Seorang wanita sedang
berdiri di dekat bangku taman. Sesekali ia melihat jam tangannya lalu menyedot
gelas jusnya dengan gusar. Tak lama kemudian seseorang berlari – lari mendekat.
“Hei, kemana saja kau!”
hardik wanita itu. Beberapa orang menoleh padanya, tapi ia tak peduli.
“Ssstttt...” pria yang
berlari mendekat itu menempelkan jari telunjuk di tangannya sambil melirik
kanan kiri. “pelankan suaramu!”
“Aku disini sudah satu
setengah jam! Kemana saja kau!” wanita itu masih menghardik.
“Aigoo... cantik sekali.
Kau habis dari salon, Hana-a?” pria itu memperhatikan wanita yang sedang gusar
itu dari atas sampai bawah.
“Omo. Apa yang kau
lakukan?”
“Hana-a, kau sudah
banyak berubah,” pria itu tersenyum, kemudian tatapannya berganti menyelidik.
“Sifatmu yang tetap sama,”
“Itu karna Oppa!”
“Bukan karnaku, tapi
sifatmu tetap pemarah dari dulu kala,” cibir si Pria. “Apa oleh – olehmu dari
Bali?”
“Tidak ada,” jawab
wanita bernama Hana itu cepat.
“Hahaha. Kau tidak
sungguh – sungguh melupakan Oppa, bukan?”
“Oppa, mari makan kue
beras buatan bibi. Aku sudah lapar,” Hana memegangi perutnya seperti sedang
mulas.
“Kau merayuku? Hanya ini
perubahanmu?”
“Oh Soo Oppa, jangan
menggodaku. Aku pergi saja,” wanita berambut sebahu itu membalikkan badan lalu
berjalan menjauh.
“Ya ya ya! Mau kemana
kau?” Oh Soo membuntuti Hana. Keduanya berjalan cepat.
Sambil berjalan
menikmati keindahan Seoul di kala malam hari, Oh Soo sesekali melirik Hana yang
sepertinya cuek saja dari tadi hingga tidak mengajaknya mengobrol.
“Ada sesuatu yang ingin
kukatakan padamu,” kata Oh Soo kemudian.
“Apa?” Hana menoleh.
“Aku baru menyadari
sesuatu. Semoga saja tidak terlambat,” lanjut Oh Soo.
“Apa itu?”
“Aku sedang jatuh cinta.
Aku baru menyadarinya setelah ia pergi beberapa waktu. Tapi kemudian gadis itu
kembali,” Oh Soo tersenyum simpul kemudian menunduk malu.
“Oppa, kau terlalu
sering jatuh cinta,” Hana menyikut bahu Oh Soo. “Kau tahu, aku juga sedang
jatuh cinta,”
“Padaku?” Mata Oh Soo
berkilat – kilat.
“Jangan bercanda,” Hana
tertawa. “Omo, aku hampir lupa. Ini untukmu,” Hana menyerahkan sebuah kertas
berwarna biru laut yang sejak tadi dipegangnya pada Oh Soo.
“Apa ini?” Oh Soo
membolak – balik kertas yang terbungkus pita berwarna kuning emas itu.
“Undangan pernikahanku
untukmu. Kau temanku sejak kecil. Ketika ayahku menjadi duta besar di Korea
Selatan, kau tetangga pertamaku. Jadi walaupun aku sudah hampir setahun di
Indonesia, aku tak akan lupa mengundangmu di hari bahagiaku,”
Oh Soo sangat terkejut.
Bukan karna kata – kata manis Hana tentang dirinya, melainkan penuturan wanita
itu tentang pernikahannya yang sudah di depan mata.
“Kau akan datang kan,
Oppa?” tanya Hana memastikan.
“Tentu saja,” jawab Oh
Soo dengan tenggorokan tercekat. “Tapi kau tak pernah cerita tentang kisah
cintamu,”
“Itu karna di setiap
email, Oppa selalu bercerita tentang gadis ini, gadis itu yang selalu mampir di
hatimu kemudian pergi dengan cepat. Aku tak sempat menceritakan kisahku
padamu,” jelas Hana.
“Namanya Putra. Ia rekan
kerjaku di Bali. Ia terus mengejarku meski aku mengacuhkannya. Lama kelamaan
itu menggoyahkan hatiku juga,”
“Dia pasti orang yang
hebat,” kata
Oh Soo. “Bisa menakhlukkan wanita
yang tidak percaya pada cinta bukanlah hal mudah.”
“Oppa, aku sangat
bahagia. Dia cinta pertamaku,” kata Hana dengan binar – binar di matanya.
“Dan kau cinta
terakhirku,” kata Oh Soo dalam hati.
Selesai