Selasa, 17 Januari 2012

Kemana ku cari Pangeranku?

Diposting oleh Ken Mercedez di 11.42.00
Hujan turun bgtu deras.Mmbuatq trjebak dlm cafe kecil dkt kampusq.Suasana ini mengingatknq pda masa kcilq yg tak trllu bhagia.Atau mgkn q tak prnh bhagia..Hujan tlh mmbwa ia pergi dr hdupq.Satu2x kwan bgiku.Bgaimana keadaanx saat ini?
'hei..' se2org mnepuk pundakq.Q menengadah,mlihat si pmilik tangn yg dg seenakx menepukq.Mmbuatq trkejut sj.
'apa?'jwbq gontai.
'hm..gk brubh y..tiap kali q sapa jwbx pzti gt..' sungutx.Q hny diam,mlas mmblas kta2x.
'Rani,plg yuk?aq anter deh..hri ni aq bwa thunder lho..'cwo ddpnq ini ttp sj mmksa.
'prcuma..thunder itu jg bkn pux km.aq g sk naek mtor pnjamn,' q sgera bangkit dr kursi.
'tunggu Ran,aq bhong.Q bwa vespaq kok.Bkn thunder..Q sngja bhongn km..'
'Alen..Alen..Npa sih km ska bhongn q?Km kn tau q temenan ma km g peduli mtor km apa,' ktaq lelah.
'justru itu yg q suka dr km..Km lain dg cwe2 kmpus ini.Tp knpa sih dr dl qt hny brteman?Pdhl uda 5x q nembak km,' Alen mlai mengeluh.
'q msh g pgen pcrn,' jwbn ini uda 5x jg q ucpkn pd cwo brnama Alen dhadpnq ini.
'smpe kpn sih km mw cri pangernmu itu?Aduh,itu kn udah dlu,Syg.Wkt jaman baheula..' gerutu cwo jangkung ini.
'km gk tau,Len..Dia sgt brarti bwt q.Tnpa dia,q g akn pux smgat hdup.Mgkn q uda mati ptus asa,'
'andai q Pangeranmu,Rani..' kta2 Alen mmbuatq terenyuh.
'oke..Oke..Trserh km sj lah!' sahutq.
'mksud km?'Alen kbingungn.
'kalo km bsa ambil hati ayahq,q turutin kmauan km' jwbq.
'mksudx km mw jd ceweq?'mata Alen brbinar2.Q hnya mengangguk pasrah.Y sdhlah..Lgipula sdh 14thn q mncri Pangeranq dan q tak prnh menemuknx.
'makasih,Rani.Q janji km gk akn prnh nyesel jd cewekq..'Alen mengecup punggung tanganq.Q trkejut,brani skali dy brbuat sperti itu?
'Tp km hrz temui ayhq dl!'ktaq.
'y,pzti.Nanti mlm,'jwb Alen mantap.Dlm hti q brdebar2,smga ayh tdk mrestui hbungn kami..
Pukul 7 malam.Q glisah dlm kmr.Benarkh Alen akn dtg sperti janjix td siang?Q tkut ayh akn marh pdaq.
Piip..Piip.. Hpq brdering.Dg gusar kuraih hp yg trgeletak di kasur.
'Aq didepan rumahmu' ujar Alen sblm q smpat mxapany.Ia mmatikn tlpn sblm q mnjwbx pula.Kni q bnr2 tkut,aq hrz bgaimana?
'Rani!' trdengar suara menggelegar ayh.Htiq brdebar tak karuan.Q sgera brlari ke ruang tamu.Tmpak ayh dan Alen du2k brhdapn.kduax tmpak tegang.
'Sy Alen.Tman kuliah Maharani.Kedatangn sy utk meminta restu bpak.Sy ingin menjadi pacar putri bpk,'ucap Alen fasih,tnpa ragu sdkitpun.
Ayah tmpak trkejut skali.trlebih aq.Alen bgitu nekad..kalau ayh marh,bs hbis dy dpukuli ayh.
Ayh diam bbrapa saat.lalu.. 'Knpa km trtarik dg ank sy?krna wjahx?hartax?bodyx?kpintarnx?' tanya ayh.
'krna putri bpk menakhlukkn hati sy sjak prtma kali brtmu.sy mncintaix,tdk ad niat buruk dlm cinta sy' jwb Alen.
Ayh mengangguk&tmpak sdg brfikir.
'Sy beri km ksempatn mnjadi shbt Maharani.Buktikn keseriusn km pd putri sy.Baru sy mengijinkn km,bhkn mmperistrix jg sy ijinkn,'kta ayh.
Apa td ayh blg?Istri???Astaga..Ayh,q tdk pux prasaan khusus pd Alen..Slahq jg sdh menantang Alen mnemui ayh..Alen tmpk yakin skrg.Ia pun brhasil mmbuka pintu restu ayh.Matilh q..Skrg ap mgkn q pux ksempatn mncari pangern masa kecilq?
**
Alen benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku. Setiap hari ia datang ke rumah untuk mengantar jemputku kuliah. Ia membantuku mengerjakan tugas2 kuliah yang menumpuk. Datang untuk mengobrol santai dengan ayah dan ibu. Ia juga tak pernah memaksakan kehendaknya padaku. Seringkali kudengar ibu memujinya dan ayah hanya tersenyum. Jadi Alen berhasil merebut hati orang tuaku.
Hingga suatu pagi, saat aku benar-benar jenuh mendengar namannya, apalgi melihat sosoknya, ia malah nongol di depan mataku saat aku membuka pintu.
"Pagi," sapanya ramah.
"Siang," jawabku asal.
Alen hanya tertawa. "Kamu humoris banget!" ujar Alen. Padahal aku yakin ia tahu aku jenuh padanya.
"Ada acara hari ini?" tanya Alen masih dengan rona ceria.
"Nggak ada," jawabku singkat. Malas.
"Ikut aku yuk? Ada seminar sastra nih," ajak Alen.
Aku berpikir sejenak. "Boleh deh," akhirnya aku menurut juga. lagipula capek hari minggu hanya berdiam diri di rumah.
"Tega ya dari tadi aku gak disuruh duduk," Alen mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh iya, lupa. Duduk yuk di dalam," kataku.
Lalu aku masuk ke dalam untuk merapikan diri. 15 menit kemudian aku kembali dengan penampilan yang lebih baik dan siap untuk hang out. Rambutku yang hitam lurus sebahu kubiarkan tergerai. Aku mengenakan kaos hitam dan jaket, aku juga merasa nyaman memakai celana jeans panjangku.
"Yuk berangkat," ujar Alen. Lalu kami pergi ke seminar dengan vespa abu-abu Alen, seperti biasanya.
***
Acara seminar dimulai 20 menit setelah aku dan Alen duduk di kursi deretan ketiga dari depan. Acara demi acara kulewati hanya dengan diam, aku sungguh tak tertarik dan menyesal datang kemari. Tapi Alen kelihatan antusias dengan seminar ini. Maklum saja, dia kan anak sastra,lain denganku yang berkecimpung di bidang perikanan.
"Sambutan berikutnya pleh pengarang novel terkenal kita yang baru saja menyelesaikan studinya di Inggris," kata si pembawa acara. "Kepada saudara Yudha Winata dipersilahkan,"
Aku terkejut. Mataku terbelalak, Pria yang disebutkan tadi bernama Yudha Winata. Benarkah? Ya ampun, benar. Senyumnya, cara berjalannya...Ia terlihat seperti Pangeran masa kecilku.
Pria berkemeja putih itu memberi sambutan hangat dan sesekali memberi humor agar suasana tidak kaku. Aku tak salah lagi, ia YudhaSang Pangeranku. Kini aku bertemu lagi dengannya.
"Saya rasa cukup sekian sambutan dari saya, saya harap seminar ini dapat memberi semangat pada saudara2ku untuk berkarya lebih banyak lagi," Yudah emngakhiri sambutannya.Ia segera menuruni podium. Dan aku seperti tertarik oleh magnet. Spontan aku berdiri hendak mengejarnya. Tapi seseorang mencengkram lenganku begitu kuat.
"Tetap disini,Rani," ujar Alen. Iamemandangku dengan sorot mata tajam.Lain dari biasanya yang selalu memancarkan keteduhan dibalik sorot matanya.
"Lepaskan!" aku menghentakkan lenganku. Dan berlari menyusul Yudha. Dalam hati aku sangat ragu, apakah dia masih mengenaliku?
**
Aku mengejar Yudha yang hendak menuju mobilnya.
“Yudha!” teriakku. Pria bertubuh tinggi itu menoleh.
“Siapa ya?” tanyanya. Ia mentapku seakan aku asing untuknya. Aku berjalan mendekat. Mengamati wajahnya yang tampan. Apakah ia masih mengingatku?
“Aku Maharani. Teman SD-mu,” ujarku dengan perasaan berdebar – debar.
Yudha mengernyitkan kening. Seperti sedang mengingat – ingat.
“Oh, iya aku ingat. Apa kabar, Rani?” kata Yudha beberapa saat kemudian.
Aku benar-benar bahagia ia masih mengingatku.
“Baik. Aku sudah lama mencarimu,”.
“Maaf ya, Rani. Aku pergi tanpa pamit. Aku harus pergi karna ayahku pindah tugas,” jelas Yudha.
“Ya, tak apa. yang penting sekarang aku sudah menemukanmu lagi,” sahutku.
“Rani, aku ada acara. Aku harus pergi sekarang,”lanjut Yudha. “Tapi nanti malam kamu bisa datang kan di acara pertunanganku?”
Apa? Pertunangannya? Kenapa setelah sekian lama aku mencarinya, kini ia hadir tapi sudah ada yang memiliki…
“Rani?” Yudha menatapku yang mendadak termenung mendengar kata-kata yang ia ucapkan barusan.
“A… aku datang,” jawabku tergagap.
“Terima kasih ya. Ini kartu namaku, acara nanti malam di alamat ini ya,” Yudha mengangsurkan sebuah kartu nama kecil padaku.
“Kau tahu, nama tunanganku juga Maharani, sama sepertimu,” ujar Yudha sambil trsenyum.
Aku hanya tersenyum pahit. Setidaknya Maharani yang bersama Yudha saat ini lebih beruntung dariku.
“Sampai jumpa, Rani!” Yudha memasuki mobil sportnya dan meninggalkanku yang terpaku.
Sampai beberapa saat aku diam mematung. Tak terasa airmata mengalir di pipiku. Bila ku ingat kenangan kecilku. Saat ia selalu datang menghiburku dengan kekonyolannya. Aku benar-benar tertawa lepas dengannya. Walau hidup dalam tekanan kedisiplinan ayah yang berlebihan, aku masih bisa tertawa karena pangeranku. Tapi kini, pangeranku membuatku mengangis…
“Sudahlah,” seseorang menepuk pundakku. Aku hafal suaranya, sudah pasti dia adalah Alen. Ia memperhatikan kartu nama yang kugenggam di tanganku.
“Aku mendengar dia akan bertunangan nanti malam. Karna itu aku aku mencegahmu tadi,” lanjut Alen.
Aku menoleh dan memeluk Alen. “Aku mencintainya,” kataku di sela-sela tangisanku.
“Apa kamu tega mengambil kebahagiaan gadis yang juga mencintainya?” tanya Alen sendu. Aku hanya diam, aku sendiri bingung harus menjawab apa.
“Aku mengenalmu,Rani. Kau bukan orang egois. Relakan saja,” Alen mengusap kepalaku lembut. “Aku mengatakan ini bukan karna aku ingin memilikimu,”
“Apa aku harus datang nanti malam? aku tidak akan sanggup, Alen,” rajukku.
“Kamu sudah berjanji?” Alen balas bertanya. Aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu kamu harus datang,” katanya bijak.
***
Malam itu aku datang bersama Alen. Kebetulan Alen tergabung dalam suatu grup yang berkoordinasi dengan Yudha. Ku lihat Yudha tengah bersalaman dengan para tamu. Disebelahnya berdiri seorang gadis berambut panjang lurus mengenakan gaun ungu yang sangat anggun.
“Ayo, tunjukkan ketegaranmu,” Alen menyemangatiku.
Aku mengangguk. Kupasang senyum termanis yang ku punya dan aku berjalan seringan mungkin menghampirinya.
“Hai, selamat ya,” kataku sambil menyalami Yudha.
“Hai juga. Terima kasih ya sudah datang. Oh iya, ini tunanganku, Maharani,” ia memperkenalkan seorang gadis yang namanya sama denganku.
Gadis itu menyalamiku begitu hangat. Aku dapat merasakan ia gadis yang baik. Semakin tak tega aku merusak kebahagiaan dalam sorot matanya.
Alen juga bersalaman dengan Yudha. Lalu ia membawaku menjauhi Yudha. Mungkin ia takut aku tak dapat menahan perasaanku. Kami melewati malam ini lebih cepat. Aku tak mau berlama-lama disini. Saat jam menunjukkan pukul 9 malam, kami pulang. Kali ini Alen membawa mobilnya. Ya, sebenarnya ia mampu membeli apapun yang ia inginkan, tapi ia tidak suka berfoya-foya dengan harta yang diwariskan oleh orang tuanya. Baleno yang ia pakai malam ini hanya ia pakai untuk acara-acara resmi.
Kami saling diam dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba dari kejauhan melintas sebuah truk. Truk itu semakin mendekati mobil Alen.
“Len, jangan dekat-dekat truk itu!” seruku panik.
“Gak bisa. Sebelah kiri kita sungai!” Alen tak kalah panik.
Tiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnn!!!!!!!!!!!
Truk yang hilang kendali itu semakin mendekat. Aku merasa tubuhku bergoyang, remuk, dan… aku tak tahu lagi…
**
“Dia sudah siuman!” suara itu… aku mengenalinya, itu suara ibu. Kubuka pelan – pelan mataku. Ayah dan ibu mengelilingiku. Dan ruangan ini serba putih. Mungkin aku sedang di rumah sakit…
“Ibu,” kataku lemah. Aku mengingat-ingat. Tadi malam, mobil kami menabrak truk. Dan… bagaimana dengan Alen?
“Alen dimana Bu?” tanyaku panik.
“Sabar nak, kamu sudah 3 hari koma,” Ayah menjawab pertanyaanku. “Alen sudah pulang,”.
“Jangan membohongi anak kita, Yah!” ibu menyela.
“Sudahlah, lebih baik dia gak tau!” kata Ayah. Aku semakin bingung.
“Aku harus tahu. Ada apa?” tanyaku tak sabar.
“Alen belum sadar, Nak. Kakinya habis diamputasi,” jawab ibu lemah.
Apa? Alen… mengapa ia yang begitu baik hati mengalami keadaan seburuk ini? Aku menangis hebat. Merasakan penyesalan dan sakit yang begitu mendalam. Kenapa tidak aku saja? Aku rela mengganti kakinya dengan kakiku bila aku bisa.
“Sudahlah, Nak… Ini namanya musibah,” Ayah menenangkanku.
“Aku mau liat keadaannya, Yah,” kataku lemah. Ayah mengangguk Ia menuntunku ke kamar ICU tempat Alen dirawat. Aku melihatnya masih tak sadarkan diri dengan penuh balutan perban di sekujur tubuhnya. Melihatnya begini membuatku hatiku miris.
***
Tiga hari kemudian Alen siuman. Tapi ia selalu murung dan irit bicara. Padahal setiap hari aku datang menemaninya.
“Kamu kenapa Len? Kamu berubah sejak kita kecelakaan,” tanyaku.
“Aku malu, Ran. Kamu lihat kan, sekarang aku cacat,” jawab Alen lemah.
“Aku tahu. Tapi kenapa harus malu. Kamu tetap sahabatku kok,”
“Aku gak pantas lagi, Ran. Kamu cantik, setiap kamu pergi kemana pun banyak cowok yang ngelirik. Dulu aku sempat bangga di sampingmu. Aku selalu menghayal kalau aku ini pacarmu,” tutur Alen. “Tapi nanti, kalau aku sembuh dan kita bersama-sama lagi, aku hanya akan mempermalukanmu dengan keadaanku yang kayak gini,”
“Kok kamu gitu,Len?” aku menangis. Aku semakin merasa bersalah. Walau aku tak tahu dimana letak kesalahanku. Saat ia terbaring koma setiap hari aku cemas. Aku tidak mau kehilangan dia. Rasanya lebih sakit daripada perasaanku saat mengetahui Yudha sudah punya tunangan. Dan menunggu Alen siuman lebih tersiksa daripada menunggu saat aku bertemu lagi dengan Yudha. Aku menunggu Pangeranku selama 14 tahun. Dan menunggu Alen siuman selama 3 hari. Tapi rasanya tak sebanding.
“Tinggalkan saja aku, Rani. Anggap saja aku sudah mati,” kata Alen. Ia memalingkan wajahnya dariku.
“Nggak,” aku mengelak. “Sekarang aku tahu arti kamu buat aku, Len,”
“Sudahlah. Aku tidak mau dikasihani,” ujar Alen dingin.
“Bukan. Bukan gitu! Kalau cuma kasihan, aku gak akan sampai kurus begini mikirin kamu,” kataku.
Pelan Alen memandangku lagi. Ia mengamati perubahanku. Mungkin ia setuju aku semakin kurus. Berat badanku turun beberapa kilo.
“Terus?” tanya Alen.
“Aku sudah mikir masak – masak. Aku gak mau kehilangan kamu lagi.” kataku. “Jadi, setelah kamu keluar dari RS, kita menikah,”
“Kamu jangan bercanda, Ran! Ini keterlaluan!” Alen marah.
“Nggak. Aku serius. Aku sudah bilang kok sama orang tuaku. Mereka menyerahkan semuanya sama aku,” kataku. “Aku mau buktiin sama kamu kalo aku serius,”
“Tapi aku cacat! Kamu sudah mikirin itu? aku gak sempurna. Masih banyak cowok yang lebih pantes buat kamu,” Alen menatapku serius. “Jangan rusak masa depanmu dengan menikahi cowok seperti aku,”
“Kamu gak punya kuasa bilang masa depanku bakalan rusak dengan nikahin kamu. Kamu mencintai aku. Aku juga mencintai kamu, dan aku sudah berkomitmen untuk sama kamu,” jelasku.
Alen hanya diam. Ia memejamkan mata dan airmata mengalir di pipinya. Dengan sayang ku hapus airmata itu.
“Kenapa kamu nangis, Len?” tanyaku.
“Aku gak percaya ini. Tapi aku sangat bahagia. Walaupun aku gak sempurna, tapi aku akan berusaha bahagiain kamu,” katanya penuh haru. Airmataku tak tertahankan lagi. Aku menangis dan mengecup tangan Alen yang begitu hangat.
***
Kami benar – benar menikah. Dan tak terasa sudah 2 tahun berlalu. Aku tak pernah menyesal menikah dengan Alen. Karna hidupku begitu bahagia. Alen benar-benar tahu cara membahagiakan aku.
Pagi yang cerah ini aku bersama suamiku pergi ke sebuah supermarket untuk membeli keperluan dapur.
“Aku mau lihat parfum dulu ya?” kata Alen.
“Ayo,” jawabku. Aku segera mendorong kursi roda Alen.
“Aku mau liat-liat sendiri. Kamu kan mau beli buah,” kata Alen.
Aku mengangguk. “Hati-hati ya,” ujarku sambil tersenyum. Alen balas terseyum. Ia berlalu dengan kursi rodanya. Aku segera menuju tempat buah-buahan.
“Rani,” seseorang memanggilku.
Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku terkejut, pria yang berdiri disampingku ini adalah Yudha.
“Hai,” sapaku hangat. “Dengan siapa?” tanyaku kemudian.
“Sendiri. Kamu?” ia balas tanya.
“Dengan suamiku. Tapi dia masih ke bagian parfum,” jawabku.
“Oh…” Yudha mengangguk. Ia mengamatiku. “Kamu tetap cantik,” pujinya.
“Kamu tambah ganteng,” balasku.
Yudha tertawa. “Kamu tahu, Rani. Aku tertarik sama kamu dari dulu. Tapi kita harus berpisah saat itu,” kata Yudha. “Dan aku mencari pengganti yang mirip denganmu,”
“Dan namanya juga Maharaani,” sambungku. Aku jadi ikutan tertawa. Ternyata dulu kami punya perasaan yang sama.
“Apa kamu bahagia, Rani?” tanya Yudha.
“Ya, aku sangat bahagia,” kataku tulus. Sekarang aku sudah tak mengharapkan apapun dari Yudha. “Sudah ya, aku takut suamiku bingung nyari aku,”
“Oke lah. Seneng bisa ketemu kamu lagi,” kata Yudha. Aku terseyum dan melenggang pergi. Mungkin saja suamiku membutuhkanku untuk memilihkannya parfum.

Selesai

2 komentar:

Ken Mercedez on 17 Januari 2012 pukul 11.43 mengatakan...

maaf ya, untuk penulisan yg disingkat2... waktu itu penulis lagi ngetik di hape en diposting lewat fb... mohon dimaklumi. hehehe

Awod Argubi on 14 Februari 2012 pukul 21.53 mengatakan...

gak suka,
ga dibaca
pusingg

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting