Senin, 27 Februari 2012

Tokyo, Aishiteru!

Diposting oleh Ken Mercedez di 12.53.00
      Aku sedang menikmati pemandangan di taman yang dipenuhi bunga sakura. Tak pernah kusangka bunga itu lebih indah daripada yang kulihat di televisi atau di wallpaper ponselku. Aku sungguh beruntung dapat menikmatinya secara langsung disini, di Tokyo. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Lalu kulihat beberapa anak muda yang berjalan mesra dengan pasangannya, Sugoi. Aku bahkan belum pernah pacaran.
    “Baru pertama kali melihat sakura?” sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh ke sebelahku, seorang pemuda berbicara menggunakan bahasa Jepang yang sepertinya ditujukan padaku.
    “Apa?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Bukan karena aku tidak bisa berbahasa Jepang, tapi karena aku terkejut dia berbicara padaku. Aku tidak mengenalnya sebelum ini.
    “Tidak bisa berbahasa Jepang?” tanya pemuda itu lagi.
    “Bisa,” jawabku dalam bahasa Jepang. “Apa aku mengenalmu?”
    “Kau tidak peka ya,” ia mengalihkan pandangannya pada sekelompok anak kecil yang bermain gelembung sabun di jalan. “Aku teman sekelasmu,”
    “Oh, gomenasai,” aku garuk – garuk kepala.
    “Dari Indonesia, kan?” tanyanya lagi.
    “Haik,” jawabku singkat. Hening beberapa saat sampai ponselku berbunyi. Ternyata sms dari Papa. Beliau menungguku di stasiun dekat tempatku berada saat ini. kulirik pemuda oriental di sebelahku yang kelihatannya cuek saja denganku.
    “Aku pergi dulu ya. Sayonara!” kataku sambil melambaikan tangan. Kemudian aku ingat, orang Jepang suka membungkukkan badan saat mengucap salam. Apa aku juga harus begitu? Ah, mungkin akan lebih sopan kalau aku melakukannya. Aku segera membungkuk lalu pergi. Samar – samar kudengar ia tertawa tapi aku tidak menghiraukannya. Memang apanya yang lucu?
*
    “Rika chan,” suara mungil itu memanggilku ketika aku memasuki kelas.
    “Ohayo,” sapaku. Aku segera menghampiri gadis berkacamata yang memanggilku barusan.
    “Rika, lihatlah. Aku baru saja mendapat foto Arashi,” ia memperlihatkan ponselnya padaku.
    “Oh, ini,” aku terbelalak. Pemuda yang kemarin kutemui di taman itu ternyata bernama Arashi, aku baru tahu dari ponsel teman baruku ini.
    “Kenapa? Kamu terkejut kan? Gak mudah lho dapetin fotonya,”
    “Memangnya Sonoko dapat darimana?” tanyaku.
    “Waktu dia sedang berolahraga, aku mengambil fotonya diam – diam. Jangan kasih tahu siapapun ya, biar mereka tidak iri padaku,” kata Sonoko dengan centilnya.
    “Kenapa mereka harus iri?”
    “Arashi-kun paling ganteng satu sekolah ini. masa kamu gak tau?” jelas Sonoko yang mendapat respon gelengan kepala dariku. Mana ku tahu pemuda bermata sipit begitu jadi incaran satu sekolah. Aku sih gak akan ngincer dia.
    “Pokoknya aku ngefans sama dia!” kata Sonoko.
    “Ngefans atau cinta?” tanyaku.
    “Ngefans itu ya cuma mengidolakan saja. Kalau cinta lain lagi. Aku sih Cuma ngefans. Kebutuhan mata,” Sonoko menjentikkan jarinya.
    Aku hanya mencibir. Ih, apa – apaan pake kebutuhan mata segala, memangnya dia wortel?
    “Sudah ya, Arashi datang. Nanti ketahuan,” Sonoko memberi isyarat dengan telunjuknya saat Arashi memasuki kelas. Aku mengangguk dan kami pun bersikap biasa.
    Sepanjang pelajaran aku dan Sonoko tidak saling berbicara. Kami serius mendengarkan penjelasan guru. Lama – lama aku bosan, ternyata mau sekolah dimanapun ya tetap begini menjelaskannya. Guru menerangkan didepan sementara murid terkantuk – kantuk mendengarkan.
    Aku menoleh ke kanan, kulihat Sonoko sedang sibuk mencatat. Lalu aku menoleh ke kiri, dan kulihat Arashi juga meliihat ke arahku. Aku tersenyum, tapi ia tidak membalas. Ih, sebal! Tau gitu gak usah disapa. Aku mencibir lalu menoleh lagi ke depan. Aku tidak akan menyapa orang sombong itu lagi, titik!
*
    Tak terasa sebulan telah berlalu sejak aku berada di Tokyo. Untungnya aku mudah mengakrabkan diri sehingga sebentar saja sudah mendapat banyak teman.
    “Kita ke taman saja ya,” Sonoko menggandeng lengan tanganku ketika kami selesai makan siang di sekolah. Aku hanya menurut saja. Kami segera menuju taman dan memilih bangku pojok yang tidak terlalu ramai. Di sebelah kananku ada semak – semak setinggi pinggul orang dewasa dan sebuah pohon Ek yang sudah tua. Samar – samar terdengar suara seorang gadis dari balik rerumputan.
    “Kamu dengar itu?” aku bertanya pada Sonoko.
    “Ya. Ayo kita lihat,” Sonoko mengajakku mengintip.
    Ternyata seorang adik tingkat yang kutahu bernama Makoto menyerahkan sekotak makanan  pada Arashi. Wah wah, seperti adegan dalam komik saja.
    “Aku suka kakak,” kata Makoto malu – malu.
    “Bawa kembali kotakmu, aku tidak suka nyemil,” jawab Arashi ketus.
    Huah, gak suka nyemil katanya? Hihihi... Jawabannya kejam tapi menggelikan. Kulihat Makoto tampak kecewa. Ia yang berbadan mungil mencoba menyembunyikan wajahnya dibalik rambutnya yang lurus panjang. Arashi berbalik meninggalkan Makoto.
    “Kejam ya,” gumam Sonoko.
    “Iya. Cowok kayak gitu yang kamu suka?” aku menyindir Sonoko.
    “Mulai sekarang aku gak suka lagi. Aku kecewa,” ujar Sonoko berapi – api. Aku hanya cekikikan. Lalu selama hari itu aku dan Sonoko bergosip tentang Arashi yang kejam pada Makoto dan gadis – gadis sebelumnya.
*
    Aku sedang nyemil di kamar ketika Mama membuka pintu.
    “Anak ini, disuruh dandan malah santai – santai,” Mama ngomel di depan pintu.
    “Ngapain dandan segala, Ma. Bentar lagi yang dateng kan temen Papa sama Mama, bukan temenku,” protesku.
    “Tapi temen Mama itu bawa anaknya juga. Kamu kan bisa ngobrol sama anaknya,” ujar Mama.
    “Males ah,” kataku santai.
    “Besok nggak dikasih uang jajan lho. Mama males kalau kamu membantah kayak gitu,” Mama mengancamku dengan ancaman terampuh. Aku gak bisa hidup tanpa uang jajan!
    “Iya, Ma. Aku siap – siap dulu deh,” aku segera bangkit. Mama tersenyum lalu menutup pintu. Tuh kan, Mama cuma gertak sambal.
    15 menit kemudian aku turun ke bawah dengan wajah ditekuk. Dandan pun hanya memakai baju kaos lengan panjang berwarna pink dengan celana jeans biru donker. Rambut ku ikat ke belakang. Tidak perlu memakai gaun segala, kan?
    “Rika, sini nak,” Papa memanggilku. Aku segera menghampiri Papa. “Ini putriku, ayo beri salam,”
    “Halo, nama saya Rika. Senang bertemu Anda,” aku membungkukkan badan. Kudengar seseorang tertawa. Sepertinya aku familier dengan suara tengil itu. Aku segera menegakkan badan dan kulihat Arashi! Ngapain sih dia ada disini? Jangan – jangan yang dimaksud Mama, anak temannya itu Arashi. Oh God!
    “Kalian sudah saling kenal, kan? tanya Mama pada Arashi. Pemuda itu menjawab dengan sopan kalau kami memang kenal, bahkan akrab. Akrab dari Hongkong? Ih, gak banget deh!
    “Kalau gitu Rika ajak Arashi ngobrol ya,” Papa menepuk bahuku. Papa, Mama dan orang tua Arashi lalu duduk di ruang tamu, sementara Arashi tetap berdiri di hadapanku.
    “Kita mau kemana?” tanya Arashi.
    “Ke ujung dunia!” jawabku ketus. Ia tertawa melihat wajah cemberutku.
    “Kolam ikanmu bagus. Kita kesana saja, tidak perlu ke ujung dunia,” kata Arashi sambil menunjuk kolam ikan yang terletak di sebelah koridor tempat kami berdiri.
    “Ayo kutunjukkan ikanku,” kataku masih dengan nada ketus. Kami pun berjalan menuju kolam ikan lalu duduk di sisi kolam itu. Tak lupa aku menyambar snack kentangku yang tergeletak di meja dekat koridor.
    “Bagi dong, masa dimakan sendiri,” kata Arashi.
    “Kamu kan gak suka nyemil,”ujarku.
    “Kata siapa?”
    “Katamu. Kamu bilang gitu sama Makoto,” ups! Aku keceplosan.
    “Hahaha. Kamu nguping ya?” Arashi tertawa. Ah, aku tertangkap basah sekarang.
    “Gak sengaja kok,” aku berkilah.
    “Aku gak suka sama Makoto. Makanya aku bilang begitu supaya dia gak mengharapkan aku lagi,” jelas Arashi. “Aku sudah jatuh cinta pada gadis Indonesia,”
    “Siapa? Kenal dimana?” wah, dia suka gadis dari bangsaku rupanya!
    “Kenal di taman, saat gadis itu menatap bunga sakura dengan noraknya. Mungkin dia baru pertama kali lihat bunga sakura,” katanya sambil tersenyum.
    Aku mencibir. Itu kan aku. Pasti dia ingin mengusiliku lagi.
    “Aku serius!” ujar Arashi kemudian, tapi aku mengabaikannya.
    “Gak percaya?” Arashi bertanya tapi aku tetap mengabaikannya. Aku memainkan kakiku di air kolam sehingga air yang tenang tadi kini naik turun ke udara.       
    Tiba – tiba Arashi mencium pipiku. Apa – apaan ini?
    “Hei kamu, bukan begini caranya bercanda!” aku mulai emosi. Bercandanya keterlaluan!
    “Aku gak bercanda, aku serius tapi kamu gak percaya,” katanya dengan wajah tenang.
    “Jangan main cium sembarangan. Aku wanita Indonesia yang priyayi,” ah, entah dia tahu atau tidak arti kata priyayi yang kulontarkan dengan bahasa Jawa.
    “Terus gimana caranya supaya kamu percaya kalau aku serius?”   
    “Gak tau!” jawabku sekenanya.
    Arashi terdiam. Aku juga diam. Kami tidak berbicara, hanya melihat ikan yang berenang kesana kemari. Duh, aku gak tahu kenapa hatiku jadi degdegan gini. Apa karena dia tadi mencium pipiku ya. Ah, sebal, sebal!
    “Kamu akan pulang ke Indonesia dua hari lagi, kan?” Arashi membuka pembicaraan setelah kami terdiam cukup lama.
    “Iya. Hanya untuk liburan musim panas ini,” jawabku.
    “Aku pasti merindukanmu,” kata Arashi. Aku hanya diam, pura – pura tidak peduli. Hening lagi, hanya terdengar suara ikan berenang.
    “Kamu sudah punya kekasih?” tanya Arashi lagi.
    “Belum,” jawabku singkat. “Kamu sendiri sudah berapa kali pacaran?”
    “Belum pernah,” jawabnya. Oh, ternyata dia juga belum pernah pacaran. Tidak kusangka, Arashi yang menjadi idola satu sekolahan belum pernah memiliki kekasih. Padahal di sekolahku yang lama, si jago basket bernama Ardi memiliki sederet mantan kekasih yang bisa dijajarkan seperti pasukan upacara bendera.
    “Ehm, mau main dakon nggak?” tanyaku kemudian.
    “Dakon? Apa itu?”
    “Mainan tradisional Indonesia. Tunggu ya, aku ambilkan,” aku segera berlari ke kamarku untuk mengambil dakonku yang sering kumainkan saat kesepian. 5 menit kemudian aku turun lagi ke bawah dan menemui Arashi dengan napas terengah – engah.
    “Ini nih namanya dakon,” ako menunjukkan sebuah papan plastik panjang yang ujung – ujungnya membentuk setengah lingkaran. “Cara bermainnya, kita isi lubang – lubang ini seperti bermain Bantumi, mengerti?” jelasku panjang lebar.
    “Oh, mengerti!” sorak Arashi.
    “Yang kalah dicolekin bedak,” aku mengeluarkan bedak taburku. Arashi tertawa. Kami pun bermain dengan riang seperti anak kecil. Hari itu aku tahu bahwa Arashi tidak sepenuhnya cuek seperti yang kukira.
*
    Tiga hari berlalu setelah Arashi main ke rumahku di Tokyo. Saat ini aku sedang menikmati liburanku di Jogja. Entah kenapa rasanya aku merindukan Arashi.  Padahal aku sudah berusaha melupakannya dengan banyak cara. Aku berbelanja di Malioboro bersama sepupuku, kami nonton film, main game, bersepeda dan sebagainya. Tapi tetap saja tidak dapat mengusir bayangan Arashi dari benakku. Aku ingin segera kembali ke Tokyo. Huhuhu...
    “Pa, ayo kita ke Tokyo,” rengekku suatu hari.
    “Baru sampai di Jogja sudah mau kembali ke Tokyo,” omel Papa.
    “Aku bosan disini,” kilahku.
    “Di Tokyo kangen Jogja, di Jogja pengen balik ke Tokyo. Kamu ini membingungkan,” Papa masih mengomel. Ugh, aku menyingkir saja deh. Seandainya ada Pintu Kemana Saja milik Doraemon, pasti aku bisa bolak – balik Jogja – Tokyo hanya dalam hitungan detik. Huaaa... khayalanku begitu tinggi.
    Hari – hariku di Jogja berjalan begitu lama. Tapi setelah sebulan berlalu aku mulai betah di Jogja. Aku bisa sedikit melupakan Arashi walau tiap malam masih memikirkannya. Sekarang sudah lebih baik, aku banyak menghabiskan waktuku bersama pamanku yang hobi memainkan gamelan, atau bersama teman – teman lamaku nongkrong di Cafe. Arashi, bersabarlah menungguku kembali.
*
    Dua bulan sudah berlalu, akhirnya aku sampai juga di Tokyo! Hahaha. Aku yang baru  datang tadi pagi sudah tidak sabar pergi ke taman tempatku dulu mengamati bunga Sakura. Sekarang musim gugur, dan aku belum pernah melihat musim gugur sebelumnya. setelah memindahkan barang – barangku dari koper, aku memutuskan untuk berjalan – jalan di taman.
    Ternyata musim gugur juga indah. Daun – daun berguguran dan nuansa jingga menyeruak di penjuru kota. Aku terperangah mengamati kota Tokyo di musim gugur.
    “Baru pertama kali melihat musim gugur ya?” sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Arashi.
    “iya,” jawabku sambil tersenyum.
    “Ekspresimu lucu sekali,” kata Arashi. “Mana oleh – oleh untukku?”
    Aku segera merogoh tasku. Tadi saat memutuskan untuk berjalan – jalan aku menaruh oleh – olehku untuk Arashi di tas putih ini. aku sengaja membawanya karena mungkin saja akan bertemu Arashi. Ternyata firasatku tajam juga, buktinya sekarang kami bertemu.
    “Ini,” aku menyerahkan oleh – olehku padanya.
    “Ini apa?” Arashi menerima oleh – olehku dengan rasa kagum.
    “Itu wayang, kesenian tradisional negaraku,” jawabku. “Kamu suka?”
    “Suka sekali. Arigato,” kata Arashi dengan wajah gembira. “Aku juga membawakan ini untukmu,” Arashi memberiku setangkai bunga mawar. Ajaib sekali bunga ini tidak layu di musim gugur.
    “Wah, kok masih ada bunga di musim gugur?” tanyaku.
    “Aku mendapatkannya dari seorang temanku dari Indonesia. Ia baru datang tadi malam,” kata Arashi.
    “Jadi ini bunga dari negeriku sendiri?” tanyaku tidak percaya. Arashi mengangguk.
    “Rika, Aishiteru,” kata Arashi. Wajahku bersemu merah.
    “Aku juga cinta kamu,” jawabku dengan bahasa Indonesia yang jelas. Aku terlalu malu untuk mengatakannya dengan bahasa Jepang. Sepertinya Arashi tahu maksud kata – kataku, ia memelukku di tengah keramaian. Kurasa aku sedang jatuh cinta. Tokyo, Aishiteru!
SELESAI

4 komentar:

ARAS Andisetya on 29 Februari 2012 pukul 18.47 mengatakan...

Iiiiiiwww,,, Hehehehe,,, Kok cuma sun pipi? Hehehehe... Dakon? Hahahaha... Selamat! Anda berbakat menjadi duta pariwisata dan permainan tradisonal Indonesia. Hehehehe...

Ken Mercedez on 1 Maret 2012 pukul 11.40 mengatakan...

ya dong....

Anonim mengatakan...

Ini ceritanya ada kaitan sama pengalaman kakak atau karangan semata?

Ken Mercedez on 16 April 2014 pukul 00.17 mengatakan...

Halo... ini karanganku karna aku belum pernah ke Jepang (masih cita-cita). hehehehee... thanks ya dear udah baca cerpenku. :D

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting