Jumat, 01 Juni 2012

Enide, Merindukan Kehidupan

Diposting oleh Ken Mercedez di 13.11.00 6 komentar
 Jika tidak ada yang dapat kulakukan lagi, lebih baik aku mati. Ada dan tiadanya diriku takkan berpengaruh pada siapapun...


“Saya sarankan Anda untuk melakukan kemoteraphy. Kanker anda sudah menyebar dan akan semakin sulit ditangani nantinya,”
“Tidak, Dok. Biarkan saja,” jawabku lunglai.
“Anda harus optimis, jangan menyerah dulu. Kami akan melakukan semampu kami untuk menyelamatkan Anda,” Dokter Ana menyemangatiku walau sebenarnya itu tak ada gunanya. Ini yang kuinginkan, segera enyah dari muka bumi ini.
“Permisi Dok, saya teringat suatu urusan yang penting,” aku berusaha tersenyum walau kaku. Lalu aku berbalik dan membuka kenop pintu.

Aku berjalan keluar dari rumah sakit. Sungguh, aku benci tempat ini. Aku tidak akan datang kemari lagi. Aku terus menyusuri jalan, hingga aku menyadari semakin jauh aku berjalan menjauhi Rumah Sakit Bougenvil. Sekarang kakiku membawaku ke sisi kanan jembatan besar. Orang – orang mengagumi jembatan indah yang dibawahnya berbaring sungai Seine yang indah.

Mademoiselle, apakah kau mau bunuh diri disini?” seorang pria mengagetkanku. Ia tiba – tiba sudah berdiri di belakangku dengan tangannya menarik lenganku.
Quoi?” tanyaku terkejut.
Pardon moi, saya kira Anda hendak melompat dari jembatan ini,” kata pria itu lagi.
“Tidak, aku hanya ingin melihat sungai Seine saja,” jawabku datar.
“Oh, maafkan aku. Aku sungguh bodoh. Mana mungkin gadis semuda dan secantik Anda bisa bunuh diri,” pria itu garuk – garuk kepala.
Sayang sekali dia tidak tahu, aku sudah mencoba banyak cara untuk mengakhiri hidupku. Aku pernah mengiris ulu nadiku, minum obat berlebihan, melompat ke sungai pun pernah. Namun semuanya tidak ada yang berhasil. Akhirnya aku menyerah, dan Tuhan mulai mendengar doaku. Ia memberiku penyakit Leukimia dan sebentar lagi aku akan menghilang dari dunia ini dengan sendirinya.
“Boleh ku tahu siapa namamu?” tanya pemuda itu memecah lamunanku.
“Enide,” jawabku singkat.
“Nama yang bagus sekali,” puji pemuda itu. “Namaku Francoeur,”
“Hati yang jujur,” gumamku.
Pardon?”
“Namamu, Francoeur Hati yang jujur,” jelasku.
“Kau mau kemana, Mademoisell? Biar aku mengantarmu,”
Just call me, Enide,” kataku. “Aku tidak tahu, mungkin aku akan pulang ke rumah,”
“Sayang sekali pagi seperti ini kau habiskan hanya untuk minum teh di rumah. Bagaimana kalau kita berkeliling saja, Enide?” Francoeur menawariku tumpangan di vespanya. Ia menyodorkan helm kuning padaku.
“Tidak, Mercy. Aku pulang saja,” aku tersenyum tipis.
“Ayolah, hari ini indah sekali. Aku ingin berjalan – jalan tapi tidak menemukan kawan. Mungkin kau bisa menemaniku,” Francoeur tersenyum riang. “Apa aku terlihat seperti penculik wanita?”
“Tidak,” jawabku. Oh Tuhan, hari ini aku banyak tersenyum karena pemuda asing ini. Biasanya aku menghabiskan hariku dengan merenung dan meratapi nasib. Jarang sekali aku tersenyum.
“Ayolah. Ini helm-mu. Cepat pakai atau kutinggal,” ia memasangkan helm itu ke kepala, sungguh tidak sopan. Tidak hanya itu, ia menarikku dan mendudukkanku di jok belakang vespanya. “Pegangan, kita akan ngebut di jalanan,”
“Ngebut? Dengan motor vespa?” tanyaku. Francoeur tidak menggubrisku. Ia malah mengegas motornya dan aku terpaksa memeluknya.
Pemuda ini mengingatkanku pada Papa. Punggungnya begitu hangat. Aku sering bersepeda dengan Papa saat berumur 13 tahun. Kami berkeliling kota Paris, lalu berhenti di sebuah taman. Mama menungguku dan Papa sambil mengoleskan selai stroberi pada roti. Ketika aku datang, beliau melambaikan tangan. Kami makan bersama sambil memandangi menara Eiffel dari kejauhan. Oh, aku hampir lupa saat terindah dalam hidupku, ketika Papa dan Mama masih hidup dan menemaniku.
“Kau menangis?” tanya Francoeur setengah berteriak. Suaranya terdengar samar diantara angin dan derum kendaraan di jalanan.
Oui. Bagaimana kau tahu?”
“Aku tahu, airmatamu membasahi punggungku,” katanya setengah berteriak lagi.
Aku segera meregangkan tubuh. Kupandangi kaos yang menempel di punggung Francoeur basah karena airmataku.
“Maafkan aku. Nanti akan kucuci,” aku mengusap - usap punggung pemuda jangkung itu.
“Tidak usah, aku baik – baik saja,” Francoeur membelokkan vespanya ke sebuah taman yang bernama Marigny Square. Ia memarkir motor dan membantuku melepas helm.
“Sepertinya kita bisa bersahabat,” Francoeur memandang wajahku, membuatku malu.
“Ehm, itu kalau kita bisa bertemu lagi,” gumamku. Aku tidak tahu mengapa tiba – tiba aku berkata demikian, pasti ia bertanya – tanya apa maksudku.
“Tentu saja bisa. Tiap hari aku akan menemuimu,” jawab Francoeur, membuatku terkejut. Apa lelaki ini sudah gila? Kenapa ia terlihat begitu tertarik padaku, atau aku hanya ke-GR-an saja?
“Enide, aku selalu kesepian. Aku hidup sebatang kara. Tapi begitu melihatmu tadi, rasanya aku ingin selalu bersamamu. Aku bahkan tidak tahu kenapa. Rasanya sangat damai,”
“Bagaimana kau bisa merasa damai bersamaku? Sedangkan aku tidak punya hasrat untuk hidup,” kataku sambil menatapnya. Ia lebih tinggi dariku. Matanya yang berwarna biru dan rambutnya yang berwarna kecoklatan membuatku tak bosan menatapnya.
“Kau tahu arti dibalik namamu?” Francoeur malah mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya diam. Nama ini pemberian orang tuaku, tapi aku belum sempat bertanya apa artinya saat mereka masih ada di sisiku.
“Enide berarti jiwa. Jadi rasanya aneh kalau kau tidak punya semangat hidup,” Francoeur mengernyitkan dahi seolah berpikir. “Mungkin kau jiwa yang kosong,” ia mencoba bercanda, tapi itu tidak lucu.
“Francoeur, aku juga hidup seorang diri sejak orang tuaku meninggal akibat kecelakaan pesawat,” ujarku.
“Lalu sejak saat itu kau tidak ingin hidup?” tebaknya.
“Ya,”
“Kau berpikiran sempit, Enide. Lihatlah, dunia ini masih menerimamu. Kau masih bisa menikmati hembusan angin, memandang dedaunan yang hijau, sungai Seine yang indah, Marigny Square dan Eiffel,” Francoeur berputar – putar sambil merentangkan tangan. “Kau berada di surga. Bayangkan begitu banyak orang yang ingin datang kemari, dan kau beruntung terlahir disini,”
Dia benar. Aku bahkan tak pernah menyadari itu.
“Ajari aku mengenal kehidupan ini, Francoeur,” kataku. Senyumku merekah, aku telah menemukannya, penyelamatku dari jurang keputusasaan.

Selesai
*mohon kritik dan saran Kawand^^
 

Ken Mercedez Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting