Jika tidak ada yang dapat kulakukan lagi, lebih baik aku mati. Ada dan tiadanya diriku takkan berpengaruh pada siapapun...
“Saya sarankan Anda untuk melakukan kemoteraphy.
Kanker anda sudah menyebar dan akan semakin sulit ditangani nantinya,”
“Tidak, Dok. Biarkan saja,” jawabku lunglai.
“Anda harus optimis, jangan menyerah dulu. Kami
akan melakukan semampu kami untuk menyelamatkan Anda,” Dokter Ana
menyemangatiku walau sebenarnya itu tak ada gunanya. Ini yang kuinginkan,
segera enyah dari muka bumi ini.
“Permisi Dok, saya teringat suatu urusan yang
penting,” aku berusaha tersenyum walau kaku. Lalu aku berbalik dan membuka
kenop pintu.
Aku berjalan keluar dari rumah sakit. Sungguh, aku
benci tempat ini. Aku tidak akan datang kemari lagi. Aku terus menyusuri jalan,
hingga aku menyadari semakin jauh aku berjalan menjauhi Rumah Sakit Bougenvil.
Sekarang kakiku membawaku ke sisi kanan jembatan besar. Orang – orang mengagumi
jembatan indah yang dibawahnya berbaring sungai Seine yang indah.
“Mademoiselle, apakah
kau mau bunuh diri disini?” seorang pria mengagetkanku. Ia tiba – tiba sudah
berdiri di belakangku dengan tangannya menarik lenganku.
“Quoi?”
tanyaku terkejut.
“Pardon moi,
saya kira Anda hendak melompat dari jembatan ini,” kata pria itu lagi.
“Tidak, aku hanya ingin melihat sungai Seine
saja,” jawabku datar.
“Oh, maafkan aku. Aku sungguh bodoh. Mana mungkin
gadis semuda dan secantik Anda bisa bunuh diri,” pria itu garuk – garuk kepala.
Sayang sekali dia tidak tahu, aku sudah mencoba
banyak cara untuk mengakhiri hidupku. Aku pernah mengiris ulu nadiku, minum
obat berlebihan, melompat ke sungai pun pernah. Namun semuanya tidak ada yang
berhasil. Akhirnya aku menyerah, dan Tuhan mulai mendengar doaku. Ia memberiku
penyakit Leukimia dan sebentar lagi aku akan menghilang dari dunia ini dengan
sendirinya.
“Boleh ku tahu siapa namamu?” tanya pemuda itu
memecah lamunanku.
“Enide,” jawabku singkat.
“Nama yang bagus sekali,” puji pemuda itu. “Namaku
Francoeur,”
“Hati yang jujur,” gumamku.
“Pardon?”
“Namamu, Francoeur – Hati yang
jujur,” jelasku.
“Kau mau kemana, Mademoisell? Biar aku mengantarmu,”
“Just call
me, Enide,” kataku. “Aku tidak tahu, mungkin aku akan pulang ke rumah,”
“Sayang sekali pagi seperti ini kau habiskan hanya
untuk minum teh di rumah. Bagaimana kalau kita berkeliling saja, Enide?”
Francoeur menawariku tumpangan di vespanya. Ia menyodorkan helm kuning padaku.
“Tidak, Mercy.
Aku pulang saja,” aku tersenyum tipis.
“Ayolah, hari ini indah sekali. Aku ingin berjalan
– jalan tapi tidak menemukan kawan. Mungkin kau bisa menemaniku,” Francoeur
tersenyum riang. “Apa aku terlihat seperti penculik wanita?”
“Tidak,” jawabku. Oh Tuhan, hari ini aku banyak
tersenyum karena pemuda asing ini. Biasanya aku menghabiskan hariku dengan
merenung dan meratapi nasib. Jarang sekali aku tersenyum.
“Ayolah. Ini helm-mu. Cepat pakai atau kutinggal,”
ia memasangkan helm itu ke kepala, sungguh tidak sopan. Tidak hanya itu, ia
menarikku dan mendudukkanku di jok belakang vespanya. “Pegangan, kita akan
ngebut di jalanan,”
“Ngebut? Dengan motor vespa?” tanyaku. Francoeur
tidak menggubrisku. Ia malah mengegas motornya dan aku terpaksa memeluknya.
Pemuda ini mengingatkanku pada Papa. Punggungnya
begitu hangat. Aku sering bersepeda dengan Papa saat berumur 13 tahun. Kami
berkeliling kota Paris, lalu berhenti di sebuah taman. Mama menungguku dan Papa
sambil mengoleskan selai stroberi pada roti. Ketika aku datang, beliau
melambaikan tangan. Kami makan bersama sambil memandangi menara Eiffel dari
kejauhan. Oh, aku hampir lupa saat terindah dalam hidupku, ketika Papa dan Mama
masih hidup dan menemaniku.
“Kau menangis?” tanya Francoeur setengah
berteriak. Suaranya terdengar samar diantara angin dan derum kendaraan di
jalanan.
“Oui.
Bagaimana kau tahu?”
“Aku tahu, airmatamu membasahi punggungku,”
katanya setengah berteriak lagi.
Aku segera meregangkan tubuh. Kupandangi kaos yang
menempel di punggung Francoeur basah karena airmataku.
“Maafkan aku. Nanti akan kucuci,” aku mengusap -
usap punggung pemuda jangkung itu.
“Tidak usah, aku baik – baik saja,” Francoeur
membelokkan vespanya ke sebuah taman yang bernama Marigny Square. Ia memarkir
motor dan membantuku melepas helm.
“Sepertinya kita bisa bersahabat,” Francoeur
memandang wajahku, membuatku malu.
“Ehm, itu kalau kita bisa bertemu lagi,” gumamku.
Aku tidak tahu mengapa tiba – tiba aku berkata demikian, pasti ia bertanya –
tanya apa maksudku.
“Tentu saja bisa. Tiap hari aku akan menemuimu,”
jawab Francoeur, membuatku terkejut. Apa lelaki ini sudah gila? Kenapa ia
terlihat begitu tertarik padaku, atau aku hanya ke-GR-an saja?
“Enide, aku selalu kesepian. Aku hidup sebatang
kara. Tapi begitu melihatmu tadi, rasanya aku ingin selalu bersamamu. Aku
bahkan tidak tahu kenapa. Rasanya sangat damai,”
“Bagaimana kau bisa merasa damai bersamaku?
Sedangkan aku tidak punya hasrat untuk hidup,” kataku sambil menatapnya. Ia
lebih tinggi dariku. Matanya yang berwarna biru dan rambutnya yang berwarna
kecoklatan membuatku tak bosan menatapnya.
“Kau tahu arti dibalik namamu?” Francoeur malah
mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya diam. Nama ini pemberian orang tuaku,
tapi aku belum sempat bertanya apa artinya saat mereka masih ada di sisiku.
“Enide berarti jiwa. Jadi rasanya aneh kalau kau
tidak punya semangat hidup,” Francoeur mengernyitkan dahi seolah berpikir.
“Mungkin kau jiwa yang kosong,” ia mencoba bercanda, tapi itu tidak
lucu.
“Francoeur, aku juga hidup seorang diri sejak
orang tuaku meninggal akibat kecelakaan pesawat,” ujarku.
“Lalu sejak saat itu kau tidak ingin hidup?”
tebaknya.
“Ya,”
“Kau berpikiran sempit, Enide. Lihatlah, dunia ini
masih menerimamu. Kau masih bisa menikmati hembusan angin, memandang dedaunan
yang hijau, sungai Seine yang indah, Marigny Square dan Eiffel,” Francoeur
berputar – putar sambil merentangkan tangan. “Kau berada di surga. Bayangkan
begitu banyak orang yang ingin datang kemari, dan kau beruntung terlahir
disini,”
Dia benar. Aku bahkan tak pernah menyadari itu.
“Ajari aku mengenal kehidupan ini, Francoeur,”
kataku. Senyumku merekah, aku telah menemukannya, penyelamatku dari jurang
keputusasaan.
Selesai
*mohon kritik dan saran Kawand^^