Sabtu, 18 Februari 2012

Sejuta Cinta untuk Samantha part 2

Diposting oleh Ken Mercedez di 17.05.00
Cerita sebelumnya: Ketika kecil Samantha memberikan sebuah kotak terbuat dari rotan pada bocah bernama Ramdan yang sedang menangis di taman. Tak disangka mereka bertemu lagi di bangku kuliah dalam keadaan berbeda. Samantha telah menjadi kekasih Ray, sahabat Ramdan yang lebih dikenal dengan sapaan 'Dany'. Tersadar bahwa Samantha adalah gadis yang disukainya semasa kecil, terbesit cemburu dalam hati Dany pada Ray.

***

“Tidak apa – apa. Aku tanpa sengaja menyinggung perasaan Dany,” Samantha mencari alasan. “Maafkan aku Dan, aku gak akan nyinggung masalah cewek itu lagi,” dusta Samantha. Ia menundukkan wajahnya karena tidak mau bertatapan langsung dengan mata Dany ataupun Ray.
            “Ya ampun, Sayang. Kan aku sudah bilang, Dany paling gak suka ngomongin cewek,” Ray mengelus kepala Samantha. Ia menoleh pada Dany yang masih mematung dengan pandangan kosong menatap jalan.
            “Dan, gue minta maaf atas keteledoran cewek gue,” Ray memegang pergelangan tangan Samantha dan mengajaknya pergi. Samantha hanya menunduk dan menuruti ajakan Ray.
            Dany melihat kepergian teman – temannya itu. Ia berusaha menahan airmata. Balok kecil itu digenggamnya erat sekaligus diremas. Ia sangat  kecewa karena Samantha di masa kecilnya yang sangat lembut dan periang ternyata Samantha yang di masa ini menyebalkan dan angkuh. Tetapi ada rasa tidak rela karena mimpinya mendapatkan gadis yang menegarkan hatinya di masa kecil telah menjadi milik orang lain, apalagi itu semua berkat usahanya. Rasanya kenyataan ini seperti bom waktu, dan sekarang saatnya meledak. Dany berteriak keras dan menendang – nendang sebuah kursi yang dekat dengannya hingga kursi itu terjatuh dan patah.
*
            “Ray, sebaiknya kita batalkan saja ya acara ke Bonbin,” ujar Samantha saat mereka berkendara di jalan raya.
            “Kenapa?” suara Ray sedikit keras karena jalanan sangat ramai.
            “Kepalaku pusing,” jawab Samantha lemah.
            “Apa?” Ray tidak mendengar begitu jelas. “Pusing?” lanjutnya memastikan.
            “Iya,” Samantha agak berteriak agar Ray lebih jelas mendengarnya.
            “Kenapa gak bilang dari tadi. Tau gitu aku langsung antar pulang. Aku gak mau kamu sakit walau cuma pusing,” kata Ray. Karena sangat ramai, Samantha hanya dapat mendengar kata ‘kenapa-tadi-antar pulang-pusing’.  Samantha tidak ingin tahu lebih jelasnya karena pikirannya sedang kacau.
            Ray memutar setir dan berbelok ke arah kiri dengan cepat, saking cepatnya ia sampai hampir menyenggol badan mobil yang juga hendak belok ke kiri. Samantha terkejut dan terbangun dari lamunannya.
            “Ray hati – hati,” tegur Samantha.
            “Maaf. Aku gak bisa konsentrasi. Rasanya aku pengen nyetir pesawat jet biar cepat sampai ke rumahmu,” Ray berkata dengan cepat, namun Samantha mendengarnya dengan jelas karena jalanan sedang sepi. Ia begitu tersentuh, ray selalu menghawatirkan kesehatannya lebih dari apapun.
            “Kamu harus minum obat ini,” Ray membuka plastik putih dengan logo ‘Apotek Sehat’. Dia baru saja pergi ke apotek dan kembali lagi ke rumah Samantha 15 menit kemudian. Nafasnya sedikit ngos – ngosan.
            “Kamu seperti dikejar setan aja,” Samantha tersenyum. Ia bersandarkan bantal di atas ranjangnya dengan Ray yang sibuk membuka tutup botol obat dan mengambil segelas air putih.
            “Jangan berkomentar. Ini obat sakit kepala, yang warna kuning itu vitamin. Kalau kepalamu sudah mendingan, minum vitamin itu untuk memulihkan stamina,” Ray begitu serius.
            “Iya Dok,” Samantha masih saja menggodanya.
            “Apa perlu aku panggil dokter beneran?” tanya Ray serius. Ia tidak menggubris gurauan Samantha.
            “Ih, kamu ini berlebihan banget,” Samantha tertawa.
            “Aku mengkhawatirkanmu. Wajahmu dari tadi pucat,” Ray sepertinya tersinggung ketika Samantha menertawai keseriusannya.
            “Maafkan aku. Aku juga menyayangi dan sangat peduli padamu. Tapi kupikir kecemasanmu berlebihan, toh aku cuma pusing aja kan,” gadis itu meneguk segelas air setelah meletakkan obat di pangkal lidahnya.
            “Jangan meremehkan sakit begitu aja,” Ray melunak. Kemudian ia hanya diam memandangi Samantha, membuat gadis itu berusaha untuk tidak tertawa.
            “Apa sebelumnya kamu pernah gini sama mantanmu?” tanya Samantha penasaran. Ray hanya menggelengkan kepala.
            “Mereka sangat enerjik. Hampir setiap pagi bangun dengan kepala pening sehabis berdisko semalamann, jadi aku tidak pernah khawatir,”
            “Aku gak pernah disko, padahal itu seperti olahraga juga sih. Apa aku lebih gendut dari mereka?” tanya Samantha.
            Ray menggeleng pelan. “Kau lebih anggun dari mereka,”
*
            Samantha terserang penyakit flu dan panas selama tiga hari. Terpaksa ia hanya diam di rumah tanpa pergi ke kampus. Walaupun begitu, Ray selalu menemaninya setelah acaranya bersama genknya selesai. Samantha tidak ingin merampas kebebasan Ray untuk bergaul dengan teman – temannya, dengan syarat Ray gak boleh minum – minum atau mengganggu kenyamanan orang lain lagi.
            Sebenanya kepala Samantha pusing bukan hanya karena flu dan panas, tapi juga karena Dany. Ia merasa bersalah karena Dany jadi kelewat berani dari yang seharusnya. Tapi juga merasa rasanya tidak adil bila ia disalahkan 100 persen. Toh Samantha tidak bermaksud buruk pada Dany ketika memberikan kotak itu dulu sekali. Sekarang Samantha tahu siapa Dany, walau tidak semuanya. Tetapi pengetahuan itu lebih banyak dari sebelumnya. Tidak seharusnya pula Samantha menjauh karena tahu siapa cowok itu sebenarnya. Tapi toh dari dulu kan memang nggak deket. Benar – benar membuatnya merasa serba salah.
            “Kenapa sih dari tadi ngelamun?” tegur Ray yang duduk di samping Samantha.
            “Ah, nggak kok,” Samantha menoleh pada Ray lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
            “Ngelamun kok, tadi diajak ngobrol gak jawab,” serang Ray. Sekarang Samantha yang bingung hendak memberi alasan apa.
            “Ehm, cuma mikir. Aku udah ketinggalan perkuliahan selama tiga hari,” akhirnya Samantha berhasil menemukan alasan yang lumayan masuk akal.
            “Oh, kalo itu jangan khawatir. Kan ada Renata,” kata Ray.
            “Iya juga ya. Kok aku gak kepikiran sampe sana sih,” Samantha memukul kepalanya pelan.
            “Jangan mukul kepala sendiri dong, Sayang,” Ray tampak khawatir. “Kan wajar gak mikir sampe sana. Kamu lagi sakit gini kan,”
            Samantha hanya mengangguk. Ia bersandar di bahu Ray, rasanya nyaman sekali.
            “Maaf ya sebelumnya. Boleh nggak aku ikut balap motor bareng anak – anak Scorpion?” Ray mengganti topik pembicaraan.
            “Racing dimana?”
            “Di Bogor. Cuma tiga hari aja kok,”
            “Hem,” Samantha berpikir sejenak. “Boleh deh. Tapi ati – ati ya. Bogor kan sering ujan. Nanti jalannya becek,”
            “Tenang aja,” Ray membelai rambut Samantha.
            Entah mengapa rasanya dada Samantha agak sakit. Mungkin karena ia belum sembuh benar atau ada firasat tertentu? Ah, mungkin gara – gara masih sakit-pikir Samantha.
*
            “Gimana kabar cewekmu?” tanya Dany ketika genk Scorpion berkumpul di penginapan perbukitan kota Bogor.
            “Udah sembuh, pasti tadi udah mulai kuliah,” Ray melepas jaket kulitnya dan berjalan menghampiri kursi di sebelah Dany. Mody, Lian, dan Charly terdengar asik mengobrol tentang motor mereka di depan penginapan sederhana itu.
            “Ya bagus deh,” kata Dany sambil meregangkan otot.
            “Tiap hari loe nanyain dia. Biasanya loe bosen dengerin gue cerita tentang dia melulu,”
            “Biasa aja, ceweknya Mody, Lian, ama Charly juga gue tanyain kabarnya tiap hari,” Dany ngeles.
            “Makanya loe cari cewek aja. Apa perlu gue cariin?”
            “Yee... Loe aja siapa yang nyomblangin pas waktu itu?” Dany rada sewot.
            “Hahaha. Loe masih ngarep temen masa kecil loe itu?”
            Dany hanya diam. Sejujurnya, setelah tahu dimana dan siapa gadis itu, rasanya penantiannya selama ini sudah terjawab. Tapi apakah ia harus merebutnya dari sahabatnya sendiri? Dany tidak tega pada Ray yang selama ini sudah sangat baik padanya.
            “Dan, buat gue Samantha itu sangat berharga. Gue sayang banget sama dia, beribu – ribu sayang,” tiba – tiba ucapan Ray terdengar sangat serius. “Kalo ada apa – apa sama gue, sebagai sahabat terbaik gue, apa loe mau gue mintai tolong?”
            “Kok tiba – tiba ngomong ngaco gitu sih, Ray?” sergah Dany.
            “Gak tau kenapa rasanya gue pengen banget nitipin dia sama loe. Walaupun loe gak suka sama dia, tapi please kalo ada apa – apa sama gue, loe harus jagain dia ya?” tatapan Ray seperti menerawang.
            “Ngaco! Loe aja yang jagain dia. Gue sih ogah, emangnya gue baby sitter apa? Kata Dany agak kasar walau dalam hatinya berkata lain. Tanpa loe suruh juga pasti gue jagain mati – matian tuh cewek,batin Dany.
            “Gue serius, Dan,” kata Ray.
            “Iya deh. Gue janji bakal ngelindungi Samantha kalo terjadi sesuatu sama loe,” Dany menyerah untuk berbohong.
            “Thanks, Dan. Gue akan ingat janji loe selamanya,” Ray memeluk Dany.
            “Ah udah jangan peluk – peluk,” Dany pura – pura marah.

Keesokan harinya, dimulailah lomba balap motor di tempat yang sudah ditentukan. Medan area cukup luas, namun sedikit basah akibat hujan semalam. Semua peserta lomba bersiap – siap di garis start. Dany menoleh pada Ray, saat itu Ray itu mengacungkan jempol tanda ia baik – baik saja dan siap mengikuti lomba. Dany menganggung. Terdengar aba – aba panitia, 1... 2... 3... Dorr! Tembakan dilepas ke udara. Semua peserta lomba memacu motor melewati lintasan.
Awalnya, Dany memimpin di depan. Ray berada di posisi ketiga setelah Dany. Ia berusaha menyalip motor – motor lainnya dan berhasil sejajar dengan Dany. Satu menit kemudian ia melajukan motornya dan berada agak jauh dari Dany, sekarang ia memimpin di depan sendiri. Dany tak mau kalah, ia berusaha menyusul namun Mody mengejarnya. Tikungan mulai terlihat di depan mata, semua pengendara bersiap – siap dan mengatur kecepatan yang tepat. Samar – samar Dany melihat motor yang dikendarai Ray sedikit oleng. Cahaya matahari sedikit membuat mata silau, namun Dany menyipitkan mata dan melihat Ray yang memiringkan tubuhnya, lututnya menyentuh lintasan dan Bruaaak!!! Ia jatuh terpelanting, motornya terpental ke samping melompati batas lintasan. Dany sangat terkejut. Ia mengambil resiko untuk menepi secepat mungkin dan menolong Ray.
            “Cepat panggil ambulans!” seru petugas – petugas yang mulai berdatangan dan mengerumuni Ray. Dany sendiri memeluk sahabatnya itu dan memanggil – manggil nama Ray, tapi cowok itu tidak bergerak sama sekali.
            Beberapa saat kemudian ambulans datang dan Ray langsung dilarikan ke rumah sakit. Dany dan kawan – kawannya ikut mengantarkan Ray.
*
            “Ray!” Samantha berlari mendekati kamar ICU tempat Ray dirawat. Dany dan kawan – kawannya sudah berjaga di rumah sakit selama dua hari. Samantha sendiri langsung datang setelah mendengar berita kecelakaan Ray dari Charly. Orang tua Ray sendiri sudah datang kemarin, ibunya tidak henti – hentinya menangis dalam pelukan ayah Ray.
            “Sabar Tha, ayo ikut aku,” Dany menarik tangan Samantha dan mengajaknya menjauh karena belum ada yang diperbolehkan masuk ke kamar Ray.
            “Seandainya dia tidak ikut balapan, gak akan seperti ini, Dan,” Samantha terisak.
            “Ini sudah takdir. Kamu harus optimis dia bisa sembuh,” Dany berusaha menenangkan Samantha.
            “Aku gak mau kehilangan dia. Aku sayang sama Ray,”
            Hati Dany terluka, namun ia tidak tega melihat keadaan Samantha yang sedang terpuruk. Refleks Dany memeluk Samantha, namun gadis itu menolak.
            “Jangan seperti itu, Dan. Aku gak mau saat Ray sadar, dia salah paham tentang kita,” kata Samantha. Ia mengusap airmatanya dan pergi meninggalkan Dany.
            Aku harus bagaimana? Yang di dalam sana adalah sahabatku, yang berada di dekatku seorang gadis yang kusukai. Meskipun kejam, aku ingin mendapatkannya. Apapun caranya. Tapi bagaimana dengan Ray? Haruskah aku mengharapkannya pergi agar aku mendapatkan Samantha? Oh, apa yang sedang kupikirkan? Ray itu sahabatku! – Dany begitu bingung dengan hatinya.
            Dany sempat melihat pada Samantha yang sedang menangis di dekat pintu kamar Ray. Rasanya begitu menyakitkan. Gadis yang ia cintai menyalahkannya atas kejadian yang menimpa Ray, padahal Dany tidak melakukan apapun untuk menciderai Ray.  Ia meraih ponsel dari dalam sakunya. Setelah menimbang untuk beberapa saat, Dany kemudian menekan tombol – tombol ponsel dan menelpon seseorang.
            “Ayah, aku sudah putuskan. Aku setuju pergi ke Kuala Lumpur,” kata Dany via telepon.
            Dany menghela napas. Sebelum pergi ia melihat punggung Samantha yang berguncang karena gadis itu menangis. Selamat tinggal, Samantha.
*
Sebulan telah berlalu sejak peristiwa kecelakaan Ray. Ternyata nasib baik masih berpihak pada Ray. Pemuda itu kini dapat melalui hari – harinya kembali walau tidak seperti dulu. Ray terpaksa harus duduk di kursi roda karena kakinya lumpuh. Sumsum tulang belakangnya rusak dan menyebabkan kaki kirinya lumpuh. Ia menjadi pemurung dan memilih menyendiri di kediamannya.
“Ray, Samantha datang,” ibu Ray mengetuk pintu kamar putra semata wayangnya itu.
“Aku tidak mau bertemu siapapun,” seru Ray dari dalam kamar.
“Ray, kumohon biarkan aku masuk,” Samantha mencoba membujuk kekasihnya. Lama tidak ada jawaban dari dalam.
“Biarkan saja dulu, Nak Samantha. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir,” Ibunda Ray mengajakSamantha turun. Dengan lemah Samantha menurut. Saat mereka hendak pergi, Ray membuka pintu kamarnya.
“Samantha, aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Ray.
Samantha tersenyum senang. Ia kemudian mengikuti Ray yang memutar kursi rodanya menuju koridor ruangan.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Samantha penasaran. Ia berlutut di hadapan Ray karna ingin melihat wajah Ray lebih jelas.
“Kau lihat kondisiku ini? aku sudah tidak pantas lagi untukmu,” kata Ray.
“Aku menyukaimu bukan karna fisikmu, tapi karna hatimu,”
“Tapi dengan kondisimu yang seperti ini bagaimana aku bisa melindungimu? Kau tidak tahu bagaimana perasaanku,”
“Kamu juga tidak tahu perasaanku. Seandainya aku yang lumpuh, apa kamu juga akan meninggalkanku?” tanya Samantha.
“Kenapa bicara begitu? Aku tentu saja akan selalu mendampingimu!”
“Itulah yang kurasakan,” ujar Samantha.
Ray tercengang. Samantha menyadarkan Ray bahwa mereka berdua tidak ingin berpisah. Apapun yang terjadi tidak dapat membuat mereka berpikir untuk mundur.
“Kamu bersungguh – sungguh?” tanya Ray ragu.
“Ya,” Samantha mengangguk mantap.
“Kalau begitu buktikan. Kita akan menikah dua bulan lagi. Aku memberimu waktu selama 2 bulan untuk berpikir apakah kau benar – benar ingin bersamaku atau tidak,” ujar Ray. Samantha sama sekali tidak bergeming.
Sementara itu di lain sisi, Dany sudah menetap di Kuala Lumpur untuk melanjutkan studinya di bidang Manajemen. Walaupun sudah jauh, kerap kali ia merasa bersalah karena telah pergi begitu saja. Sungguh seperti pecundang yang tidak berani menghadapi kenyataan. Keresahannya membuatnya berpikir untuk menghubungi temannya. Ia lalu menelpon salah satu anggota genk Scorpion.
“Moldy, ini aku,” ujar Dany ketika Moldy mengangkat telepon darinya.
“Hei pengecut! Ada apa lagi sekarang?” suara Moldy terdengar kesal.
“Moldy, kamu tahu kan kejadian yang menimpa Ray sama sekali bukan salahku,”
“Ya, aku tentu saja tahu. Justru karna itu kamu pengecut. Kamu tidak berani menjelaskan kalau kamu tidak bersalah. Malah kamu kabur ke luar negri,”
“Samantha membenciku. Aku tidak mungkin menunjukkan wajahku di hadapannya,” terang Dany.
“Dia sudah tidak apa – apa. Ray sudah menjelaskan padanya,”
“Ray sudah sembuh?” Dany terkejut. Ia bersyukur Ray baik – baik saja.
“Ya. Mereka akan menikah 2 bulan lagi,” ujar Moldy dengan nada datar.
“A...apa?” Dany tidak percaya.
 “Iya. Sudahlah, walaupun kamu muncul pun tidak ada gunanya. Sudah dulu ya, aku lagi sibuk,” Moldy menutup pembicaraan.
Dany terkulai lemas. Pupus sudah harapannya. Pada akhirnya ia tetap saja menjadi si penakut. Takut pada kenyataan. Ia memutuskan untuk melupakan semua yang terjadi dalam hidupnya selama ini. ia ingin membuat hidup baru di Kuala Lumpur sebagai orang yang baru.
*
            5 tahun berlalu dengan cepat. Kini  Dany berubah menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ia tidak lagi menjadi seorang pengecut atau brandalan. Ia membuktikan bahwa ia benar – benar berubah. Lima perusahaan asing di Malaysia dipercayakan kepadanya sebagai Direktur Perusahaan.
            Malam ini ia akan menjumpai sebuah perjamuan dengan para investor di sebuah hotel mewah. Dany tidak ingin terlambat datang. Setelah menyiapkan penampilan sebaik mungkin, ia segera meluncur dengan mobil Accord bewarna silver produksi Honda yang cabang perusahaannya dipercayakan padanya.
15 menit kemudian ia memasuki ballroom yang megah. Nuansa malam itu formal. Sekumpulan orang berdasi menghadiri acara. Para sosialita juga berkumpul disana dengan gaun – gaun elitnya. Sebagian orang datang bersama pasangan, namun Dany terlihat percaya diri walau datang tanpa pendamping.
“Bukk!” seorang anak menumbruk kaki Dany.
“I’m so sory. Where’s your mother?” Dany berlutut untuk melihat wajah mungil itu. Anak laki – laki itu terlihat seperti orang melayu dan seperti familier dengannya.
“I’,m sory, my son disturbs you, Sir,” seorang wanita bergaun hitam elegan menghampiri Dany. Dany tampak terkejut, begitu pula dengan wanita itu.
“Dany?” tanya wanita itu memastikan.
“Samantha? Ini... putramu?” Dany balas bertanya.
“Ya, ini putraku. Maaf putraku mengganggumu,” Samantha menghampiri anak kecil itu dan menggandeng lengan mungilnya.
“Sedang apa disini?” tanya Dany bingung.
“Aku investor baru disini. Kau sendiri?” Samantha kikuk.
“Aku... aku direktur perusahaan,” jawab Dany gugup.
“Sungguh tidak menyangka dapat bertemu denganmu disini. Mana istrimu?”
“Aku belum menikah,” Dany tersenyum lirih. “Mana Ray? Kudengar kalian menikah lima tahun yang lalu,”
“Suamiku sudah meninggal. Sebelum meninggal ia menanyakanmu,” Samantha tampak sedih saat mengatakan hal itu.
“Maafkan aku. Aku sungguh tidak tahu,” kata Dany.
“Tidak apa – apa. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku sudah menyalahkanmu untuk sesuatu yang tidak kau lakukan,”
“Ah sudahlah, lebih baik tidak usah diingat lagi,” kata Dany.
“Maaf Dany, aku harus pergi. Aku disini bersama Renata. Sepertinya ia mencariku,” kata Samantha.
“Oh, tunggu sebentar,” tanpa sengaja Dany memegang lengan Samantha. “Maaf, kamu tinggal dimana?”
“Aku menginap di hotel ini. kamar nomor 26, bersama Renata tentunya. Bye Dany,” Samantha berlalu bersama putra kecilnya.
Dany memandang kepergian Samantha. Ternyata sejauh apapun ia berlari, tetap saja suatu saat ia bertemu lagi dengan gadis yang ia cintai itu. Dunia memang begitu sempit.
*
            Keesokan harinya, Dany memutuskan untuk berkunjung ke kediaman Samantha. Ia merapikan jasnya dan bergegas pergi ke hotel yang semalam ia datangi. Setelah sampai di hotel, ia segera menaiki lift dan mencari kamar nomor 26.
            “Dany?” seorang wanita membukakan pintu ketika Dany menekan tombol di pintu kamarnya.
            “Renata, lama tidak berjumpa. Apa Samantha ada?” tanya Dany tidak sabar.
            “Dia sedang berjalan – jalan bersama putranya. Mungkin belum jauh, cari saja di taman dekat sini,” kata Renata.
            “Oh, terimakasih Ren,” Dany bergegas pergi. Ia mencari Samantha di taman. Ternyata susah juga karena banyak orang disana pagi itu. Kemudian pandangannya tertuju pada seorang wanita yang tengah bercanda dengan anak kecil di bangku taman. Disitu rupanya Samantha. Dany berlari menghampirinya.
            “Samantha,” sapanya terengah – engah.
            “Oh, sedang apa disini?” Samantha terkejut.
            “Aku sedang jalan – jalan,” dusta Dany.
            “Jalan – jalan memakai jas?” Samantha memperhatikan pakaian Dany.
            “Aku ingin bertemu si kecil,” ujar Dany.
            “Oh. Ayo Ramdan, beri salam pada paman Dany,” Samantha mengulurkan tangan putranya.
            “Halo paman,” anak itu lalu mencium tangan Dany.
            “Halo juga,” Dany mengusap kepala Ramdan dengan lembut.
            “Kenapa menamainya seperti namaku?”
            “Ray yang memintanya. Duduklah di samping Ramdan,” ujar Samantha sambil menepuk – nepuk kursi taman tempatnya duduk.
            Dany segera duduk di sisi Ramdan kecil. Ia langsung sayang pada anak itu. Diangkatnya Ramdan kecil lalu dipangkunya sambil sesekali ia menciumi pipinya seperti pada anaknya sendiri. Entah mengapa ia merasa begitu rindu pada anak itu.
            “Dan, sebenarnya aku ke Kuala Lumpur karena pesan terakhir Ray,” kata Samantha.
            “Pesan apa?” tanya Dany penasaran.
            “Dia bilang, ‘Dany punya janji yang harus ditepati. Pergilah kesana untuk menagih janjinya padaku’,” Samantha menirukan kata – kata suaminya.
            Dany terdiam. Ia masih ingat janji itu. Ray pernah memintanya untuk menjaga Samantha jika sesuatu menimpa dirinya.
            “Aku tidak tahu janji apa itu. Ray tidak mau mengatakannya. Aku harus menanyakannya langsung padamu,” lanjut Samantha.
            “Soal itu, aku tidak tahu ia masih mengingatnya,” kata Dany lirih. Matanya memandang lurus ke depan, seolah tidak ingin menatap mata Samantha.
            “Bolehkah aku tahu janji apa itu?”
            “Ia memintaku untuk menjagamu,” jawab Dany pelan.
            Samantha tidak berkata apa – apa. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan tubuhnya terguncang, rupanya ia menangis.
            “Tha, maafkan aku,” Dany berusaha menenangkan Samantha walau tidak menemukan kata – kata yang tepat.
            “Mama,” Ramdan ikut merajuk melihat ibunya menangis.
            “Jangan menangis, Ramdan ketakutan,” ujar Dany lagi.
            “Aku ingin kembali ke hotel. Tolong antarkan aku,” kata Samantha.
Dany mengangguk setuju. Ia berjalan beriringan dengan Samantha, sementara Ramdan kecil digendongnya. Selama perjalanan mereka tidak saling bicara. Tapi Dany kelihatan sibuk dengan Ramdan kecil. Berkali – kali ia tertawa ketika menggoda anak itu dengan cubitan – cubitan kecil. Samantha sesekali memerhatikan keduanya yang cepat akrab. Ia tersenyum lirih namun tidak mengatakan apa – apa hingga tiba di depan kamarnya.
“Sudah sampai. Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa. Daagh Ramdan,” Dany melambaikan tangannya pada putra Samantha.
“Dany,” panggil Samantha ketika pria itu menjauh. Dany menoleh. “Aku ingin menagih janjimu pada suamiku,”
Dany tersenyum. “Sebaiknya kita mulai semuanya dari awal. Sampai jumpa lagi, Samantha!” Dany melambaikan tangan. Dalam hati ia berjanji, esok ia akan datang lagi dan lagi. Ia akan selalu hadir dalam hidup Samantha. Bukan sekedar menepati janji pada sahabatnya, tapi lebih karena seribu cinta yang tak pernah padam untuk Samantha.
SELESAI

6 komentar:

Awod Argubi on 18 Februari 2012 pukul 17.49 mengatakan...

aahh baguss :D

Ken Mercedez on 18 Februari 2012 pukul 17.56 mengatakan...

makasih banyak ya

unknown_user on 11 Mei 2012 pukul 12.21 mengatakan...

Kereenn !! unpredictable ><

Ken Mercedez on 16 Mei 2012 pukul 16.25 mengatakan...

thanks ya..... :D

41p0ms H0us3 on 30 Mei 2012 pukul 18.29 mengatakan...

bagus banget!!!! ><
bener2 gak nyangka y akhirnya kaya gitu owo
i like it!! ><

Ken Mercedez on 17 Juli 2012 pukul 18.39 mengatakan...

makasih ya ^^

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting