Kamis, 15 Maret 2012

Tugas SSBI-ku tentang Nasionalisme

Diposting oleh Ken Mercedez di 16.54.00
Namanya juga anak sospol *ihiiiirrrr* kemarin Ken disuruh bikin tugas tentang Nasionalisme. Gak boleh copas, minimal 5 lembar. Ken bingung nih, mau nulis darimana yaaak... 3 lembar aja buntu, apalagi 5 lembar. Aturan maennya kan font TMR 12, spasi 1,5 dengan Margin 4-4-3-3 (buat yang gak tau 4-4-3-3 tanya guru komputer aja deh :p). Uda deh Ken tulis dengan sekuat tenaga sampe ngelantur kemana2. Tapi kok gak penuh - penuh yak 5 lembar ene? Mau ditambahin apa lagi, otak dah mengepul. Eh, ternyata Ken lupa ngatur margin. Awalnya 2-2-2-2 gitu deh, pas diubah jadi 4-4-3-3 wuihiiii... Jadinya 6 lembar, sodara2! Jarang banget, soalnya kalo dosen bilang minimal 5 lembar, ato 3 lembar, ya tugas Ken lembarnya di batas minimal itu dah. Hahaha. Keesokan harinya, di kampus temen Ken bilang, "eh, aku ngikutin kamu. Biar cepet penuh tiap paragraf kuberi before and after spacing. Hahaha!" waduh, ajaran sesatku diikuti juga rupanya. Tapi di tugas Ken kali ini gak pake spasi model begituan lho *tumben banget*. Buat yang penasaran, Ken bagi deh. Menurut kalian gimana, Guys.

INTEGRASI BANGSA DAN SEMANGAT NASIONALISME
Pada dasarnya, nasion adalah suatu ikatan kasat mata yang tidak dapat dilihat, namun dapat dirasakan. Ikatan itu terjalin antara satu individu dengan individu lainnya dalam sebuah komunitas besar yang merasa senasib sepenanggungan. Berangkat dari rasa senasib sepenanggungan tersebutlah, terjalin suatu kerjasama untuk mempertahankan paham yang sama.
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki ikatan nasion bahkan sebelum negara itu sendiri terbentuk. Rakyat Indonesia itu sendiri sebenarnya tidak terlalu menyadarinya pada masa penjajahan Belanda. Namun dengan semangat dan tekad untuk merdeka, barulah timbul kesadaran bahwa rakyat Indonesia memiliki ikatan nasion yang sama. Nasionalisme inilah yang kemudian menjadi kekuatan tangguh yang digunakan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan bebas dari penjajahan bangsa lain yang tentunya memiliki nasionalisme yang berbeda dengan rakyat Indonesia.
Secara umum integrasi nasional mencerminkan proses persatuan orang-orang dari berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa (nation) terutama karena pengalaman sejarah dan politik yang relatif sarna (Drake, 1989:16).
Apabila dikaitkan dengan pendapat Drake tentang integrasi nasional, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat dari wilayah yang berbeda dapat bersatu tanpa memandang perbedaan etnis, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi. Pada masa penjajahan, para pedagang asing, seperti komunitas Cina dan Gujarat berdatangan untuk berdagang. Mereka memiliki kebudayaan tersendiri dan ikatan solidaritas dalam etnis yang sama. Lambat laun dengan adanya asimilasi, komunitas Cina dan Gujarat tersebut menetap di Indonesia dan mempelajari budaya Indonesia. Karena adanya interaksi berkelanjutan, maka mereka dapat membaur dengan masyarakat pribumi namun belum melebur menjadi satu dengan sempurna.

Setelah Indonesia merdeka, masyarakat non pribumi belum diakui sepenuhnya oleh negara sebagai warga yang satu. Namun hal ini tidak menjadikan nasionalisme dalam jiwa mereka memudar. Mereka merasa telah menjadi bagian dari Indonesia karena sudah cukup lama tinggal di bumi Indonesia. seandainya mereka dipulangkan ke wilayah asalnya pun tentu mereka akan menolak karena keluarga yang mereka bangun berada di Indonesia, sedangkan di wilayah asalnya ikatan keluarga tersebut sudah pudar atau tidak ditemukan lagi jejaknya.
Perkembangan selanjutnya, sebagai contoh di bidang olahraga. Kita tentu telah mengetahui pemain bulu tangkis kebanggaan Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa bernama Susi Susanti. Dengan kemampuan bermain bulu tangkis yang hebat, tentu banyak negara yang menawarkan untuk bekerja disana dengan pendapatan yang lebih besar. Namun semangat nasionalisme dapat menepis tawaran – tawaran tersebut. Karena merasa sebagai warga Indonesia, Susi Susanti memilih untuk tetap bekerja dan mengabdikan diri pada Indonesia melalui kemampuan di bidangnya. Hal ini menunjukkan besar nasionalisme yang dimiliki oleh seseorang, terlebih dari kalangan etnis yang berasal dari non pribumi.
Semangat nasionalisme sebenarnya tidak dapat ditukar dengan materi ataupun hal – hal lainnya. Semangat ini telah tertanam dalam diri seseorang karena rasa emosional yang kuat untuk mempertahankan sesuatu yang telah diyakini. Rasa nasionalisme tidak harus ditunjukkan dengan perjuangan melawan penjajah, namun dapat ditunjukkan melalui pengabdian yang dapat diberikan dari apa yang mampu kita lakukan. Hal ini sangat penting karena dapat menjamin persatuan suatu negara. Dapat dikatakan berdirinya suatu negara dan kokohnya negara ditentukan oleh besarnya nasionalisme dari rakyatnya.
Kita dapat menengok pada negara lain yang berada di sekitar kita, misalnya Australia. Pada awalnya, Australia merupakan tempat pembuangan para kriminal berat. Karena memiliki kesamaan nasib, kemudian orang – orang yang berada disana membentuk sebuah ikatan kebersamaan.
Warga asing yang berdatangan ke wilayah tersebut juga turut menjadi sebuah ikatan kebersamaan yang disebut nasionalisme. Kuatnya rasa nasionalisme inilah yang membuat negara Australia terwujud dan menjadi sebuah negara yang besar. Masyarakat Australia mencintai negaranya dan rela mati untuk negaranya, sehingga negara ini menjadi negara yang kokoh. Hal semacam ini juga pernah terjadi di Indonesia pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Rakyat begitu mencintai Indonesia sehingga mampu mengusir segala ancaman dan gangguan yang timbul dari luar negeri. Rasa cinta ini membuat Indonesia yang baru merdeka tersebut semakin kuat, sehingga serangan dari luar tidak dapat menembus pertahanan Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, semangat nasionalisme di Indonesia saat ini mulai berkurang. Hal ini terjadi karena berbagai faktor baik dari luar maupun dalam negeri. Dari dalam negeri, semangat nasionalisme luntur karena rakyat mulai tidak percaya pada pemerintah, kebutuhan material yang belum tercukupi, dan keamanan yang tidak menjamin. Sedangkan dari luar yaitu pengaruh dan perkenalan terhadap budaya asing.
Faktor pertama yang menyebabkan semangat nasionalisme berkurang adalah ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Terjadi banyak sekali penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Prinsip ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ kini tidak dapat diyakini kebenarannya. Pilihan rakyat terhadap pemimpin yang kemudian menduduki pemerintahan tidak memberikan kontribusi yang memuaskan rakyat. Janji – janji yang dibuat untuk mensejahterahkan kehidupan rakyat semakin kabur. Rakyat yang tidak percaya lagi terhadap pemerintah ini kemudian mengkerucut dari semangat nasionalisme menjadi semangat kedaerahan. Hal ini terjadi karena di daerah, tujuan dan nasib yang dialami adalah sama. Oleh karena itu, semangat kedaerahan ini mengikis semangat nasionalisme. Masyarakat di suatu daerah tersebut menginginkan untuk melepaskan diri dari negara Indonesia dan mendirikan suatu nasionalisme sendiri.
 Sebagai contoh, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menginginkan masyarakat di daerah Aceh untuk membentuk negara sendiri terlepas dari negara Indonesia. Dengan demikian, semangat nasionalisme telah terabaikan oleh komunitas tersebut.
Faktor kedua adalah kebutuhan material yang belum tercukupi. Perkembangan zaman mengakibatkan kebutuhan tidak sesederhana dahulu. Apabila dulu masyarakat hanya membutuhkan sandang, pangan, dan papan, saat ini menjadi lebih dari ketiga hal tersebut. masyarakat juga membutuhkan pendidikan dan mata pencaharian. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Masyarakat di daerah tersebut kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Ketika mencari mata pencaharian, mereka memasuki kawasan Malaysia. Disana mereka mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk anak – anak mereka, pendidikan diperoleh dengan bersekolah di sekolah – sekolah milik Malaysia. Sehingga nilai – nilai nasionalisme yang ditanamkan oleh sekolah tersebut adalah nasionalisme Malaysia. Anak – anak yang belum paham tentang sejarah Indnonesia lebih paham pada sejarah Malaysia, sehingga paham yang dianut adalah paham yang ditanamkan oleh Malaysia. Ketika suatu saat mereka ditanya untuk memilih antara Indonesia dan Malaysia, kemungkinan besar mereka memilih Malaysia. Pilihan ini didasari karena kedekatan emosional mereka pada Malaysia daripada Indonesia. Kita tidak dapat menyalahkan mereka karena pilihan yang mereka punya untuk bertahan hidup seperti itu. Kita seharusnya menginstrospeksi diri dan memperbaiki sistem yang ada di daerah perbatasan.
Contoh lainnya, seseorang yang memiliki kemampuan di bidang teknologi kurang dihargai di Indonesia. Indonesia belum mampu memberikan pemenuhan kebutuhan untuk orang berbakat tersebut. misalnya pada orang yang ahli di bidang animasi komputer. Karena Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan orang tersebut, maka ia bekerja untuk negara lain yang mampu mengembangkan bakatnya. Sehingga karena merasa kemampuannya diakui, orang tersebut memilih untuk menetap dan menjadi warga dari negara yang menaunginya.
Faktor ketiga yang dapat mengikis semangat nasionalisme adalah keamanan yang tidak menjamin. Keamanan sangat dibutuhkan oleh individu manapun. Tanpa keamanan ini, kita tidak dapat menjalankan rutinitas dengan baik. Apabila keamanan di Indonesia tidak terjamin, masyarakat yang memiliki kesempatan  untuk memilih akan hijrah ke negara lain yang dapat memberikan perlindungan atau jaminan keamanan. Sebagai contoh, masyarakat menengah ke atas cenderung memilih untuk tinggal di negara lain yang memberikan jaminan keamanan yang lebih baik daripada Indonesia. Awalnya hanya tinggal untuk sementara, namun karena merasa lebih aman dan nyaman, mereka memutuskan untuk berganti kewarganegaraan. Tentunya hal seperti ini dapat mengikis rasa nasionalisme untuk mempertahankan Indonesia.
Faktor keempat adalah pengaruh dan perkenalan dari budaya asing. Dalam era teknologi canggih seperti saat ini, masyarakat disuguhkan pada budaya asing yang dapat diketahui melalui media elektronik seperti televisi dan jaringan internet. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbuka, maka budaya asing dapat diterima begitu saja. Hal ini terutama terjadi pada generasi muda, yaitu para remaja. Saat ini budaya yang sedang marak adalah budaya Korea. Banyak produksi – produksi film dan musik Korea yang masuk ke Indonesia. Para remaja dapat mengikuti trend budaya masyarakat Korea tersebut. Mereka tertarik untuk mempelajari bahasa Korea dan memakai mode busana Korea daripada mengenakan batik. Dalam film yang disuguhkan oleh negara tersebut diantaranya memuat produk – produk mereka, seperti misalnya ponsel. Para remaja cenderung ingin memiliki ponsel produksi mereka karena ingin mengikuti tokoh idolanya. Begitu pula dengan musiknya. Walaupun masih belum fasih, remaja sering menyanyikan lagu – lagu berbahasa Korea daripada menyanyikan lagu – lagu nasional yang dianggap ketinggalan zaman. Hal inilah yang mengikis semangat nasionalisme kita. Dari generasi muda yang merupakan tunas – tunas bangsa sudah tidak mengenali identitasnya, tetapi lebih mengenal identitas orang lain. Lalu rasa cinta tanah air pun sudah terkikis, bahkan mungkin tidak ada.
Tentunya mereka membandingkan kondisi yang dimuat oleh film – film tersebut. di Korea yang merupakan negara maju, fasilitas publiknya sudah bagus dan memenuhi kepuasan masyarakatnya. Apabila dibandingkan dengan Indonesia, fasilitas umum yang diberikan oleh negara kepada masyarakat masih tidak memuaskan. Kemudian timbul rasa kecewa pada tunas – tunas bangsa yang masih belia ini. Apabila mereka diberi pertanyaan untuk memilih, menjadi warga Korea atau Indonesia, tentu dengan polosnya mereka memilih Korea. Pola pikir kita tengah dijajah oleh budaya asing. Generasi muda saat ini kurang mengenal kebudayaan Indonesia, tetapi lebih mencintai budaya luar negeri. Nasionalisme dari luar mulai tertanam di hati tunas – tunas bangsa.
Di sisi lain, orang Indonesia yang tinggal di luar negeri masih memiliki semangat nasionalisme. Mereka menanamkan rasa nasionalisme ini kepada masyarakat luar. Seperti misalnya, pengenalan terhadap tarian Bali dan musik angklung. Masyarakat luar antusias untuk mempelajari budaya Indonesia, sedangkan masyarakat Indonesia antusias mempelajari budaya asing. Apabila masyarakat Indonesia sendiri melupakan identitasnya sendiri, mungkin suatu saat identitas tersebut diambil oleh masyarakat luar negeri dan tidak ada yang tersisa dari Indonesia untuk generasi selanjutnya.
Lalu bagaimana bangsa Indonesia menyikapi faktor – faktor pengikis semangat nasionalisme ini?
Sebenarnya kita memiliki sebuah senjata ampuh yaitu media elektronik. Kita dapat mengenalkan budaya kita kepada masyarakat dengan menggunakan media elektronik ini. Seperti misalnya tarian – tarian nasional yang dapat ditayangkan di televisi. Cerita sejarah yang dapat ditayangkan melalui film, dan lain – lain. Kita dapat melakukan kampanye untuk mengingatkan masyarakat terhadap pentingnya semangat nasionalisme, mengenalkan budaya asli Indonesia, dan memberitahukan bahwa kita adalah bangsa yang memiliki latar belakang dan nasib yang sama. Dengan demikian, budaya asing yang masuk dapat disaring oleh kesadaran masyarakat pada rasa nasionalisme.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting