Waktu kecil, aku selalu mendengarkan dongeng tentang
putri di suatu kerajaan, peri, atau putri duyung. Ibu membacakan dongeng –
dongeng itu sebelum aku tidur. Hingga kini dongeng ibu menjadi harta karun yang
berarti bagiku, tapi tidak bagi teman – temanku. Mereka menertawaiku,
mengatakan aku gila, atau hidup dalam ilusi. Tidak ada yang memahamiku. Padahal mengenang
semua dongeng itu seperti mendaki pelangi. Jalan hidup semakin menanjak, dan
setiap kita mendaki terasa berat, namun pelangi tetap indah dan menjadi
inspirasi. Pelangi itu ibaratnya dongeng yang selalu menjadi inspirasi hidupku.
*
“Ivy, melamun lagi?” tegur Lina, penjaga
perpustakaan yang bergantian shift denganku.
“Ehm, nggak kok,” jawabku sedikit ragu, karna
sepertinya tadi aku memang
melamun.
“Berhayal ketemu makhluk kerdil lagi? Aku lupa
namanya,” Lani mengerutkan kening seperti mencoba mengingat sesuatu.
“Kurcaci,” jawabku singkat. Ternyata Lani masih
ingat kejadian ketika aku mengamati sudut ruangan perpustakaan, berhayal melihat
seorang kurcaci kecil membawa sekop
hendak menggali lubang harta karun disana.
“Sudahlah, cari imajinasimu di luar. Sekarang ganti
aku yang jaga,” Lani meletakkan tasnya di atas mejaku.
“Baiklah. Aku pulang dulu ya,” kataku.
“Ya, hati – hati di jalan. Jangan sampai terjatuh ke
lubang yang digali kurcacimu itu,” Lani terkikik sendiri. Aku tahu ia sedang
mengejekku, tapi dia tidak sadar sudah terbawa fantasi yang sama denganku.
Aku hanya tersenyum, senang rasanya ketika seseorang
mulai berfantasi sepertiku. Ku lambaikan tanganku sebelum pergi meninggalkan
perpustakaan.
*
Langit begitu cerah, tak tampak awan mendung seperti
hari kemarin. Orang -
orang berlalu lalang di pinggir jalan, dan sebagian lagi bersepeda bersama
teman – temannya. Hari Sabtu memang hari yang indah, apalagi hari minggu. Aku
mengamati seorang pedagang buah yang sedang sibuk melayani pembeli anggurnya. Perhatianku
teralih pada makhluk kecil yang sedang asik melahap buah anggur. Makhluk itu sangat
lucu, telinganya mencuat ke atas seperti kucing. Tubuhnya mungil dengan baju
yang terbuat dari dedaunan kering, dan ia bersayap! Ia menoleh ke arahku yang
sejak tadi mengamatinya.
“Ssssttt….” Ia menempelkan jari telunjuknya di
tengah bibir kecilnya.
Aku hanya tersenyum. Entah ini imajinasiku atau
makhluk itu memang benar nyata. Kuteruskan jejak kakiku hingga melewati jalan
yang menanjak, aku berhayal jalan menanjak
ini seperti pelangi yang membawa orang – orang ke sebuah kastil yang megah di
langit. Nampak seorang pelukis jalanan sedang
asik melukis bunga – bunga di pinggir jalan.
Sejenak aku memandanginya, ia lebih muda daripada pelukis yang biasanya.
“Hei,” seru pemuda itu.
Aku menoleh ke sampingku, tidak ada orang. Lalu aku
menoleh ke belakangku, juga tidak ada orang. Sebenarnya pemuda itu sedang
menyapa siapa? Apakah aku?
“Iya,kamu,” serunya lagi seolah tahu apa yang sedang
kupikirkan.
“Mau menjadi model lukisanku?” katanya lagi.
“Aku? Jadi model?” tanyaku tak percaya. Aku
mendekatinya.
“Iya, aku sedang mencari seorang gadis yang cocok
kulukis. Sepertinya kamu cocok,” katanya.
“Apa temanya?” tanyaku.
“Seorang peri
bunga,” jawabnya singkat.
“Peri?” aku terperangah.
“Ya, kenapa?”
“Aku tak menyangka kau juga sama sepertiku, suka
berimajinasi,” sorakku
bersemangat.
“Hahaha,” ia tertawa. “Kau juga senang melukis?”
“Aku tidak bisa melukis,” kataku tersipu.
“Kalau begitu tulislah imajinasimu. Bagikan pada
semua orang,”
“Jangan bercanda,” ujarku malu - malu.
“Serius,” jawabnya. “Oh ya, namaku Ethan,”
“Ivy,” jawabku.
“Mau menjadi modelku?” tanya Ethan lagi.
“Ya, tentu,” jawabku. Ethan lalu mempersilahkanku
duduk di kursi kecil yang berhadapan dengannya.
Aku mengatur pose yang baik dan tersenyum manis.
Kira – kira satu jam kemudian Ethan mengatakan lukisannya sudah hampir jadi,
selebihnya ia akan menambahkan di rumah. Ia tidak memperbolehkanku melihat
lukisannya dengan alasan masih belum sempurna.
Karena sudah senja, aku memutuskan untuk pulang ke
rumah. Besok aku akan menemui pelukis itu lagi.
*
Keesokan harinya, aku sudah tidak sabar bertemu
Ethan. Aku segera bergegas pergi ke tepi jalan yang
menanjak dimana aku bertemu
dengannya kemarin. Kugunakan baju terusan
dengan motif bunga matahari tanpa lengan
dan topi anyaman dengan hiasan bunga
matahari yang senada dengan bajuku.
Aku menunggu Ethan yang sepertinya belum datang.
Setengah jam kemudian seorang pria datang membawa kanvas dan kursi kecil. Ia
lalu mengatur tempat untuk melukis di tempat dimana Ethan melukisku kemarin.
Pria itu yang biasanya kulihat selama beberapa bulan ini, entah mengapa kemarin
ia tidak datang melukis dan digantikan oleh Ethan. Aku begitu penasaran hingga
berjalan menghampirinya.
“Permisi, apakah Anda mengenal pelukis yang kemarin
melukis disini?” tanyaku.
“Oh, Ethan ya? Dia sudah pulang ke kota asalnya.
Katanya bahan untuk pameran seninya sudah selesai,” jawab pria itu sumringah.
Aku hanya termenung. Padahal aku ingin sekali
bertemu dengan pemuda itu lagi. Menurutku ia mirip seorang pangeran Elf muda yang tampan dengan
hidung mancung dan dagu lancipnya. Aku pulang dengan hati hampa.
*
Sepanjang hari kugunakan untuk melamunkan Ethan.
Bahkan ketika aku menjaga perpustakaan seperti biasanya pun kuhabiskan untuk
melamun.
“Hei, jangan melamun terus!” tegur Lani. Ia berkacak
pinggang dan berdiri memperhatikanku, seperti hendak menghakimi.
“Kali ini apa? Putri duyung baru saja mati di kolam
kecilnya?” lagi – lagi ia meledekku.
“Bukan, pangeranku telah pergi,” jawabku sendu.
“Ivy, kamu begitu menyia – nyiakan hidupmu. Coba kau
gunakan waktumu untuk sesuatu yang lebih baik, menulis dongeng mungkin,” usul
Lani sambil merapikan rambut ikalnya.
Untuk sesaat aku terdiam, Ethan juga pernah berkata
hal yang sama.
“Kau benar,” kataku dengan mata berbinar. Aku
berdiri dan memeluk sahabatku itu. Aku segera bergegas pulang untuk menulis ide – ide yang selama ini beterbangan di
kepalaku.
“Mau kemana?” tanya Lani bingung.
“Menulis dongeng,” sahutku singkat.
*
Hampir setiap hari aku membuat dongeng dan mengirimkannya
ke penerbit. Hingga 1 tahun berlalu sejak aku memutuskan
untuk menjadi penulis. Aku pun memutuskan untuk pindah ke Jakarta demi karir
menulisku.
Di hari Minggu yang cerah, aku duduk di bangku taman
sambil menulis ide – ide baru. Setelah semua ide kutangkap dalam sebuah buku
catatan, aku memutuskan untuk berjalan – jalan sebentar. Ku dengar hari ini ada
pameran seni lukis bertajuk Fantasia di sekitar taman tempatk menulis.
Aku berjalan melalui jalan setapak hingga tiba di
sebuah galeri. Di depan galeri itu ada sebuah papan dan pamflet tentang
Fantasia. Ada dua orang gadis dengan kostum kelinci yang lucu membagi – bagikan
brosur pada pengunjung yang datang. Seorang pria kecil berdiri di sudut yang
lain, berkostum kurcaci dengan balon – balon di tangannya.
Tak sabar aku untuk melihat ke dalam galeri itu. Aku
segera masuk dan mengisi buku tamu di resepsionis. Ketika aku melihat – lihat
lukisan di dalam galeri itu, aku sangat terpukau. Lukisan – lukisannya begitu
hidup, seolah ingin mewujudkan khayalan menjadi kenyataan.
Aku mendekati sebuah lukisan yang menggambarkan
putri duyung di tengah lautan sedang menyapa pelaut yang berlayar dengan kapal
megahnya.
Lalu ada sebuah lukisan tentang kelinci – kelinci
yang membuat kue mochi di bulan. Aku tersenyum melihat lukisan yang menjadi
legenda di Jepang.
Kemudian aku beralih pada sebuah lukisan dengan
kanvas besar di tengah ruangan. Tampak seorang gadis manis dengan rambut ikal
panjang duduk manis dengan latar kebun bunga. Aku terperanjat, gadis yang
disebut peri dalam lukisan itu adalah aku.
“Kau datang juga,” suara lelaki yang familiar di
telingaku membuatku terkejut.
Aku menoleh ke asal suara di belakangku dan aku
melihat Ethan, pangeran Elf-ku.
“Aku yakin kau pasti datang,” kata Ethan lagi. “Aku sudah
membaca dongeng – dongengmu, Nona Ivon Margaretha,”
Aku tersenyum mendengar kata – katanya.
“Hidup ini memang seperti meniti pelangi, seperti
katam dalam setiap dongengmu,” ujar Ethan lagi.
“Ya, terkadang begitu sulit mencapai puncak pelangi
untuk melihat keindahan dunia dalam fantasi kita,” lanjutku.
“Kau suka lukisan Peri Bermata Biru-ku?”
“Aku sangat menyukainya,” jawabku.
“Mungkin nanti aku bisa melukismu sebagai putri
duyung,” gurau Ethan.
“Aku tidak mau,” jawabku sambil tertawa. Akhirnya
aku menemukan pangeran Elf-ku lagi setelah bersusah payah mendaki pelangi.
Selesai
Sedikit share:
Cerpen ini aku bikin waktu boring dengerin dosen di kelas. Waktu kuliah selesai, cerpen ini juga finish. Degdegan banget deh bikinnya, dosennya nunjuk-nunjuk terus sih. >_<