Minggu, 04 November 2012

Mendaki Pelangi

Diposting oleh Ken Mercedez di 19.46.00 0 komentar

 Waktu kecil, aku selalu mendengarkan dongeng tentang putri di suatu kerajaan, peri, atau putri duyung. Ibu membacakan dongeng – dongeng itu sebelum aku tidur. Hingga kini dongeng ibu menjadi harta karun yang berarti bagiku, tapi tidak bagi teman – temanku. Mereka menertawaiku, mengatakan aku gila, atau hidup dalam ilusi. Tidak ada yang memahamiku. Padahal mengenang semua dongeng itu seperti mendaki pelangi. Jalan hidup semakin menanjak, dan setiap kita mendaki terasa berat, namun pelangi tetap indah dan menjadi inspirasi. Pelangi itu ibaratnya dongeng yang selalu menjadi inspirasi hidupku.
*
“Ivy, melamun lagi?” tegur Lina, penjaga perpustakaan yang bergantian shift denganku.
“Ehm, nggak kok,” jawabku sedikit ragu, karna sepertinya tadi aku memang melamun.
“Berhayal ketemu makhluk kerdil lagi? Aku lupa namanya,” Lani mengerutkan kening seperti mencoba mengingat sesuatu.
“Kurcaci,” jawabku singkat. Ternyata Lani masih ingat kejadian ketika aku mengamati sudut ruangan perpustakaan, berhayal melihat seorang kurcaci kecil membawa sekop hendak menggali lubang harta karun disana.
“Sudahlah, cari imajinasimu di luar. Sekarang ganti aku yang jaga,” Lani meletakkan tasnya di atas mejaku.
“Baiklah. Aku pulang dulu ya,” kataku.
“Ya, hati – hati di jalan. Jangan sampai terjatuh ke lubang yang digali kurcacimu itu,” Lani terkikik sendiri. Aku tahu ia sedang mengejekku, tapi dia tidak sadar sudah terbawa fantasi yang sama denganku.
Aku hanya tersenyum, senang rasanya ketika seseorang mulai berfantasi sepertiku. Ku lambaikan tanganku sebelum pergi meninggalkan perpustakaan.
*
Langit begitu cerah, tak tampak awan mendung seperti hari kemarin. Orang - orang berlalu lalang di pinggir jalan, dan sebagian lagi bersepeda bersama teman – temannya. Hari Sabtu memang hari yang indah, apalagi hari minggu. Aku mengamati seorang pedagang buah yang sedang sibuk melayani pembeli anggurnya. Perhatianku teralih pada makhluk kecil yang sedang asik melahap buah anggur. Makhluk itu sangat lucu, telinganya mencuat ke atas seperti kucing. Tubuhnya mungil dengan baju yang terbuat dari dedaunan kering, dan ia bersayap! Ia menoleh ke arahku yang sejak tadi mengamatinya.
“Ssssttt….” Ia menempelkan jari telunjuknya di tengah bibir kecilnya.
Aku hanya tersenyum. Entah ini imajinasiku atau makhluk itu memang benar nyata. Kuteruskan jejak kakiku hingga melewati jalan yang menanjak, aku berhayal jalan menanjak ini seperti pelangi yang membawa orang – orang ke sebuah kastil yang megah di langit. Nampak seorang pelukis jalanan sedang asik melukis bunga – bunga di pinggir jalan. Sejenak aku memandanginya, ia lebih muda daripada pelukis yang biasanya.
“Hei,” seru pemuda itu.
Aku menoleh ke sampingku, tidak ada orang. Lalu aku menoleh ke belakangku, juga tidak ada orang. Sebenarnya pemuda itu sedang menyapa siapa? Apakah aku?
“Iya,kamu,” serunya lagi seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Mau menjadi model lukisanku?” katanya lagi.
“Aku? Jadi model?” tanyaku tak percaya. Aku mendekatinya.
“Iya, aku sedang mencari seorang gadis yang cocok kulukis. Sepertinya kamu cocok,” katanya.
“Apa temanya?” tanyaku.
“Seorang peri bunga,” jawabnya singkat.
“Peri?” aku terperangah.
“Ya, kenapa?”
“Aku tak menyangka kau juga sama sepertiku, suka berimajinasi,” sorakku bersemangat.
“Hahaha,” ia tertawa. “Kau juga senang melukis?”
“Aku tidak bisa melukis,” kataku tersipu.
“Kalau begitu tulislah imajinasimu. Bagikan pada semua orang,”
“Jangan bercanda,” ujarku malu - malu.
“Serius,” jawabnya. “Oh ya, namaku Ethan,”
“Ivy,” jawabku.
“Mau menjadi modelku?” tanya Ethan lagi.
“Ya, tentu,” jawabku. Ethan lalu mempersilahkanku duduk di kursi kecil yang berhadapan dengannya.
Aku mengatur pose yang baik dan tersenyum manis. Kira – kira satu jam kemudian Ethan mengatakan lukisannya sudah hampir jadi, selebihnya ia akan menambahkan di rumah. Ia tidak memperbolehkanku melihat lukisannya dengan alasan masih belum sempurna.
Karena sudah senja, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Besok aku akan menemui pelukis itu lagi.
*
Keesokan harinya, aku sudah tidak sabar bertemu Ethan. Aku segera bergegas pergi ke tepi jalan yang menanjak dimana aku bertemu dengannya kemarin. Kugunakan baju terusan dengan motif bunga matahari tanpa lengan dan topi anyaman dengan hiasan bunga matahari yang senada dengan bajuku.
Aku menunggu Ethan yang sepertinya belum datang. Setengah jam kemudian seorang pria datang membawa kanvas dan kursi kecil. Ia lalu mengatur tempat untuk melukis di tempat dimana Ethan melukisku kemarin. Pria itu yang biasanya kulihat selama beberapa bulan ini, entah mengapa kemarin ia tidak datang melukis dan digantikan oleh Ethan. Aku begitu penasaran hingga berjalan menghampirinya.
“Permisi, apakah Anda mengenal pelukis yang kemarin melukis disini?” tanyaku.
“Oh, Ethan ya? Dia sudah pulang ke kota asalnya. Katanya bahan untuk pameran seninya sudah selesai,” jawab pria itu sumringah.
Aku hanya termenung. Padahal aku ingin sekali bertemu dengan pemuda itu lagi. Menurutku ia mirip seorang pangeran Elf muda yang tampan dengan hidung mancung dan dagu lancipnya. Aku pulang dengan hati hampa.
*
Sepanjang hari kugunakan untuk melamunkan Ethan. Bahkan ketika aku menjaga perpustakaan seperti biasanya pun kuhabiskan untuk melamun.
“Hei, jangan melamun terus!” tegur Lani. Ia berkacak pinggang dan berdiri memperhatikanku, seperti hendak menghakimi.
“Kali ini apa? Putri duyung baru saja mati di kolam kecilnya?” lagi – lagi ia meledekku.
“Bukan, pangeranku telah pergi,” jawabku sendu.
“Ivy, kamu begitu menyia – nyiakan hidupmu. Coba kau gunakan waktumu untuk sesuatu yang lebih baik, menulis dongeng mungkin,” usul Lani sambil merapikan rambut ikalnya.
Untuk sesaat aku terdiam, Ethan juga pernah berkata hal yang sama.
“Kau benar,” kataku dengan mata berbinar. Aku berdiri dan memeluk sahabatku itu. Aku segera bergegas pulang untuk menulis ide – ide yang selama ini beterbangan di kepalaku.
“Mau kemana?” tanya Lani bingung.
“Menulis dongeng,” sahutku singkat.
*
Hampir setiap hari aku membuat dongeng dan mengirimkannya ke penerbit. Hingga 1 tahun berlalu sejak aku memutuskan untuk menjadi penulis. Aku pun memutuskan untuk pindah ke Jakarta demi karir menulisku.
Di hari Minggu yang cerah, aku duduk di bangku taman sambil menulis ide – ide baru. Setelah semua ide kutangkap dalam sebuah buku catatan, aku memutuskan untuk berjalan – jalan sebentar. Ku dengar hari ini ada pameran seni lukis bertajuk Fantasia di sekitar taman tempatk menulis.
Aku berjalan melalui jalan setapak hingga tiba di sebuah galeri. Di depan galeri itu ada sebuah papan dan pamflet tentang Fantasia. Ada dua orang gadis dengan kostum kelinci yang lucu membagi – bagikan brosur pada pengunjung yang datang. Seorang pria kecil berdiri di sudut yang lain, berkostum kurcaci dengan balon – balon di tangannya.
Tak sabar aku untuk melihat ke dalam galeri itu. Aku segera masuk dan mengisi buku tamu di resepsionis. Ketika aku melihat – lihat lukisan di dalam galeri itu, aku sangat terpukau. Lukisan – lukisannya begitu hidup, seolah ingin mewujudkan khayalan menjadi kenyataan.
Aku mendekati sebuah lukisan yang menggambarkan putri duyung di tengah lautan sedang menyapa pelaut yang berlayar dengan kapal megahnya.
Lalu ada sebuah lukisan tentang kelinci – kelinci yang membuat kue mochi di bulan. Aku tersenyum melihat lukisan yang menjadi legenda di Jepang.
Kemudian aku beralih pada sebuah lukisan dengan kanvas besar di tengah ruangan. Tampak seorang gadis manis dengan rambut ikal panjang duduk manis dengan latar kebun bunga. Aku terperanjat, gadis yang disebut peri dalam lukisan itu adalah aku.
“Kau datang juga,” suara lelaki yang familiar di telingaku membuatku terkejut.
Aku menoleh ke asal suara di belakangku dan aku melihat Ethan, pangeran Elf-ku.
“Aku yakin kau pasti datang,” kata Ethan lagi. “Aku sudah membaca dongeng – dongengmu, Nona Ivon Margaretha,”
Aku tersenyum mendengar kata – katanya.
“Hidup ini memang seperti meniti pelangi, seperti katam dalam setiap dongengmu,” ujar Ethan lagi.
“Ya, terkadang begitu sulit mencapai puncak pelangi untuk melihat keindahan dunia dalam fantasi kita,” lanjutku.
“Kau suka lukisan Peri Bermata Biru-ku?”
“Aku sangat menyukainya,” jawabku.
“Mungkin nanti aku bisa melukismu sebagai putri duyung,” gurau Ethan.
“Aku tidak mau,” jawabku sambil tertawa. Akhirnya aku menemukan pangeran Elf-ku lagi setelah bersusah payah mendaki pelangi.
Selesai

Sedikit share:
Cerpen ini aku bikin waktu boring dengerin dosen di kelas. Waktu kuliah selesai, cerpen ini juga finish. Degdegan banget deh bikinnya, dosennya nunjuk-nunjuk terus sih. >_<

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting