Sabtu, 05 Mei 2012

Kidung untuk Mbok Par I

Diposting oleh Ken Mercedez di 08.43.00
Di tengah malam, hujan turun begitu lebat. Suara air alam yang berjatuhan membuat malam tak lagi sepi. Di sebuah rumah, perjuangan menanti sebuah kelahiran tengah berlangsung. Seorang ibu tengah bertarung dengan maut demi melahirkan seorang putra.
“Ayo Nyah, kurang sedikit lagi,” seru seorang wanita paruh baya memegang erat tangan wanita yang sedang bertarung dengan maut itu.
Wanita itu berusaha sepenuh tenaga, keringat mengucur dengan deras di dahi, leher, bahkan tangannya pun basah oleh keringat hingga kemudian senyuman mengakhiri ketegangan malam itu.
“Nyah, selamat atas kelahiran putri pertama Nyonyah,” wanita paruh baya itu bersemangat, ia sangat gembira sembari mengelap peluh di tubuh majikannya. Bidan pun tengah membersihkan tubuh si bayi yang baru saja lahir.
“Putri? Hah... hah... hah...” tanya wanita cantik itu sambil terengah – engah. “Ku pikir laki – laki. Hah... hah... hah...”
“Tapi putri Nyonya akan tumbuh menjadi wanita secantik Nyonyah,” hibur si wanita paruh baya.
“Masa bodoh... hah.. hah...” kata majikannya acuh. “Setelah ini Mbok Par saja yang urus bayi itu, waktu saya sudah banyak terbuang karna bayi itu,”
Wanita yang disapa Mbok Par itu terdiam. Ia menyimpan kekecewaan pada majikannya sekaligus iba pada bayi perempuan yang baru saja lahir itu. Dalam hati ia bertekad tidak akan pernah membuat bayi itu sedih, ia sendiri yang akan selalu mencurahkan kASIh sayangnya sedalam lautan pada bayi malang itu.
*
“Namanya Kinanti. Sudah, cepat bawa pergi. Tangisannya bisa buat telinga saya pecah,” kata Miranda, sang Nyonya besar yang sangat cantik dan elegan.
“Tapi bayi itu, maksud saya Kinanti belum minum ASI Nyah,” ujar Mbok Par sambil menggendong bayi yang tengah menangis.
“Saya kan sudah beli susu formula, Mbok,” Miranda menahan geram sambil menaburkan bedak di pipinya yang lembut. Ia tengah bersiap – siap untuk menghadiri sebuah acara yang diperuntukkan bagi orang – orang kelas jetset. “Dengar ya, mulai sekarang saya tidak mau dengar keluhan apapun tentang Kinanti. Saya sangat sibuk, kamu kan sudah saya kASIh kepercayaan untuk mengurusnya,” lanjutnya.
Mbok Par terdiam. Ia undur diri sambil terus menina-bobokan Kinanti si bayi mungil yang tengah menangis. Ia terus berjalan melewati taman yang dipenuhi hiasan – hiasan bunga indah. Mbok Par pernah melihat di acara televisi kalau bayi baru lahir lebih baik menerima ASI daripada susu formula. Terbesit dalam hatinya untuk memberikan ASI kepada Kinanti. Ia sendiri baru saja melahirkan seorang bayi perempuan satu bulan yang lalu. Namun malang anak semata wayangnya itu meninggal karena terserang panas berkepanjangan. Di awal usia 40 tahunnya itu, sang adik menawarinya bekerja di sebuah keluarga kaya tempatnya sekarang berada. Mbok Par yang hidup sendirian di desa akhinya menerima tawaran tersebut untuk mengusir sepi dan kesedihan yang mewarnai hidupnya.
“Kalau Nyonyah tidak mau memberikan kasih sayang, bahkan ASI pada anak ini, maka aku saja yang menggantikannya. Mungkin Gusti Allah memberiku ganti atas kematian Sari. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan dari Gusti Kuasa,” batin Mbok Par.
Mulai hari itu Mbok Par memberikan ASI eksklusif pada Kinanti kecil secara sembunyi – sembunyi. Ia merawat Kinanti dengan penuh kasih sayang, bahkan ia tak pernah mengeluhkan apapun lagi majikannya yang super sibuk dengan dunia kerja.
Berbeda dengan Miranda, Antoni yang merupakan ayah kandung Kinanti ketika pulang dari luar negeri sebulan sekali selalu menanyakan kabar putri semata wayangnya itu. Ia belajar menggendong putrinya dan selalu mengirimkan mainan – mainan baru. Kamar Kinanti juga dihias dengan begitu cantik sesuai keinginan sang ayah.
“Apa Miranda pernah menggendong Kinanti?” tanya Antoni suatu hari pada Mbok Par.
“Belum pernah, Tuan,” jawab Mbok Par pelan.
“Sayang sekali,” pria bertubuh tegap berumur 30 tahunan itu murung. “Seharusnya ia sebagai ibu memperhatikan anaknya. Aku akan membujuknya lagi. Mbok Par tolong rawat bayi saya. Saya sangat bersyukur ada Mbok Par disini,”
“Tentu saja, Tuan. Saya akan selalu merawat Non Kinanti,” jawab Mbok Par senang. Setidaknya di keluarga ini masih ada yang menyayangi bayi mungil itu.
Mbok Par selalu mengingat kata – kata Antoni untuk merawat putrinya. Hingga Kinanti beranjak besar pun ia selalu mendekatkan Kinanti dengan figur sang ayah, sedangkan ia tidak berani mengusik banyak hal tentang Miranda.
*
Seorang gadis kecil  berusia 5 tahun turun dari mobil Honda Jazz hitam. Ia segera berlari menuju dapur rumahnya sambil menangis.
“Ibuuuuuuukkkkk,” serunya sambil memeluk tubuh besar Mbok Par.
“Ibu siapa Non?” Mbok Par terkejut.
“Ibu kenapa gak dateng ke sekolah? Cuma Kinan yang gak didampingi ibu waktu mewarnai tadi. Huhuhu,” Kinanti menangis dan memukul – mukul Mbok Par.
Mbok Par terkejut, rupanya Kinanti mengartikan dirinya sebagai ibunya. Baru kali ini Kinanti memanggilnya ibu, padahal sehari – hari selalu memanggilnya ‘Mbok Par’. Sesungguhnya hati kecil wanita paruh baya ini begitu bahagia, tapi apa jadinya nanti bila Kinanti selalu memanggilnya Ibu? Lalu bagaimana dengan perasaan majikan perempuannya?
“Non Kinan, Mbok Par kan sudah bilang, ibu Non Kinan itu Nyonyah Miranda. Mbok Par cuma pengasuh Non aja. Mbok sudah bilang sama Nyonyah kalau Non hari ini ada kegiatan lomba mewarnai. Tapi Nyonyah tadi terjebak macet,” terang Mbok Par. Sebenarnya ia memang sudah mengatakan pada Miranda tentang Lomba Mewarnai di TK. Padu tempat Kinanti bersekolah, tapi Miranda berkilah ia banyak urusan kantor yang belum terselesaikan.
“Mbok Par jahat! Aku gak peduli sama Mama, aku pengennya Mbok Par yang dateng ke sekolah,” Kinanti terus memukuli Mbok Par sambil menangis.
“Iya Non, nanti Mbok Par dateng deh kalo Non ada acara lagi. Sekarang Non jangan nangis terus,” hibur Mbok Par.
“Janji ya harus dateng lain kali?” tanya Kinanti sambil sesengukan.
“Janji Non,” kata Mbok Par.
“Ya udah aku percaya. Awas lho ya!” Kinanti mengusap matanya kemudian pergi ke kamarnya.
Di ruang tengah Kinanti berpapasan dengan Miranda yang sedang sibuk memasukkan dokumen – dokumen ke dalam tas kantor, karena terburu – buru salah satu dokumennya jatuh terselip di bawah meja tanpa sepengetahuannya. Kinanti segera mengambil dokumen itu.
“Mama, bukunya ketinggalan,” Kinanti berlari menghadang langkah ibunya.
“Oh iya. Makasih ya,” Miranda mengambil dokumen itu dari Kinanti. Kemudian ia menghentikan langkahnya sejenak lalu mengamati wajah putrinya. “Kalau sudah besar, kamu harus seperti Mama. Pakai baju kantor seperti ini, bawa buku – buku seperti ini ya,” ia kemudian mengusap kepala anaknya lalu pergi.
Kinanti hanya terdiam. Ia berpikir, apa enaknya jadi orang yang serba terburu – buru? Ia sama sekali tidak tertarik menjadi seperti ibunya.
*
11 tahun kemudian...
“Mbok Par, Mbok... Dasiku dimana?” Kinanti mencari Mbok Par di dapur. Ia melihat Mbok Par terbatuk – batuk sambil memukul – mukul dadanya. “Mbok masih belum sembuh ya?”
Mbok Par hanya menggeleng – gelengkan kepala sambil terus memukuli dadanya.
“Ayo kita ke dokter,” Kinanti memapah tubuh renta Mbok Par.
“Non sekolah aja. Katanya sekarang pemilihan Ketua OSIS,”
“Nggak, kita sekarang ke dokter,” Kinanti bersikeras.
“Aduh Non, Mbok gak apa-apa. Nanti bisa ke dokter dianterin supir. Non sekolah aja. Mbok dukung Non jadi ketua OSIS. Jangan kecewain Mbok ya,” kata Mbok Par.
“Nggak, kita ke dokter,” jawab Kinanti kukuh. “Pak Aji, ayo kita bawa Mbok Par ke dokter,” kata Kinanti. Pak Aji yang lagi asik menonton bola pun turun untuk membantu Kinanti membopong Mbok Par.
“Adudududuh, Mbok gak kenapa – kenapa Non. Ayolah Non, jangan buat Mbok kecewa. Non sekolah aja ya?” Mbok Par memohon.
“Kesehatan Mbok yang paling utama. Jadi kita ke dokter aja,”
“Non ke sekolah aja, kan ada saya Non,” kata Pak Aji menimpali.
“Ke sekolah aja ya Nak, jangan kecewakan Mbok Par,” bujuk Mbok Par lagi.
Mendengar Mbok Par memanggilnya ‘Nak’, hati Kinanti terenyuh. Ia selalu ingin mendengar Mbok Par memanggilnya demikian. Matanya berkaca – kaca.
“Ya sudah, aku sekolah Mbok. Ini, Mbok bawa hapeku. Nanti kalau aku telpon harus Mbok angkat ya,” Kinanti menyerahkan ponselnya pada Mbok Par.
“Aduh, ini hape apa sih Non? Mbok gak ngerti pake Beri-beri,” keluh Mbok Par.
“Oh iya lupa. Ini, bawa yang ini aja,” Kinanti menyerahkan ponselnya yang merupakan keluaran lama.
“Kalo ini Mbok lumayan ngerti. Ya sudah, Non berangkat aja ke sekolah bawa mobil yang putih itu,”
“Kinan naik bus aja. Ini kan masih pagi juga Mbok,” Kinanti lalu berpamitan dan mencium tangan Mbok Par serta Pak Aji.
Melihat gadis cantik berambut panjang itu pergi, Mbok Par dan Pak Aji hanya tersenyum.
“Dia itu beda ya sama anak orang kaya lainnya,” ujar Pak Aji.
“Iya. Semoga aku masih bisa mendampinginya sampai dia menikah,” timpal Mbok Par.
“Ngomong apa sih kamu, Par. Dia itu gak bisa hidup tanpa kamu, cuma kamu yang dia sayangi setulus hati,” kata Pak Aji.
Mendengar perkataan Pak Aji, Mbok Par semakin senang. Semoga ia bisa terus mendampingi Nona Mudanya itu hingga tua nanti.
(Bersambung)


4 komentar:

Unknown on 5 Mei 2012 pukul 13.09 mengatakan...

Mari berkunjung ke http://korean-fc.blogspot.com/
sekalian di follow tar di follback deh

Ken Mercedez on 6 Mei 2012 pukul 15.21 mengatakan...

oke. makasih udah berkunjung ke blogq ya Andi :D

unknown_user on 10 Mei 2012 pukul 17.53 mengatakan...

Kerenn ! hehe
kata-katanya itu terangkai bagus banget .. Like it ><

btw, kalo ngga keberatan, mampir blogku dong :D
http://callmemilii.blogspot.com/2012/04/bouilabasse.html
tentang cerpen2 gituu
Thanks :D

Ken Mercedez on 10 Mei 2012 pukul 23.23 mengatakan...

makasih ya unknown_user, hehe... sapa sih namanya, jadi penasaran :p
okeeee, aku mampir yah! salam kenal... :D

Posting Komentar

 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting