Selasa, 17 Januari 2012

Sebuket Edelweis di Hari Valentine

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.15.00
Mungkin enak ya jadi cewek cantik? Pikirku. Yeah... pemikiran ini kadang muncul kalo aku ngeliat orang lain yang lebih beruntung dari aku soal cinta. Sebenernya aku minder liat cewek-cewek cantik yang lainnya. Mereka bisa dapetin cowok yang mereka inginkan. Ato, cowok itu yang dateng ngantre cinta cewek cantik itu. Fuuuih... itu satu hal yang gak mungkin terjadi deh sama aku? Gimana enggak? aku sadar diriku ini jauh dari kata cantik. Emang sih aku tergolong punya tinggi dan berat badan ideal, tapi aku gak punya kulit putih, hidung mancung, dan rambut lurus berkilau. Rambutku ikal, kulitku sawo matang, dan hidung pesek. Kenapa Cupid gak pernah memanahkan seorang cowok keren buat aku ya? Hiks...
“Hoy! Kamu ngelamun terus! Ayo tugas kamu belum dikerjain nih!”
Suara itu tiba-tiba membuatku sadar. Sedari tadi aku bertopang dagu di bangku perpustakaan sekolah. Dan suara itu milik TonySi Ketua OSIS yang Sok banget! Uh...sebel juga sebenernya jadi wakilnya, tapi mau gimana lagi? Udah takdir kali ya...
“Nih udah aku selesaikan kok proposalnya. Kamu cukup minta tanda tangan Wakasek Kesiswaan aja,” ucapku sebal.
“Bilang kek dari tadi, ngelamunin apa sih? Penting banget!” ejek Tony.
“Suka-suka aku dong!” sergahku. Lalu aku beranjak pergi meninggalkan Tony.
“Eh, mau kemana kamu?” tanya Tony.
“Mau ke toilet!” ujarku pendek. Lalu aku melanjutkan lagkahku meninggalkan pintu perpustakaan. Hari ternyata udah sore, semua siswa sudah pulang, bahkan pengurus OSIS lainnya. Hanya ada aku dan Tony yang sibuk menyusun proposal kegiatan OSIS di perpustakaan. Tapi sebenernya bukan cuma ada kami berdua, karena ada tiga tukang kebun yang lagi ngobrol di kantin sebelah perpustakaan.
Setelah aku selesai dengan urusan ‘pribadi’ku, aku kembali ke ruang OSIS. Tapi aku langsung terbelalak kaget. Diaryku yang tertinggal, yang sebelumnya tergeletak di meja perpustakaan sudah berpindah tempat ke tangan Tony. Tanpa pikir panjang aku segera merampasnya dengan kasar.
“Kamu gak tau ya ini buku harianku? Ini pribadi!” kataku gusar.
“Loh, ini buku harian? Aku pikir buku dongeng..” kata Tony dengan tampang lugu yang menyebalkan.
“Sebel ngomong sama kamu, Ton!” lalu aku mengambil tasku dan pulang tanpa satu patah pun.
*
Keesokan harinya ketika aku tiba di sekolah, aku langsung menuju ruang OSIS. Walau sebal juga dengan kejadian kemarin, tapi aku perlu menanyakan Tony apakah proposalnya sudah rampung. Tapi aku sedikit bingung, tidak ada satu orang pun di ruangan itu. Kemana Si Tony? Biasanya pagi-pagi dia udah nangkring di ruang OSIS. Merasa gak ada gunanya disana, aku putuskan untuk keluar saja.
“Eh, mana Tony?” tanyaku cepat pada salah satu temanku yang lewat.
“Kamu belum tahu ya? Dia kan ikut Ekstra Pecinta Alam naik gunung,” kata Lilatemanku.
Aku cuma bisa ber “Oooo” saja.
*
Tiga hari berlalu sejak kepergian Tony ke gunung. Entah mengapa rasanya ada yang kurang tanpa Tony. Aku kangen dengan gayanya mengejekku waktu melamun, marah-marahnya, bahkan senyumannya. Aaagh! Aku ini kenapa sih? Aku lirik kalender di dinding kamarku, hari ini tanggal 14 Februari. Itu artinya hari ini ‘Valentine Day!’ tapi percuma saja, tidak akan terjadi sesuatu yang spesial hari ini. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Aku beranjak membuka tirai jendela kamarku. Hari ini minggu yang cerah, dan aku tak tahu mau kemana hari ini. Sambil menguap aku melihat jalanan. Tapi aku sungguh tak percaya. Ada seseorang di depan pagar rumahku. Dan itu, cowok bertubuh tegap dengan rambut jabrik yang membawa sebuket bunga Edelweis. Dan itu Tony! Apa-apaan sih dia? Karna penasaran, aku langsung berlari membuka pagar, walau masih mengenakan piama tidurku.
“Kamu ngapain????” tanyaku penasaran.
“Nih, buat kamu. Aku sempat baca di buku harianmu waktu kita di perpustakaan sekolah. Disitu kamu tulis, cowok yang ingin jadi Valentine-mu harus datang pagi-pagi ke rumahmu di hari Kasih Sayang dengan sebuket bunga keabadian kan?” ujar Tony. “Dan aku membawakannya untukmu...” lanjutnya.
“Tapi... kamu bawa ini hanya untuk menebus kesalahanmu waktu itu aja kan?” tanyaku ragu. Aku masih tak percaya Tony bersungguh-sungguh menembakku.
“Yah, Anak ini! Ngapain juga aku repot-repot ke gunung buat ngambil ini hanya untuk minta maaf????” kata Tony agak kasar. “Tentu aja buat nembak kamu!” lanjutnya, masih dengan agak kasar.
“Uh kamu ini! Masa’ nembak pake marah-marah?” sergahku.
“Maaf... kamu sih gak cepet nyambung bin tulalit... mau kan jadi Valentine-ku?” tanyanya. Kali ini dengan suara pelan dan agak gugup.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tapi kurasa Tony mengerti. Dia tersenyum lalu meraih tanganku. Dia memberiku sekotak cokelat cantik untukku.
Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting