Terik sinar matahari membakar kulitku. Peluhku bercucuran
dan tubuhku lelah. Tuanku yang gagah dan tampan tengah menunggangi unta yang ku
tuntun menggunakan sebuah tali yang begitu kuat.
“Zaidah, apa kau lelah?” tanya Tuan Aamir padaku.
“Tidak Tuan. Saya masih mampu melanjutkan
perjalanan,” ucapku. Aku menengadah memandang wajahnya. Begitu sadar segera ku
tundukkan kepalaku. Wajahku panas, bukan karena sinar matahari, tetapi malu dan
merasa bersalah. Sebagai seorang budak aku tidak seharusnya memandang wajah Tuanku.
Ku betulkan cadarku, takut wajahku yang memerah tampak di hadapan Tuan Aamir.
“Aku lelah. Bisakah kita menginap semalam di
penginapan dekat sini?” tanya Tuan Aamir.
“Ya Tuan, mungkin sekitar 1 kilometer lagi,”
jawabku seraya menunduk. Aku segera melanjutkan langkahku sambil menarik unta.
“Kalau kau lelah, naiklah ke atas unta ini. Biar
aku yang menuntunnya,” Tuan Aamir menawarkan diri.
“Sungguh Tuan, jangan berkata seperti itu. Hamba
begitu tidak pantas melakukannya,” ucapku masih dengan menundukkan badan. Ku teruskan
lagi langkahku sambil berharap Tuan Aamir tidak berkata apapun lagi. Semakin banyak
beliau mengajakku bicara, semakin gugup aku menanggapinya.
Aku seorang budak belian yang mengabdi untuk
keluarga Rajab sejak berumur 6 tahun. Ayahanda Tuan Aamir bernama Saif. Beliau
membeliku dari seorang teman baiknya. Semula aku tidak punya nama, namun Tuan
Aamir yang waktu itu berumur 9 tahun memberiku nama Zaidah. Lalu Tuan Saif
Rajab menjadikanku pelayan pribadi Tuan Aamir hingga saat ini ketika aku
berusia 21 tahun. Aku sangat kagum pada Tuan Aamir yang begitu cerdas, tampan,
dan berakhlak mulia. Beliau selalu memperlakukanku dengan baik, berbeda dengan
kebanyakan majikan yang berlaku sewenang – wenang pada budak mereka.
Saat ini aku sedang menjalankan tugas menemani
Tuan Aamir pergi menemui keluarga calon istrinya. Tuan Saif menjodohkan putra
pertamanya ini dengan putri seorang saudagar kaya. Namun aku merasa Tuan Aamir
tidak begitu senang, hatinya masih tidak rela menerima perjodohan tersebut. Mungkin
dikarenakan ia masih betah melajang.
“Disinikah tempatnya?” tanya Tuan Aamir saat kami
sampai di sebuah penginapan kecil ketika senja.
“Ya Tuan,” jawabku.
Tuan Aamir turun dari unta dan segera masuk ke
dalam penginapan. Aku mengikutinya setelah memberikan unta kepada penjaga
penginapan.
“Kamarmu di sebelah kamarku,” kata Tuan Aamir.
“Terimakasih Tuan,” jawabku singkat. Tak tahu
harus berkata apa lagi.
“Sebaiknya kita beristirahat terlebih dahulu.
Besok pagi kita akan melanjutkan perjalanan,” ujar Tuan Aamir sambil tersenyum
lirih. Beliau menatapku sejenak dengan tatapan sedih, tapi aku segera menunduk
agar ia berhenti memandangku.
Setelah undur diri, aku segera masuk ke dalam
kamar yang ditunjukkan Tuan Aamir. Aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan
tempat tidur. Di depanku sebuah obor dipasangkan di dinding. Hanya cahaya obor
itulah yang menerangi kamar kecil ini. aku membuka kerudung dan cadarku. Ku cari
sebuah sisir mungil yang kutaruh di saku bajuku. Aku mulai menyisir rambutku
yang hitam panjang. Hatiku kalut. Sebentar lagi Tuan Aamir akan menikah,
kemudian memiliki anak. Aku akan menjadi pengasuh anak – anaknya. Entah kenapa
aku sangat sedih, air mataku mengalir. Mengapa aku dilahirkan sebagai seorang
budak? Seorang budak begitu hina untuk mencintai seseorang, apalagi orang itu
adalah tuannya.
Ku berjalan mendekati jendela yang terbuka. Bulan purnama
bersinar begitu terang. Memandangnya membuatku tersadar, mencintai Tuan Aamir
sama halnya dengan keinginan merengkuh rembulan. Aku ingin menjadi pendamping
hidup Tuan Aamir. Selama ini aku selalu melayani kebutuhannya. Setelah beliau
menikah akan ada seorang istri yang mendampinginya dan aku harus menyingkir. Memikirkan
ini semua membuat hatiku terluka. Kepalaku sedikit pusing. Aku memutuskan untuk
tidur agar hatiku tentram setidaknya untuk saat ini.
*
Pagi hari setelah memakan sepotong roti aku
bersiap – siap mendampingi Tuan Aamir melanjutkan perjalanan. Tuan Aamir
sendiri sudah berdiri memunggungiku. Beliau bersiap – siap naik ke atas unta
sementara aku segera memegang tali unta yang diserahkan penjaga penginapan
padaku.
“Maaf. Apakah ada pasar di dekat sini?” tanya Tuan
Aamir pada seorang lelaki tua penjaga penginapan.
“Ya. Anda lurus ke depan dan 2 kilometer lagi
bertemu pasar yang cukup ramai,” ujar pria tua itu.
“Lalu bila saya hendak ke Khasmir harus ke arah
mana?” tanya Tuan Aamir.
Aku terkejut, hendak kemana Tuanku ini? Bukankah
tempat tujuannya bukan ke Khasmir?
“Dari pasar silahkan menempuh jalur kanan. Anda
akan menemukan desa. Khasmir sangat jauh, sekitar 5 hari perjalanan. Anda harus
menyebrang laut terlebih dahulu,” ujar pria tua tadi begitu yakin.
“Baiklah, terimakasih. Assalamualaikum,” kata Tuan
Aamir sembari tersenyum dan sedikit membungkukkan badan.
“Waalaikumsalam warohmatullahiwabarokatuh,” jawab
penjaga penginapan.
*
Kami melewati sebuah pasar, tepat seperti yang
dikatakan pria tua penjaga penginapan. Tuan Aamir menunjuk seorang pria
berjanggut tebal yang tengah berteriak – teriak menawarkan kudanya untuk orang
yang mau membelinya.
“Assalamualaikum,” sapa Tuan Aamir pada pria
berjanggut tebal.
“Waalaikumsalam,” jawab pria itu.
“Apakah kudamu dijual?” tanya Tuan Aamir.
“Ya Tuan,”
“Bolehkah aku menukarnya dengan untaku?” tanya
Tuan Aamir lagi.
“Tentu saja,” pria itu gembira. Lalu Tuan Aamir
turun dari unta dan menyerahkan tali kekangnya pada pria berjanggut tebal.
“Tuan, untuk apa membeli kuda?” tanyaku bingung.
“Kita membutuhkannya supaya cepat sampai di
Khasmir,” jawab Tuan Aamir setelah mendapatkan kuda hitam yang terlihat masih
muda dan kuat itu.
“Untuk apa kita ke Khasmir? Dari sini kita harus
menuju timur Baghdad,”
“Tidak. Aku tidak ingin kesana. Naiklah. Ini perintah,”
tuan Aamir memberikan tangannya agar aku dapat naik dengan mudah ke punggung kuda.
Walaupun ragu aku segera melaksanakan
perintahnya.
Tanpa mengatakan apapun,beliau naik ke atas
punggung kuda tepat duduk di belakangku. Jantungku berdebar kencang. Ia kemudian
memacu kudanya dengan kencang menjauhi keramaian orang – orang di pasar.
Hari semakin siang. Kami semakin jauh dari Baghdad.
Hingga tiba di sebuah danau, Tuan Aamir menghentikan kudanya. Beliau membantuku
turun dari kuda.
Tuanku yang bertubuh tegap mencuci muka dan
meminum air danau, sementara aku terus memandanginya dengan perasaan campur
aduk.
“Ada apa, Zaidah?” tanya Tuan Aamir.
“Tuan, kita hendak kemana?” tanyaku.
“Kita akan pergi jauh dari Baghdad. Lupakanlah semua
yang telah terjadi di Baghdad,” kata tuan Aamir. “Jangan lagi memanggilku dengan
sebutan ‘Tuan’,”
“Tapi hamba tidak mengerti,” aku semakin bingung.
“Aku ingin memulai kehidupan yang baru bersama
gadis yang kucintai. Tanpa peduli status sosial dan hidup dengan damai,” tuan
Aamir menyentuh cadarku dengan lembut. Matanya memancarkan kasih sayang.
Aku sungguh tak percaya. Airmataku mengalir namun
aku tak sanggup mengatakan apapun. Kupandangi wajah Tuan Aamir yang begitu
teduh. Aku tak peduli, aku akan terus memandangnya seperti ini.
“Aku mencintaimu, Zaidah. Kau telah begitu lama
mendampingiku dan aku tak menginginkan apapun lagi,”
Aku menghambur memeluk Tuan Aamir. Pria yang
sangat kucintai.
“Aku rela pergi kemanapun selama bersamamu,”
akhirnya aku dapat mengatakannya setelah 15 tahun memendamnya.
Kurasakan Tuan Aamir juga menangis tetapi bukan
karena sedih, melainkan bahagia. Akhirnya ku dapat merengkuh rembulan. Kami
segera melanjutkan perjalanan menuju Khasmir, tempat dimana kehidupan yang baru
menanti kami berdua.
SELESAI