Selasa, 17 Januari 2012

A Love Story Between A Portal

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.05.00

Kilatan cahaya menerawang jiwaku. Kali ini, kilatan itu benar – benar memperhatikanku. Kenapa harus aku? Aku tak bisa. Tapi inilah garis takdirku sebagai Pemburu hantu.

Kacamata hitam menyembunyikan wajah senduku. Aku harus tegar. Di sebelahku, Yilang – kucing betina setengah serigala juga memandang langit. Ia seperti memiliki pemikiran yang sama denganku. Kami adalah insan terpilih yang sebenarnya tidak ingin dipilih.

“Yilang, ayo kita pergi,” ajakku. Kucing itu mengeong. Beberapa detik kemudian Yilang berubah menjadi serigala besar, tingginya hampir sepundakku. ia merendahkan tubuhnya agar aku bisa segera menaikinya. Kami pun menyusuri malam. Melalui hutan terlarang, dimana manusia biasa takkan bisa melihatnya.

Semakin jauh kami menelusuri hutan, semakin dekat kami dengan portal yang menghubungkan duniaku dengan alam manusia. Benar saja, portal itu mulai terlihat. Seperti sebuah cermin raksasa yang di tengahnya berasap tebal. Yilang melompat memasuki portal bersamaku. Sejenak terasa begitu dingin. Andai manusia biasa memasukinya, pasti ia akan mati beku sebelum berhasil menembus portal.
***
Alam manusia sungguh berbeda dengan duniaku. Banyak orang berlalu lalang dengan ceria, saling bercengkrama. Di kediamanku, wajah kami selalu menunjukkan keseriusan. Tidak ada pembicaraan yang terjalin, kecuali mengenai sesuatu yang penting. Sungguh membosankan. Aku dan Yilang, yang kini berubah menjadi kucing biasa, menelusuri jalan setapak di tengah kota.

“Kakak,” seorang anak perempuan menepuk tanganku dari samping. Aku menengoknya tanpa ekspresi.

“Boleh gendong kucingnya nggak? Lucu banget kak,” seru gadis yang lain.

Aku mengangguk saja. Mereka kelihatan gembira dan segera mengangkat Yilang. Kucing itu menyeringai. Tapi aku mengangguk padanya ketika ia melihatku. Sekarang ia bisa lebih tenang.  Ia benar – benar seperti kucing pada umumnya. Mengeong dan kelihatan senang sekali saat anak –anak itu memeluknya. Aku ingin seperti Yilang, yang dengan mudah berganti ekspresi. Tapi kenapa aku seperti batu. Ada apa dengan diriku ini?

Ciiiiit.....

Terdengar mobil berdecit di tengah jalan. Orang – orang mulai ramai berkerumun. Aku segera berlari kesana, diikuti Yilang yang segera melompat dari gendongan gadis – gadis tadi. Aku mendesak beberapa orang untuk masuk. Kulihat seorang lelaki yang terbujur kaku dengan banyak darah keluar dari belakang kepalanya. Kemudian, arwahnya  mencoba keluar dari tubuh itu. Aku segera menghampirinya. Dengan cepat kutepuk dahinya. Beberapa orang melihat perbuatanku dan menjerit. Tapi aku tak bergeming. Kutekan dahinya kuat – kuat.

“Apa yang kau lakukan?” seorang pria paruh baya menarik lenganku. Dia menghempaskanku ke pinggir.

Laki – laki sekarat itu mengejang. Semua orang  panik. Namun anehnya tak satupun dari mereka yang memiliki inisiatif tertentu.

Setelah mengejang, lelaki itu membuka matanya perlahan. Ia memandang sekelilingnya dengan heran.

“Wah, dia bangun,” seru seorang wanita muda sambil menunjuk pria itu.

“Kamu tidak apa – apa?” yang lain bertanya sambil berjongkok.

Laki – laki itu hanya menggelengkan kepala. Kemudian ia berdiri dan mendesak keluar dari kerumunan.

Aku mulai lega. Kemudian kerumunan ini buyar. Semuanya pergi. Hanya ada aku dan Yilang yang tetap di posisi diam mengamati lelaki itu berjalan.

“Hei kau, kalau tetap begitu berikutnya kamu yang tertabrak!” seru seorang bapak tua di pinggir jalan.

Aku tersadar dan segera berlalu. Aku gagal lagi menjalankan tugasku, sama seperti sebelum – sebelumnya.

Lelaki yang kepalanya berdarah itu berhenti melangkah. Ia menengok ke belakang, ke arahku.

“Sepertinya kau tadi menepuk dahiku keras sekali?” tanyanya.

“Kalau tidak begitu, kau pasti akan mati,” jawabku singkat.

“Oh ya?” katanya dengan tampang bodoh.

“Kau mau bunuh diri kan?” tanyaku.

“Bagaimana kau tau?” tanyanya lagi.

“Dari wajahmu itu. Jelek sekali,” kataku asal.

“Hei, jangan mengatakan itu. Aku sudah lelah, setiap gadis mengatakan itu,” jawabnya kesal.

“Jadi kau patah hati?”

“Menurutmu gimana?” dia malah balik bertanya.

“Payah,” jawabku sekenanya. Lalu aku berjalan melewatinya. Tapi ia menarik tanganku.

“Jangan pergi, sebentar saja.  Maukah kau menemaniku? Sehari saja,” pintanya.

Aku diam, tak tahu harus bagaimana. Aku melirik Yilang. Tapi ekspresinya sama denganku, datar.

“Siapa namamu?” tanya lelaki itu.

“Parkit,” jawabku.

“Aneh sekali. Kenapa seperti nama burung?”

“Tidak tau,” jawabku datar.

“Aku Elgo. Mau kan menemaniku sehari saja. Aku sedang patah hati,” katanya. Senyumnya begitu indah. Belum pernah kulihat senyum seindah itu dari seseorang yang hampir mati.

Tanpa menunggu jawabanku, ia menggenggam tanganku dan mulai berjalan. Yilang geram. Mungkin dia berpikir Elgo menyakitiku.

“Tidak apa – apa,” bisikku lirih. Yilang mulai mengerti. Ia menjajari langkahku.

“Kepalamu, apa mau ku perban?” tanyaku.

“Oh iya, tapi darahnya sudah berhenti,” Elgo memegangi belakang kepalanya.

“Kalau tidak diperban, kau tampak aneh,” kataku.

“Iya. Beberapa meter lagi ada klinik. Ayo kesana,” Elgo menarikku untuk berlarian bersamanya. Dadaku bergetar. Ada apa ini? Kenapa aku bisa merasakan sesuatu yang lain saat bersamanya? Padahal dia hanya manusia biasa.
***
Kepala Elgo sudah diperban. Para perawat dan dokter di klinik tadi juga terheran – heran. Bagaimana bisa seseorang yang kepalanya berdarah sebanyak itu bisa tetap hidup. Tapi Elgo hanya tertawa.

“Parkit, disana ada penjual gulali. Kamu mau?” tanyanya.

“Tidak, terimakasih,” jawabku.

“Hei, semua gadis suka gulali. Kamu kenapa? Gigi sensitif?” guraunya.

“Aku tidak pernah makan gulali,”

“Kamu  aneh. Hei, lihat wajahmu itu. Seperti mayat hidup saja. Coba tersenyum, jagan datar begitu,” kata Elgo sambil memegangi wajahku. Matanya bertemu langsung dengan mataku. Dan saat itu dadaku berdesir lagi.

“Tidak pernah tersenyum ya? Seperti ini,” dia menarik pipi kanan dan kiriku hingga membentuk sebuah lekukan. “Nah, coba pertahankan,” dia melepas tangannya.

Aku tetap menyunggingkan pipiku seperti katanya barusan.

“Amboy. Kau sungguh cantik. Gadis tercantik yang pernah kutemui,” dia mengagumiku. Rasanya dada ini meletup – letup. Tapi kenapa? Kenapa aku merasakan ini? Padahal tidak pernah sekalipun aku begini.

“Kau tidak pernah tertawa ya?” katanya.

“Bagaimana itu?” tanyaku.

“Seperti ini,” dia memegangi pinggangnya dan berkata, “hahahahaaaaa.....”

Aku menirukan gerakannya, “Hahahahaaaaa.....” kataku.

“Bukan begitu, kamu seperti mayat yang tertawa. Ekspresimu mana? Sipitkan matamu, sunggingkan pipimu, jangan tegang. Dan tertawalah,” katanya.

Aku mengikuti semua yang ia katakan. “Hahahaaaaaa,”

“Nah, begitu bagus,” dia berjalan di depanku. Sedangkan aku mengikutinya sambil mempraktekkan apa yang dia ajarkan barusan.

“Jangan tertawa terus. Seperti orang gila, tau!” dia menoleh padaku.

Aku langsung kembali pada ekspresiku semula, datar.

“Hei, jangan datar begitu. Tersenyumlah,”

Aku menyunggingkan pipiku lagi.

“Nah, begitu kan manis. Ayo kita makan gulali. Lalu naik komedi putar,” dia menggandeng tanganku.
***
Malam hari di alam manusia sangat berbeda dengan duniaku. Aku, Elgo, dan Yilang sedang duduk di bangku taman kota. Hari ini Elgo mengajakku ke banyak tempat. Air mancur, pecinan, dan naik komedi putar. Elgo membelikanku sebuah jepit berbentuk burung kecil, yang katanya seperti burung parkit.

“Sebentar lagi jam 12 malam. Akan ada kembang api disana,” dia menunjuk langit.

“Apa itu?” tanyaku.

“Kau akan tahu,”jawabnya. “1,2,3....” dan kilatan – kilatan penuh warna berpendar di langit malam yang hitam. Sungguh indah. Aku sampai terperangah dibuatnya.

“Selamat tahun baru,” ucapnya padaku.

“Apa itu?” tanyaku lagi.

“Hari ini adalah pergantian tahun. Dengan begitu, harapan – harapan baru dimulai,” ucapnya.

“Apa harapanmu?” tanyaku.

“Bersamamu selamanya,” jawabnya cepat.

“Maaf aku tidak bisa,” terasa sakit di hatiku saat aku mengucapkannya.

“Kenapa? Kau telah menyelamatkan nyawaku. Memberiku harapan baru. Tetapi kemudian kau meninggalkanku,” tatapannya begitu dalam, seakan ia ingin memberikan hidupnya, segalanya padaku.

“Aku, bukan manusia. Alamku berbeda denganmu. Waktu itu aku menyelamatkanmu. Karena bila kau mati karna bunuh diri, aku harus menyeretmu ke neraka. Aku tidak bisa, walaupun itu tugasku,”

“Kau ini makhluk apa?” dia menanyaiku tak percaya.

“Manusia menyebut kami ...” sulit untuk mengatakannya.

“Apa?” dia masih menungguku menyelesaikan kalimatku.

“Manusia menyebut kami, Jin,” lanjutku.

“Aku tak peduli. Aku ingin bersamamu. Hanya kamu yang mau menerimaku apa adanya. Ku mohon, Parkit,” ia menggenggam tanganku.

“Aku tidak bisa. Sebentar lagi aku harus pergi. Aku sudah banyak melakukan pelanggaran hari ini,” kataku.

“Akankah kita bertemu lagi?” tanyanya.

“Tidak,”jawabku.

“Sekalipun aku mati?” tanyanya.

“Kau tidak akan menemuiku lagi. Selamanya,”

Kilat menyambar.Waktuku sudah habis. Aku harus segera pergi. Kututup matanya dengan kedua tanganku. Saat ia membuka mata, dia tak kan lagi melihatku. Selamat tinggal, Elgo.
***
Hujan membasahi kota. Sore itu kilat menyambar – nyambar.

Ciiit...

Sebuah motor berdecit. Orang – orang langsung berkerumun di tengah jalan. Seorang pria terkapar dengan luka di kepala dan hatinya. Matanya sayu dan hampir tertutup. Namun kemudian seorang gadis mendesak memasuki kerumunan dan menepuk dahi pria itu. Dipeluknya lelaki itu dengan penuh kerinduan.

“Apa yang kau lakukan?” seorang pria menarik lengan gadis itu dan menghempaskannya ke pinggir.

Lelaki itu terbangun, namun gadis yang berdiri di pinggir mendesak keluar dari kerumunan.

“Parkit,” seru lelaki itu. Tak peduli pada reaksi orang – orang yang terkejut dengan kebangkitannya. Bagaimana bisa seseorang yang akan menemui ajalnya dapat berdiri dan berlari secepat itu?

Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting