang menaruh kecoa di loker Renata dan menaruh kumpulan video porno di flashdisk Renata. Akibatnya, Lian mendapat hukuman dari Pak Nardi yang sebelumnya  hendak dijatuhkan pada Renata. Kemudian genk Scorpion dengan dana Ray mengganti kaca – kaca rumah Renata yang pecah. Mereka juga menjenguk nenek Renata serta meminta maaf di Rumah Sakit.
            Renata sangat terkejut. Ia segera menelpon Samantha dan meminta maaf karena sempat berkata kasar pada temannya itu. Samantha lega. Setelah hari itu, Samantha menjadi kekasih Ray walau terpaksa.
            Setiap hari Ray mengantar jemput Samantha walau ayah Samantha tidak suka dengan penampilannya yang bergaya berandal.
            “Kenapa membuntutiku terus setiap hari?” tanya Samantha.
            “Karna kamu gadisku,” jawab Ray dengan mata berbinar saat mereka mengobrol di ruang tamu rumah Samantha.
            “Haruskah kau mengantar – jemputku tiap hari?” tanya Samantha lagi.
            “Aku gak mau liat kamu naik bus, Sayang,” kata Ray dengan lembut.
            “Sayang?” ulang Samantha tidak percaya. Baginya Ray hanya menggombal.
            “Kenapa? Kamu kan gadisku,” ulang Ray sambil membelai rambut Samantha.
            “Jangan begitu,” Samantha mengelak. Ia sedikit menjauh dari Ray. Rasanya risih membiarkan orang yang tidak kau sukai membelainya begitu saja.
            Ray hanya diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk meyakinkan Samantha bahwa ia menyukainya. Padahal Ray selalu menyempatkan diri ke rumah Samantha setelah berkumpul bersama genknya. Semua itu dilakukan Ray untuk menarik simpati Samantha.
            “Besok aku ada acara. Perkumpulan musik mengajakku menggelar konser kecil di panti asuhan. Kalau kau ingin bepergian dengan teman – temanmu tidak masalah,” kata Samantha. Belakangan ini Ray selalu minta ijin pada Samantha apabila ia akan pergi bersama teman – temannya, seolah – olah ia takut apa yang ia lakukan tidak berkenan di hati kekasihnya.
            “Aku ikut,” jawab Ray cepat.
            “Jangan bercanda. Mana mungkin kau mau ikut ke tempat garing seperti itu,” ejek Samantha.
            “Aku ikut ya, Sayang. Aku janji gak akan bikin masalah,” Ray merajuk seperti anak kecil. Hal itu membuat Samantha tertawa terpingkal – pingkal. Ray semakin senang, karna baru kali ini ia melihat Samantha tertawa karenanya.
            “Baiklah, ikutlah bersama kami. Tapi jangan marah ya kalau mereka menyuruhmu membawa barang bawaan kami yang sangat banyak,” Samantha memperingatkan.
            “Iya, aku janji gak akan bertingkah. Aku nurut deh. Terus besok aku harus datang jam berapa?” tanya Ray bersemangat.
            “Jam 7 harus sudah siap ya?” ujar Samantha. Ray mengangguk setuju.
*
            Jam setengah 7 pagi, Ray memarkir motor besarnya di halaman rumah Samantha. Ia tetap memakai jaket hitam dengan celana jeans press body dan sepatu boots. Ia tidak lagi memakai anting yang biasanya nangkring di telinga kirinya, dan juga melepas jeans belel yang menjadi ciri khasnya. Rambutnya pun disisir biasa, tidak bergaya mowhack lagi. Dengan percaya diri, ia mengetuk pintu rumah Samantha.
            “Sudah datang ya,” Samantha membuka pintu. Ia tersenyum melihat penampilan Ray yang lebih rapi.
            “Bagaimana, aku tidak akan menakuti anak kecil kan kalo begini?” Ray memutar tubuhnya agar Samantha dapat melihatnya dari depan, samping, dan belakang.
            “Sangat keren. Kenapa gak dari dulu aja pake style gini?” puji Samantha. Ray sungguh senang Samantha tersenyum melihat penampilannya yang baru.
            “Ini kurang rapi,” Samantha merapikan rambut Ray yang terlihat seperti poni.
            Dada Ray bergemuruh. Baru kali ini Samantha sangat dekat bahkan menyentuhnya.
            “Aku mau bawa kardus Aqua ini, tapi aku kesulitan karna harus bawa biola. Mau membantuku, Ray?” tanya Samantha sambil menarik kardus di tepi pintu.
            “Ya, tentu saja,” Ray mengangkut kardus itu sementara Samantha mengambil biolanya.
            Ayah Samantha mengamati dari balik jendela. Ray yang melihatnya segera pamit dan meminta ijin untuk pergi bersama Samantha. Dan untuk pertama kalinya ayah Samantha tersenyum padanya.
            “Hati – hati ya, bawaan kita banyak,” Ray mengingatkan Samantha yang hendak menaiki motornya. Samantha segera naik dan memeluk pinggang Ray, semakin membuatnya deg - degan. Padahal sebenarnya Samantha melakukan itu karna takut jatuh saat memangku kardus Aqua dan biolanya. Mereka kemudian melaju ke panti asuhan Bakti Nusa.
            Setibanya disana, teman – teman Samantha terkejut melihat Ray. Tidak ada yang mengira pemuda itu mau berpartisipasi dalam acara amal ini. selama acara berlangsung, anak – anak kecil mengerumuni Ray karena menganggapnya keren, terutama anak – anak perempuan.
            Ray bersikap sangat ramah dan memberi saran tentang penampilan trendy saat ini. Anak – anak laki – laki tertawa senang dan mencoba menyisir rambutnya seperti instruksi Ray.
            Samantha yang sibuk membagi – bagikan makanan dan minuman melihat Ray sesekali. Hatinya tergugah dengan ketulusan Ray. Ternyata di balik penampilannya, Ray lelaki yang lembut dan polos.
*
            “Jadi Kakak Tampan banyak penggemarnya ya?” goda Samantha seusai acara.
            Ray hanya tersipu malu.
            “Masih jam setengah sembilan malam. Mau pergi kemana kita?” tanya Samantha.
            “Maksudmu kencan?” seru Ray tidak percaya.
            “Ssst... jangan keras – keras, malu tahu!” Samantha memukul pelan bahu Ray. “Aku traktir makan es krim ya?” kata Samantha.
            “Aku aja yang traktir,” kata Ray.
            “Nggak. Hari ini kamu dah banyak nolongin aku. Aku pengen kasih hadiah buat kamu. Ayo, kita beli ke Mc.Donald,” Samantha bersemangat.
            Ray senaaaang sekali. Ingin rasanya ia melonjak – lonjak gembira. Kemudian mereka berboncengan. Samantha memeluk punggung Ray. Ia baru tahu Ray begitu hangat dan sangat menyenangkan memeluk tubuh tingginya.
            Samantha bercerita banyak tentang masa kecilnya. Bagaimana ia pindah ke berbagai tempat karena tuntutan profesi ayahnya yang merupakan pengrajin rotan dan ibunya yang pergi meninggalkannya ketika ia berumur 5 tahun. Ia juga bercerita bahwa untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya bekerja sebagai guru les biola di sebuah sanggar seni. Cita- citanya menjadi pemain biola profesional. Semuanya membuat Ray berpikir tentang masa depan yang tidak pernah terlintas sebelumnya di pikirannya.
            “Aku sangat beruntung mendapatkanmu,” ujar Ray. “Boleh aku menggenggam tanganmu?” tanya Ray saat mereka berjalan – jalan di taman kota.
            Samantha mengangguk. Ray memperlakukannya dengan sopan. Ia tidak pernah meminta macam – macam pada Samantha. Mereka membeli kembang api dan menyalakannya bersama.
            Samantha melihat sebuah kalung berliontin bintang ketika mereka melewati pedagang asongan. Kalung itu terbuat dari manik – manik yang lucu.
            “Untuk apa, Sayang? Aku bisa membelikanmu kalung permata,” kata Ray.
            “Aku ingin yang ini, bukan permata,” elak Samantha. “Kalau tidak mau membelikannya, aku beli dengan uangku sendiri,” Samantha merogoh sakunya.
            “Jangan. Aku saja yang beli. Mau beli semuanya?” tanya Ray polos.
            “Buat apa beli banyak? 1 saja,” Samantha mengambil kalung yang ia inginkan dan Ray membayarnya.
            “Kamu sangat unik. Gadis – gadis sebelumnya selalu memintaku membelikannya perhiasan mahal,” tutur Ray.
            “Benarkah? Berapa gadis yang pernah jadi pacarmu?” tanya Samantha.
            “6 orang. Kau yang ke-tujuh,” jawab Ray jujur.
            “Wah, banyak sekali. Aku baru 1. Itu pun kamu,” kata Samantha.
            “Semoga aku jadi yang pertama dan terakhir buat kamu,” kata Ray. Samantha mengangguk. Malam itu berlalu dengan indah. Akhirnya Samantha dapat menerima Ray apa adanya.
*
            “Sudah enam bulan jadian tapi kita tidak pernah merayakannya,” ujar Samantha.
            “Aku pikir kamu bukan tipe cewek yang suka merayakan itu,” kata Ray tak percaya.
            “Hahaha... ya tidak begitu juga. Walau bagaimanapun aku kan perempuan. Pada umumnya anak perempuan punya pola pemikiran yang sama walau tidak sepenuhnya,” terang Samantha lagi.
            “Lalu kita mau kemana?” tanya Ray.
            “Bagaimana kalau pergi  mendaki gunung?” tanya Samantha.
            “Cewek lain mungkin mengusulkan ke pantai. Tapi kamu memang berbeda,”
            “Tapi mau kan? Hari jadi ke-6 bulan sudah lewat seminggu. Kita gunung bulan depan saja. Lagian angka 7 itu bagus,” usul Samantha.
            “Boleh deh...” Ray setuju. Pada dasarnya ia tipe cowok yang penurut dan tidak suka berdebat dengan orang yang dikasihinya.
            “Tunggu di dalam saja. Hanya setengah jam,” Ray mencium kening Samantha sebelum melaju dengan motor Harleynya.
            Samantha segera membuka pintu markas yang terbuat dari kayu. Ray memintanya menunggu disana karena lupa membawa dompet. Mereka berdua hendak pergi ke kebun binatang bersama.
            “Oh, maaf ya mengganggu,” Samantha terkejut saat melihat Dany sedang berbaring di kursi panjang yang sudah lumayan tua. “Ray memintaku menunggu disini,”
            “Tidak peduli yang penting jangan ribut,” ujar Dany cuek. Ia menutup matanya dengan lengan kirinya karena silau pada cahaya yang masuk melalui pintu saat Samantha membukanya.
            “Apa ini?” Samantha mengambil sebuah balok kecil yang terbuat dari rotan tergeletak di meja depan kursi Dany.
            Dany yang sempat melirik kemudian langsung bangkit dan merampas benda itu dengan kasar.
            “Beli dimana?” tanya Samantha karena ia yakin itu milik Dany, mengingat reaksi spontannya barusan.
            “Pemberian temanku,” jawab Dany cepat. “Jangan menyentuh apapun. Disini bukan kamarmu,” katanya ketus.
            “Waktu kecil aku pernah mengukir balok yang hampir sama dengan itu,” Samantha tidak menghiraukan peringatan ketus Dany. “Aku memberikannya pada anak laki – laki yang sedang menangis di rerumputan. Dia sangat kesepian, aku melihatnya dari balik matanya,”
            Dany sedikit mengejang, jantungnya berdegup kencang dan tidak beraturan. Ia memiliki sebuah dugaan tapi tidak berani memastikan.
            “Itu untuk hadiah ulang tahun atau apa?” pancing Dany.
            “Bukan. Itu namanya kotak keberanian,” Samantha berbicara sambil melihat – lihat bermacam – macam poster yang tertempel di dinding kayu rumah itu. “Waktu kecil ayah membuatkannya satu untukku. Ibuku meninggalkanku tanpa sebab, jadi aku menangis terus. Ayah bilang itu karena kotak keberanianku hilang. Sebetulnya yang dimaksud kotak keberanian itu, keberanian untuk menghadapi kenyataan,” terang Samantha lebih panjang.
            Dany hanya diam mematung. Ia berusaha mencocokkan ingatannya dengan diri Samantha. Teman masa lalunya juga kebetulan bernama Samantha, ia juga mengatakan kotak keberanian seperti Samantha di hadapannya. Mungkinkah Samantha yang merupakan kekasih sahabatnya ini adalah gadis pujaannya di masa kecilnya? Gadis yang mengubahnya dari cengeng hingga menjadi berani, bahkan keberanian itu membuatnya menjadi brutal.
            “Ini poster Madonna waktu tahun berapa?” Samantha menunjuk sebuah poster wanita bergaun putih pendek sedang tersenyum nakal.
            “Kamu sadar apa yang kamu lakukan?” tanya Dany yang langsung tidak dapat menguasai pikirannya.
            “Oh, maaf aku menyentuhnya,” Samantha buru – buru mundur dari poster yang barusan ia tekan – tekan.
            “Bukan itu maksudku. Apa kamu lupa barang yang kamu buat sendiri?” Dany mendekatinya lalu menyodorkan balok kecil yang terbuat dari rotan itu agar Samantha memeriksanya. Walau ragu, gadis itu mengambil dan menelitinya. Beberapa saat hening hingga Samantha terlonjak kaget sampai menjatuhkan balok itu, tapi Dany dengan sigap meraihnya.
            “Jangan menjatuhkannya. Ini kotak keberanian milikku,” Dany terlihat gusar.
            “Tapi aku memberikannya pada anak bernama Ramdan,”
            “Itu aku, Ramdany,”
            “Tidak mungkin,” Samantha tidak percaya.
            “Di masa kecilku, aku biasa dipanggil Ramdan. Tapi semakin dewasa, aku pikir ‘Dany’ terlihat lebih tegar,”
            Samantha hanya ternganga. Ia tidak menyangka anak laki – laki yang menangis itu sekarang make over menjadi pemuda berandalan.
            “Kau tahu, aku menangis karna ayah dan ibuku selalu bertengkar. Keduanya sama – sama berselingkuh. Aku selalu ketakutan saat ayah memukul ibu. Tapi setelah aku menerima kotakmu, aku putuskan untuk tidak menangis lagi. Aku selalu membela ibuku. Aku membantah ayahku, dan hingga akhirnya menjadi seperti ini, Dany menatap Samantha begitu dalam. Di matanya ada begitu banyak rasa rindu yang ditujukan untuk seseorang yang berarti dalam hidupnya.
            “Aku tidak pernah bermaksud membuatmu jadi begini,” airmata Samantha mengalir. “Aku hanya ingin kau menjadi lebih tegar,”
            “Kau mengatakan aku akan menjadi anak paling berani, dan lihatlah kata – katamu menjadi kenyataan,” ada kemarahan dalam suara parau Dany, kerongkongannya hampir tercekat karna begitu terkejut sekaligus rindu yang menjadi satu.
            “Waktu itu aku masih kecil dan belum tahu kata – kata yang sesuai,” Samantha menatap Dany dengan penuh penyesalan.
            Terdengar derum suara motor yang tidak asing bagi mereka berdua. Samantha segera menguasai diri, namun Dany masih tidak bergeming.
            “Jangan begitu, Ray bisa curiga,” kata Samantha dengan perasaan cemas. Entah mengapa rasanya menyakitkan bagi Dany. Di telinganya terngiang – ngiang kata – kata Samantha barusan. Kenapa Ray tidak boleh tahu? Kenapa ini harus dirahasiakan? Dany ingin semua orang tahu bahwa yang selama ini dicarinya adalah gadis cantik di hadapannya.
            “Ada apa? Kok semuanya tegang?” Ray tampak bingung.
            Samantha dan Dany terdiam, tak tahu harus berkata apa.

BERSAMBUNG
 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting