“Tidak apa – apa. Aku tanpa sengaja
menyinggung perasaan Dany,” Samantha mencari alasan. “Maafkan aku Dan, aku gak
akan nyinggung masalah cewek itu lagi,” dusta Samantha. Ia menundukkan wajahnya
karena tidak mau bertatapan langsung dengan mata Dany ataupun Ray.
“Ya
ampun, Sayang. Kan aku sudah bilang, Dany paling gak suka ngomongin cewek,” Ray
mengelus kepala Samantha. Ia menoleh pada Dany yang masih mematung dengan
pandangan kosong menatap jalan.
“Dan,
gue minta maaf atas keteledoran cewek gue,” Ray memegang pergelangan tangan
Samantha dan mengajaknya pergi. Samantha hanya menunduk dan menuruti ajakan
Ray.
Dany
melihat kepergian teman – temannya itu. Ia berusaha menahan airmata. Balok
kecil itu digenggamnya erat sekaligus diremas. Ia sangat kecewa karena Samantha di masa kecilnya yang
sangat lembut dan periang ternyata Samantha yang di masa ini menyebalkan dan
angkuh. Tetapi ada rasa tidak rela karena mimpinya mendapatkan gadis yang
menegarkan hatinya di masa kecil telah menjadi milik orang lain, apalagi itu
semua berkat usahanya. Rasanya kenyataan ini seperti bom waktu, dan sekarang
saatnya meledak. Dany berteriak keras dan menendang – nendang sebuah kursi yang
dekat dengannya hingga kursi itu terjatuh dan patah.
*
“Ray,
sebaiknya kita batalkan saja ya acara ke Bonbin,” ujar Samantha saat mereka
berkendara di jalan raya.
“Kenapa?”
suara Ray sedikit keras karena jalanan sangat ramai.
“Kepalaku
pusing,” jawab Samantha lemah.
“Apa?”
Ray tidak mendengar begitu jelas. “Pusing?” lanjutnya memastikan.
“Iya,”
Samantha agak berteriak agar Ray lebih jelas mendengarnya.
“Kenapa
gak bilang dari tadi. Tau gitu aku langsung antar pulang. Aku gak mau kamu
sakit walau cuma pusing,” kata Ray. Karena sangat ramai, Samantha hanya dapat
mendengar kata ‘kenapa-tadi-antar pulang-pusing’. Samantha tidak ingin tahu lebih jelasnya
karena pikirannya sedang kacau.
Ray
memutar setir dan berbelok ke arah kiri dengan cepat, saking cepatnya ia sampai
hampir menyenggol badan mobil yang juga hendak belok ke kiri. Samantha terkejut
dan terbangun dari lamunannya.
“Ray
hati – hati,” tegur Samantha.
“Maaf.
Aku gak bisa konsentrasi. Rasanya aku pengen nyetir pesawat jet biar cepat
sampai ke rumahmu,” Ray berkata dengan cepat, namun Samantha mendengarnya
dengan jelas karena jalanan sedang sepi. Ia begitu tersentuh, ray selalu
menghawatirkan kesehatannya lebih dari apapun.
“Kamu
harus minum obat ini,” Ray membuka plastik putih dengan logo ‘Apotek Sehat’.
Dia baru saja pergi ke apotek dan kembali lagi ke rumah Samantha 15 menit
kemudian. Nafasnya sedikit ngos – ngosan.
“Kamu
seperti dikejar setan aja,” Samantha tersenyum. Ia bersandarkan bantal di atas
ranjangnya dengan Ray yang sibuk membuka tutup botol obat dan mengambil segelas
air putih.
“Jangan
berkomentar. Ini obat sakit kepala, yang warna kuning itu vitamin. Kalau
kepalamu sudah mendingan, minum vitamin itu untuk memulihkan stamina,” Ray
begitu serius.
“Iya
Dok,” Samantha masih saja menggodanya.
“Apa
perlu aku panggil dokter beneran?” tanya Ray serius. Ia tidak menggubris
gurauan Samantha.
“Ih,
kamu ini berlebihan banget,” Samantha tertawa.
“Aku
mengkhawatirkanmu. Wajahmu dari tadi pucat,” Ray sepertinya tersinggung ketika
Samantha menertawai keseriusannya.
“Maafkan
aku. Aku juga menyayangi dan sangat peduli padamu. Tapi kupikir kecemasanmu
berlebihan, toh aku cuma pusing aja kan,” gadis itu meneguk segelas air setelah
meletakkan obat di pangkal lidahnya.
“Jangan
meremehkan sakit begitu aja,” Ray melunak. Kemudian ia hanya diam memandangi
Samantha, membuat gadis itu berusaha untuk tidak tertawa.
“Apa
sebelumnya kamu pernah gini sama mantanmu?” tanya Samantha penasaran. Ray hanya
menggelengkan kepala.
“Mereka
sangat enerjik. Hampir setiap pagi bangun dengan kepala pening sehabis berdisko
semalamann, jadi aku tidak pernah khawatir,”
“Aku
gak pernah disko, padahal itu seperti olahraga juga sih. Apa aku lebih gendut
dari mereka?” tanya Samantha.
Ray
menggeleng pelan. “Kau lebih anggun dari mereka,”
*
Samantha
terserang penyakit flu dan panas selama tiga hari. Terpaksa ia hanya diam di
rumah tanpa pergi ke kampus. Walaupun begitu, Ray selalu menemaninya setelah
acaranya bersama genknya selesai. Samantha tidak ingin merampas kebebasan Ray
untuk bergaul dengan teman – temannya, dengan syarat Ray gak boleh minum –
minum atau mengganggu kenyamanan orang lain lagi.
Sebenanya
kepala Samantha pusing bukan hanya karena flu dan panas, tapi juga karena Dany.
Ia merasa bersalah karena Dany jadi kelewat berani dari yang seharusnya. Tapi
juga merasa rasanya tidak adil bila ia disalahkan 100 persen. Toh Samantha
tidak bermaksud buruk pada Dany ketika memberikan kotak itu dulu sekali.
Sekarang Samantha tahu siapa Dany, walau tidak semuanya. Tetapi pengetahuan itu
lebih banyak dari sebelumnya. Tidak seharusnya pula Samantha menjauh karena
tahu siapa cowok itu sebenarnya. Tapi toh dari dulu kan memang nggak deket.
Benar – benar membuatnya merasa serba salah.
“Kenapa
sih dari tadi ngelamun?” tegur Ray yang duduk di samping Samantha.
“Ah,
nggak kok,” Samantha menoleh pada Ray lalu menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.
“Ngelamun
kok, tadi diajak ngobrol gak jawab,” serang Ray. Sekarang Samantha yang bingung
hendak memberi alasan apa.
“Ehm,
cuma mikir. Aku udah ketinggalan perkuliahan selama tiga hari,” akhirnya
Samantha berhasil menemukan alasan yang lumayan masuk akal.
“Oh,
kalo itu jangan khawatir. Kan ada Renata,” kata Ray.
“Iya
juga ya. Kok aku gak kepikiran sampe sana sih,” Samantha memukul kepalanya
pelan.
“Jangan
mukul kepala sendiri dong, Sayang,” Ray tampak khawatir. “Kan wajar gak mikir
sampe sana. Kamu lagi sakit gini kan,”
Samantha
hanya mengangguk. Ia bersandar di bahu Ray, rasanya nyaman sekali.
“Maaf
ya sebelumnya. Boleh nggak aku ikut balap motor bareng anak – anak Scorpion?”
Ray mengganti topik pembicaraan.
“Racing
dimana?”
“Di
Bogor. Cuma tiga hari aja kok,”
“Hem,”
Samantha berpikir sejenak. “Boleh deh. Tapi ati – ati ya. Bogor kan sering
ujan. Nanti jalannya becek,”
“Tenang
aja,” Ray membelai rambut Samantha.
Entah
mengapa rasanya dada Samantha agak sakit. Mungkin karena ia belum sembuh benar
atau ada firasat tertentu? Ah, mungkin
gara – gara masih sakit-pikir Samantha.
*
“Gimana
kabar cewekmu?” tanya Dany ketika genk Scorpion berkumpul di penginapan
perbukitan kota Bogor.
“Udah
sembuh, pasti tadi udah mulai kuliah,” Ray melepas jaket kulitnya dan berjalan
menghampiri kursi di sebelah Dany. Mody, Lian, dan Charly terdengar asik
mengobrol tentang motor mereka di depan penginapan sederhana itu.
“Ya
bagus deh,” kata Dany sambil meregangkan otot.
“Tiap
hari loe nanyain dia. Biasanya loe bosen dengerin gue cerita tentang dia
melulu,”
“Biasa
aja, ceweknya Mody, Lian, ama Charly juga gue tanyain kabarnya tiap hari,” Dany
ngeles.
“Makanya
loe cari cewek aja. Apa perlu gue cariin?”
“Yee...
Loe aja siapa yang nyomblangin pas waktu itu?” Dany rada sewot.
“Hahaha.
Loe masih ngarep temen masa kecil loe itu?”
Dany
hanya diam. Sejujurnya, setelah tahu dimana dan siapa gadis itu, rasanya
penantiannya selama ini sudah terjawab. Tapi apakah ia harus merebutnya dari
sahabatnya sendiri? Dany tidak tega pada Ray yang selama ini sudah sangat baik
padanya.
“Dan,
buat gue Samantha itu sangat berharga. Gue sayang banget sama dia, beribu –
ribu sayang,” tiba – tiba ucapan Ray terdengar sangat serius. “Kalo ada apa –
apa sama gue, sebagai sahabat terbaik gue, apa loe mau gue mintai tolong?”
“Kok
tiba – tiba ngomong ngaco gitu sih, Ray?” sergah Dany.
“Gak
tau kenapa rasanya gue pengen banget nitipin dia sama loe. Walaupun loe gak
suka sama dia, tapi please kalo ada
apa – apa sama gue, loe harus jagain dia ya?” tatapan Ray seperti menerawang.
“Ngaco!
Loe aja yang jagain dia. Gue sih ogah, emangnya gue baby sitter apa? Kata Dany agak kasar walau dalam hatinya berkata
lain. Tanpa loe suruh juga pasti gue
jagain mati – matian tuh cewek,batin Dany.
“Gue
serius, Dan,” kata Ray.
“Iya
deh. Gue janji bakal ngelindungi Samantha kalo terjadi sesuatu sama loe,” Dany
menyerah untuk berbohong.
“Thanks,
Dan. Gue akan ingat janji loe selamanya,” Ray memeluk Dany.
“Ah
udah jangan peluk – peluk,” Dany pura – pura marah.
Keesokan harinya,
dimulailah lomba balap motor di tempat yang sudah ditentukan. Medan area cukup
luas, namun sedikit basah akibat hujan semalam. Semua peserta lomba bersiap –
siap di garis start. Dany menoleh pada Ray, saat itu Ray itu mengacungkan
jempol tanda ia baik – baik saja dan siap mengikuti lomba. Dany menganggung.
Terdengar aba – aba panitia, 1... 2... 3... Dorr! Tembakan dilepas ke udara.
Semua peserta lomba memacu motor melewati lintasan.
Awalnya, Dany
memimpin di depan. Ray berada di posisi ketiga setelah Dany. Ia berusaha
menyalip motor – motor lainnya dan berhasil sejajar dengan Dany. Satu menit
kemudian ia melajukan motornya dan berada agak jauh dari Dany, sekarang ia memimpin
di depan sendiri. Dany tak mau kalah, ia berusaha menyusul namun Mody
mengejarnya. Tikungan mulai terlihat di depan mata, semua pengendara bersiap –
siap dan mengatur kecepatan yang tepat. Samar – samar Dany melihat motor yang
dikendarai Ray sedikit oleng. Cahaya matahari sedikit membuat mata silau, namun
Dany menyipitkan mata dan melihat Ray yang memiringkan tubuhnya, lututnya
menyentuh lintasan dan Bruaaak!!! Ia
jatuh terpelanting, motornya terpental ke samping melompati batas lintasan.
Dany sangat terkejut. Ia mengambil resiko untuk menepi secepat mungkin dan
menolong Ray.
“Cepat
panggil ambulans!” seru petugas – petugas yang mulai berdatangan dan
mengerumuni Ray. Dany sendiri memeluk sahabatnya itu dan memanggil – manggil
nama Ray, tapi cowok itu tidak bergerak sama sekali.
Beberapa
saat kemudian ambulans datang dan Ray langsung dilarikan ke rumah sakit. Dany
dan kawan – kawannya ikut mengantarkan Ray.
*
“Ray!”
Samantha berlari mendekati kamar ICU tempat Ray dirawat. Dany dan kawan –
kawannya sudah berjaga di rumah sakit selama dua hari. Samantha sendiri
langsung datang setelah mendengar berita kecelakaan Ray dari Charly. Orang tua
Ray sendiri sudah datang kemarin, ibunya tidak henti – hentinya menangis dalam
pelukan ayah Ray.
“Sabar
Tha, ayo ikut aku,” Dany menarik tangan Samantha dan mengajaknya menjauh karena
belum ada yang diperbolehkan masuk ke kamar Ray.
“Seandainya
dia tidak ikut balapan, gak akan seperti ini, Dan,” Samantha terisak.
“Ini
sudah takdir. Kamu harus optimis dia bisa sembuh,” Dany berusaha menenangkan
Samantha.
“Aku
gak mau kehilangan dia. Aku sayang sama Ray,”
Hati
Dany terluka, namun ia tidak tega melihat keadaan Samantha yang sedang
terpuruk. Refleks Dany memeluk Samantha, namun gadis itu menolak.
“Jangan
seperti itu, Dan. Aku gak mau saat Ray sadar, dia salah paham tentang kita,”
kata Samantha. Ia mengusap airmatanya dan pergi meninggalkan Dany.
Aku harus bagaimana? Yang di dalam sana
adalah sahabatku, yang berada di dekatku seorang gadis yang kusukai. Meskipun
kejam, aku ingin mendapatkannya. Apapun caranya. Tapi bagaimana dengan Ray?
Haruskah aku mengharapkannya pergi agar aku mendapatkan Samantha? Oh, apa yang
sedang kupikirkan? Ray itu sahabatku! – Dany begitu bingung dengan hatinya.
Dany
sempat melihat pada Samantha yang sedang menangis di dekat pintu kamar Ray.
Rasanya begitu menyakitkan. Gadis yang ia cintai menyalahkannya atas kejadian
yang menimpa Ray, padahal Dany tidak melakukan apapun untuk menciderai
Ray. Ia meraih ponsel dari dalam
sakunya. Setelah menimbang untuk beberapa saat, Dany kemudian menekan tombol –
tombol ponsel dan menelpon seseorang.
“Ayah,
aku sudah putuskan. Aku setuju pergi ke Kuala Lumpur,” kata Dany via telepon.
Dany
menghela napas. Sebelum pergi ia melihat punggung Samantha yang berguncang
karena gadis itu menangis. Selamat
tinggal, Samantha.
*
Sebulan telah
berlalu sejak peristiwa kecelakaan Ray. Ternyata nasib baik masih berpihak pada
Ray. Pemuda itu kini dapat melalui hari – harinya kembali walau tidak seperti
dulu. Ray terpaksa harus duduk di kursi roda karena kakinya lumpuh. Sumsum
tulang belakangnya rusak dan menyebabkan kaki kirinya lumpuh. Ia menjadi
pemurung dan memilih menyendiri di kediamannya.
“Ray, Samantha
datang,” ibu Ray mengetuk pintu kamar putra semata wayangnya itu.
“Aku tidak mau
bertemu siapapun,” seru Ray dari dalam kamar.
“Ray, kumohon
biarkan aku masuk,” Samantha mencoba membujuk kekasihnya. Lama tidak ada
jawaban dari dalam.
“Biarkan saja
dulu, Nak Samantha. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir,” Ibunda Ray mengajakSamantha
turun. Dengan lemah Samantha menurut. Saat mereka hendak pergi, Ray membuka
pintu kamarnya.
“Samantha, aku
ingin mengatakan sesuatu,” kata Ray.
Samantha
tersenyum senang. Ia kemudian mengikuti Ray yang memutar kursi rodanya menuju
koridor ruangan.
“Apa yang ingin
kau katakan?” tanya Samantha penasaran. Ia berlutut di hadapan Ray karna ingin
melihat wajah Ray lebih jelas.
“Kau lihat
kondisiku ini? aku sudah tidak pantas lagi untukmu,” kata Ray.
“Aku menyukaimu
bukan karna fisikmu, tapi karna hatimu,”
“Tapi dengan
kondisimu yang seperti ini bagaimana aku bisa melindungimu? Kau tidak tahu
bagaimana perasaanku,”
“Kamu juga tidak
tahu perasaanku. Seandainya aku yang lumpuh, apa kamu juga akan
meninggalkanku?” tanya Samantha.
“Kenapa bicara
begitu? Aku tentu saja akan selalu mendampingimu!”
“Itulah yang
kurasakan,” ujar Samantha.
Ray tercengang.
Samantha menyadarkan Ray bahwa mereka berdua tidak ingin berpisah. Apapun yang
terjadi tidak dapat membuat mereka berpikir untuk mundur.
“Kamu bersungguh
– sungguh?” tanya Ray ragu.
“Ya,” Samantha
mengangguk mantap.
“Kalau begitu
buktikan. Kita akan menikah dua bulan lagi. Aku memberimu waktu selama 2 bulan
untuk berpikir apakah kau benar – benar ingin bersamaku atau tidak,” ujar Ray.
Samantha sama sekali tidak bergeming.
Sementara itu di
lain sisi, Dany sudah menetap di Kuala Lumpur untuk melanjutkan studinya di
bidang Manajemen. Walaupun sudah jauh, kerap kali ia merasa bersalah karena
telah pergi begitu saja. Sungguh seperti pecundang yang tidak berani menghadapi
kenyataan. Keresahannya membuatnya berpikir untuk menghubungi temannya. Ia lalu
menelpon salah satu anggota genk Scorpion.
“Moldy, ini aku,”
ujar Dany ketika Moldy mengangkat telepon darinya.
“Hei pengecut!
Ada apa lagi sekarang?” suara Moldy terdengar kesal.
“Moldy, kamu tahu
kan kejadian yang menimpa Ray sama sekali bukan salahku,”
“Ya, aku tentu
saja tahu. Justru karna itu kamu pengecut. Kamu tidak berani menjelaskan kalau
kamu tidak bersalah. Malah kamu kabur ke luar negri,”
“Samantha
membenciku. Aku tidak mungkin menunjukkan wajahku di hadapannya,” terang Dany.
“Dia sudah tidak
apa – apa. Ray sudah menjelaskan padanya,”
“Ray sudah
sembuh?” Dany terkejut. Ia bersyukur Ray baik – baik saja.
“Ya. Mereka akan
menikah 2 bulan lagi,” ujar Moldy dengan nada datar.
“A...apa?” Dany
tidak percaya.
“Iya. Sudahlah, walaupun kamu muncul pun tidak
ada gunanya. Sudah dulu ya, aku lagi sibuk,” Moldy menutup pembicaraan.
Dany terkulai
lemas. Pupus sudah harapannya. Pada akhirnya ia tetap saja menjadi si penakut.
Takut pada kenyataan. Ia memutuskan untuk melupakan semua yang terjadi dalam
hidupnya selama ini. ia ingin membuat hidup baru di Kuala Lumpur sebagai orang
yang baru.
*
5
tahun berlalu dengan cepat. Kini Dany
berubah menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ia tidak lagi menjadi
seorang pengecut atau brandalan. Ia membuktikan bahwa ia benar – benar berubah.
Lima perusahaan asing di Malaysia dipercayakan kepadanya sebagai Direktur
Perusahaan.
Malam
ini ia akan menjumpai sebuah perjamuan dengan para investor di sebuah hotel
mewah. Dany tidak ingin terlambat datang. Setelah menyiapkan penampilan sebaik
mungkin, ia segera meluncur dengan mobil Accord bewarna silver produksi Honda
yang cabang perusahaannya dipercayakan padanya.
15 menit kemudian
ia memasuki ballroom yang megah. Nuansa malam itu formal. Sekumpulan orang
berdasi menghadiri acara. Para sosialita juga berkumpul disana dengan gaun –
gaun elitnya. Sebagian orang datang bersama pasangan, namun Dany terlihat
percaya diri walau datang tanpa pendamping.
“Bukk!” seorang
anak menumbruk kaki Dany.
“I’m so sory.
Where’s your mother?” Dany berlutut untuk melihat wajah mungil itu. Anak laki –
laki itu terlihat seperti orang melayu dan seperti familier dengannya.
“I’,m sory, my
son disturbs you, Sir,” seorang wanita bergaun hitam elegan menghampiri Dany. Dany
tampak terkejut, begitu pula dengan wanita itu.
“Dany?” tanya
wanita itu memastikan.
“Samantha? Ini...
putramu?” Dany balas bertanya.
“Ya, ini putraku.
Maaf putraku mengganggumu,” Samantha menghampiri anak kecil itu dan menggandeng
lengan mungilnya.
“Sedang apa
disini?” tanya Dany bingung.
“Aku investor
baru disini. Kau sendiri?” Samantha kikuk.
“Aku... aku
direktur perusahaan,” jawab Dany gugup.
“Sungguh tidak
menyangka dapat bertemu denganmu disini. Mana istrimu?”
“Aku belum
menikah,” Dany tersenyum lirih. “Mana Ray? Kudengar kalian menikah lima tahun
yang lalu,”
“Suamiku sudah
meninggal. Sebelum meninggal ia menanyakanmu,” Samantha tampak sedih saat
mengatakan hal itu.
“Maafkan aku. Aku
sungguh tidak tahu,” kata Dany.
“Tidak apa – apa.
Aku yang seharusnya minta maaf. Aku sudah menyalahkanmu untuk sesuatu yang
tidak kau lakukan,”
“Ah sudahlah,
lebih baik tidak usah diingat lagi,” kata Dany.
“Maaf Dany, aku
harus pergi. Aku disini bersama Renata. Sepertinya ia mencariku,” kata
Samantha.
“Oh, tunggu
sebentar,” tanpa sengaja Dany memegang lengan Samantha. “Maaf, kamu tinggal
dimana?”
“Aku menginap di
hotel ini. kamar nomor 26, bersama Renata tentunya. Bye Dany,” Samantha berlalu
bersama putra kecilnya.
Dany memandang
kepergian Samantha. Ternyata sejauh apapun ia berlari, tetap saja suatu saat ia
bertemu lagi dengan gadis yang ia cintai itu. Dunia memang begitu sempit.
*
Keesokan
harinya, Dany memutuskan untuk berkunjung ke kediaman Samantha. Ia merapikan
jasnya dan bergegas pergi ke hotel yang semalam ia datangi. Setelah sampai di
hotel, ia segera menaiki lift dan mencari kamar nomor 26.
“Dany?”
seorang wanita membukakan pintu ketika Dany menekan tombol di pintu kamarnya.
“Renata,
lama tidak berjumpa. Apa Samantha ada?” tanya Dany tidak sabar.
“Dia
sedang berjalan – jalan bersama putranya. Mungkin belum jauh, cari saja di
taman dekat sini,” kata Renata.
“Oh,
terimakasih Ren,” Dany bergegas pergi. Ia mencari Samantha di taman. Ternyata susah
juga karena banyak orang disana pagi itu. Kemudian pandangannya tertuju pada
seorang wanita yang tengah bercanda dengan anak kecil di bangku taman. Disitu rupanya
Samantha. Dany berlari menghampirinya.
“Samantha,”
sapanya terengah – engah.
“Oh,
sedang apa disini?” Samantha terkejut.
“Aku
sedang jalan – jalan,” dusta Dany.
“Jalan
– jalan memakai jas?” Samantha memperhatikan pakaian Dany.
“Aku
ingin bertemu si kecil,” ujar Dany.
“Oh.
Ayo Ramdan, beri salam pada paman Dany,” Samantha mengulurkan tangan putranya.
“Halo
paman,” anak itu lalu mencium tangan Dany.
“Halo
juga,” Dany mengusap kepala Ramdan dengan lembut.
“Kenapa
menamainya seperti namaku?”
“Ray
yang memintanya. Duduklah di samping Ramdan,” ujar Samantha sambil menepuk –
nepuk kursi taman tempatnya duduk.
Dany
segera duduk di sisi Ramdan kecil. Ia langsung sayang pada anak itu. Diangkatnya
Ramdan kecil lalu dipangkunya sambil sesekali ia menciumi pipinya seperti pada
anaknya sendiri. Entah mengapa ia merasa begitu rindu pada anak itu.
“Dan,
sebenarnya aku ke Kuala Lumpur karena pesan terakhir Ray,” kata Samantha.
“Pesan
apa?” tanya Dany penasaran.
“Dia
bilang, ‘Dany punya janji yang harus ditepati. Pergilah kesana untuk menagih
janjinya padaku’,” Samantha menirukan kata – kata suaminya.
Dany
terdiam. Ia masih ingat janji itu. Ray pernah memintanya untuk menjaga Samantha
jika sesuatu menimpa dirinya.
“Aku
tidak tahu janji apa itu. Ray tidak mau mengatakannya. Aku harus menanyakannya
langsung padamu,” lanjut Samantha.
“Soal
itu, aku tidak tahu ia masih mengingatnya,” kata Dany lirih. Matanya memandang
lurus ke depan, seolah tidak ingin menatap mata Samantha.
“Bolehkah
aku tahu janji apa itu?”
“Ia
memintaku untuk menjagamu,” jawab Dany pelan.
Samantha
tidak berkata apa – apa. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan
tubuhnya terguncang, rupanya ia menangis.
“Tha,
maafkan aku,” Dany berusaha menenangkan Samantha walau tidak menemukan kata –
kata yang tepat.
“Mama,”
Ramdan ikut merajuk melihat ibunya menangis.
“Jangan
menangis, Ramdan ketakutan,” ujar Dany lagi.
“Aku
ingin kembali ke hotel. Tolong antarkan aku,” kata Samantha.
Dany mengangguk
setuju. Ia berjalan beriringan dengan Samantha, sementara Ramdan kecil
digendongnya. Selama perjalanan mereka tidak saling bicara. Tapi Dany kelihatan
sibuk dengan Ramdan kecil. Berkali – kali ia tertawa ketika menggoda anak itu
dengan cubitan – cubitan kecil. Samantha sesekali memerhatikan keduanya yang
cepat akrab. Ia tersenyum lirih namun tidak mengatakan apa – apa hingga tiba di
depan kamarnya.
“Sudah sampai. Kalau
begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa. Daagh Ramdan,” Dany melambaikan tangannya
pada putra Samantha.
“Dany,” panggil
Samantha ketika pria itu menjauh. Dany menoleh. “Aku ingin menagih janjimu pada
suamiku,”
Dany tersenyum. “Sebaiknya
kita mulai semuanya dari awal. Sampai jumpa lagi, Samantha!” Dany melambaikan
tangan. Dalam hati ia berjanji, esok ia akan datang lagi dan lagi. Ia akan
selalu hadir dalam hidup Samantha. Bukan sekedar menepati janji pada
sahabatnya, tapi lebih karena seribu cinta yang tak pernah padam untuk
Samantha.
SELESAI