Di tengah malam, hujan turun begitu lebat. Suara
air alam yang berjatuhan membuat malam tak lagi sepi. Di sebuah rumah,
perjuangan menanti sebuah kelahiran tengah berlangsung. Seorang ibu tengah
bertarung dengan maut demi melahirkan seorang putra.
“Ayo Nyah, kurang sedikit lagi,” seru seorang
wanita paruh baya memegang erat tangan wanita yang sedang bertarung dengan maut
itu.
Wanita itu berusaha sepenuh tenaga, keringat
mengucur dengan deras di dahi, leher, bahkan tangannya pun basah oleh keringat
hingga kemudian senyuman mengakhiri ketegangan malam itu.
“Nyah, selamat atas kelahiran putri pertama
Nyonyah,” wanita paruh baya itu bersemangat, ia sangat gembira sembari mengelap
peluh di tubuh majikannya. Bidan pun tengah membersihkan tubuh si bayi yang
baru saja lahir.
“Putri? Hah... hah... hah...” tanya wanita cantik
itu sambil terengah – engah. “Ku pikir laki – laki. Hah... hah... hah...”
“Tapi putri Nyonya akan tumbuh menjadi wanita
secantik Nyonyah,” hibur si wanita paruh baya.
“Masa bodoh... hah.. hah...” kata majikannya acuh.
“Setelah ini Mbok Par saja yang urus bayi itu, waktu saya sudah banyak terbuang
karna bayi itu,”
Wanita yang disapa Mbok Par itu terdiam. Ia
menyimpan kekecewaan pada majikannya sekaligus iba pada bayi perempuan yang
baru saja lahir itu. Dalam hati ia bertekad tidak akan pernah membuat bayi itu sedih,
ia sendiri yang akan selalu mencurahkan kASIh sayangnya sedalam lautan pada
bayi malang itu.
*
“Namanya Kinanti. Sudah, cepat bawa pergi.
Tangisannya bisa buat telinga saya pecah,” kata Miranda, sang Nyonya besar yang
sangat cantik dan elegan.
“Tapi bayi itu, maksud saya Kinanti belum minum
ASI Nyah,” ujar Mbok Par sambil menggendong bayi yang tengah menangis.
“Saya kan sudah beli susu formula, Mbok,” Miranda
menahan geram sambil menaburkan bedak di pipinya yang lembut. Ia tengah bersiap
– siap untuk menghadiri sebuah acara yang diperuntukkan bagi orang – orang
kelas jetset. “Dengar ya, mulai sekarang saya tidak mau dengar keluhan apapun
tentang Kinanti. Saya sangat sibuk, kamu kan sudah saya kASIh kepercayaan untuk
mengurusnya,” lanjutnya.
Mbok Par terdiam. Ia undur diri sambil terus
menina-bobokan Kinanti si bayi mungil yang tengah menangis. Ia terus berjalan
melewati taman yang dipenuhi hiasan – hiasan bunga indah. Mbok Par pernah melihat
di acara televisi kalau bayi baru lahir lebih baik menerima ASI daripada susu
formula. Terbesit dalam hatinya untuk memberikan ASI kepada Kinanti. Ia sendiri
baru saja melahirkan seorang bayi perempuan satu bulan yang lalu. Namun malang
anak semata wayangnya itu meninggal karena terserang panas berkepanjangan. Di
awal usia 40 tahunnya itu, sang adik menawarinya bekerja di sebuah keluarga
kaya tempatnya sekarang berada. Mbok Par yang hidup sendirian di desa akhinya
menerima tawaran tersebut untuk mengusir sepi dan kesedihan yang mewarnai
hidupnya.
“Kalau Nyonyah tidak mau memberikan kasih sayang,
bahkan ASI pada anak ini, maka aku saja yang menggantikannya. Mungkin Gusti
Allah memberiku ganti atas kematian Sari. Aku tidak boleh menyia-nyiakan
kesempatan dari Gusti Kuasa,” batin Mbok Par.
Mulai hari itu Mbok Par memberikan ASI eksklusif
pada Kinanti kecil secara sembunyi – sembunyi. Ia merawat Kinanti dengan penuh
kasih sayang, bahkan ia tak pernah mengeluhkan apapun lagi majikannya yang
super sibuk dengan dunia kerja.
Berbeda dengan Miranda, Antoni yang merupakan ayah
kandung Kinanti ketika pulang dari luar negeri sebulan sekali selalu menanyakan
kabar putri semata wayangnya itu. Ia belajar menggendong putrinya dan selalu
mengirimkan mainan – mainan baru. Kamar Kinanti juga dihias dengan begitu
cantik sesuai keinginan sang ayah.
“Apa Miranda pernah menggendong Kinanti?” tanya
Antoni suatu hari pada Mbok Par.
“Belum pernah, Tuan,” jawab Mbok Par pelan.
“Sayang sekali,” pria bertubuh tegap berumur 30
tahunan itu murung. “Seharusnya ia sebagai ibu memperhatikan anaknya. Aku akan
membujuknya lagi. Mbok Par tolong rawat bayi saya. Saya sangat bersyukur ada
Mbok Par disini,”
“Tentu saja, Tuan. Saya akan selalu merawat Non
Kinanti,” jawab Mbok Par senang. Setidaknya di keluarga ini masih ada yang
menyayangi bayi mungil itu.
Mbok Par selalu mengingat kata – kata Antoni untuk
merawat putrinya. Hingga Kinanti beranjak besar pun ia selalu mendekatkan
Kinanti dengan figur sang ayah, sedangkan ia tidak berani mengusik banyak hal
tentang Miranda.
*
Seorang gadis kecil berusia 5 tahun turun dari mobil Honda Jazz
hitam. Ia segera berlari menuju dapur rumahnya sambil menangis.
“Ibuuuuuuukkkkk,” serunya sambil memeluk tubuh
besar Mbok Par.
“Ibu siapa Non?” Mbok Par terkejut.
“Ibu kenapa gak dateng ke sekolah? Cuma Kinan yang
gak didampingi ibu waktu mewarnai tadi. Huhuhu,” Kinanti menangis dan memukul –
mukul Mbok Par.
Mbok Par terkejut, rupanya Kinanti mengartikan
dirinya sebagai ibunya. Baru kali ini Kinanti memanggilnya ibu, padahal sehari
– hari selalu memanggilnya ‘Mbok Par’. Sesungguhnya hati kecil wanita paruh
baya ini begitu bahagia, tapi apa jadinya nanti bila Kinanti selalu
memanggilnya Ibu? Lalu bagaimana dengan perasaan majikan perempuannya?
“Non Kinan, Mbok Par kan sudah bilang, ibu Non
Kinan itu Nyonyah Miranda. Mbok Par cuma pengasuh Non aja. Mbok sudah bilang
sama Nyonyah kalau Non hari ini ada kegiatan lomba mewarnai. Tapi Nyonyah tadi
terjebak macet,” terang Mbok Par. Sebenarnya ia memang sudah mengatakan pada Miranda
tentang Lomba Mewarnai di TK. Padu tempat Kinanti bersekolah, tapi Miranda
berkilah ia banyak urusan kantor yang belum terselesaikan.
“Mbok Par jahat! Aku gak peduli sama Mama, aku
pengennya Mbok Par yang dateng ke sekolah,” Kinanti terus memukuli Mbok Par
sambil menangis.
“Iya Non, nanti Mbok Par dateng deh kalo Non ada
acara lagi. Sekarang Non jangan nangis terus,” hibur Mbok Par.
“Janji ya harus dateng lain kali?” tanya Kinanti
sambil sesengukan.
“Janji Non,” kata Mbok Par.
“Ya udah aku percaya. Awas lho ya!” Kinanti
mengusap matanya kemudian pergi ke kamarnya.
Di ruang tengah Kinanti berpapasan dengan Miranda
yang sedang sibuk memasukkan dokumen – dokumen ke dalam tas kantor, karena
terburu – buru salah satu dokumennya jatuh terselip di bawah meja tanpa
sepengetahuannya. Kinanti segera mengambil dokumen itu.
“Mama, bukunya ketinggalan,” Kinanti berlari
menghadang langkah ibunya.
“Oh iya. Makasih ya,” Miranda mengambil dokumen
itu dari Kinanti. Kemudian ia menghentikan langkahnya sejenak lalu mengamati
wajah putrinya. “Kalau sudah besar, kamu harus seperti Mama. Pakai baju kantor
seperti ini, bawa buku – buku seperti ini ya,” ia kemudian mengusap kepala
anaknya lalu pergi.
Kinanti hanya terdiam. Ia berpikir, apa enaknya
jadi orang yang serba terburu – buru? Ia sama sekali tidak tertarik menjadi
seperti ibunya.
*
11 tahun kemudian...
“Mbok Par, Mbok... Dasiku dimana?” Kinanti mencari
Mbok Par di dapur. Ia melihat Mbok Par terbatuk – batuk sambil memukul – mukul
dadanya. “Mbok masih belum sembuh ya?”
Mbok Par hanya menggeleng – gelengkan kepala
sambil terus memukuli dadanya.
“Ayo kita ke dokter,” Kinanti memapah tubuh renta
Mbok Par.
“Non sekolah aja. Katanya sekarang pemilihan Ketua
OSIS,”
“Nggak, kita sekarang ke dokter,” Kinanti
bersikeras.
“Aduh Non, Mbok gak apa-apa. Nanti bisa ke dokter
dianterin supir. Non sekolah aja. Mbok dukung Non jadi ketua OSIS. Jangan
kecewain Mbok ya,” kata Mbok Par.
“Nggak, kita ke dokter,” jawab Kinanti kukuh. “Pak
Aji, ayo kita bawa Mbok Par ke dokter,” kata Kinanti. Pak Aji yang lagi asik
menonton bola pun turun untuk membantu Kinanti membopong Mbok Par.
“Adudududuh, Mbok gak kenapa – kenapa Non. Ayolah
Non, jangan buat Mbok kecewa. Non sekolah aja ya?” Mbok Par memohon.
“Kesehatan Mbok yang paling utama. Jadi kita ke dokter
aja,”
“Non ke sekolah aja, kan ada saya Non,” kata Pak
Aji menimpali.
“Ke sekolah aja ya Nak, jangan kecewakan Mbok
Par,” bujuk Mbok Par lagi.
Mendengar Mbok Par memanggilnya ‘Nak’, hati
Kinanti terenyuh. Ia selalu ingin mendengar Mbok Par memanggilnya demikian.
Matanya berkaca – kaca.
“Ya sudah, aku sekolah Mbok. Ini, Mbok bawa
hapeku. Nanti kalau aku telpon harus Mbok angkat ya,” Kinanti menyerahkan
ponselnya pada Mbok Par.
“Aduh, ini hape apa sih Non? Mbok gak ngerti pake
Beri-beri,” keluh Mbok Par.
“Oh iya lupa. Ini, bawa yang ini aja,” Kinanti
menyerahkan ponselnya yang merupakan keluaran lama.
“Kalo ini Mbok lumayan ngerti. Ya sudah, Non
berangkat aja ke sekolah bawa mobil yang putih itu,”
“Kinan naik bus aja. Ini kan masih pagi juga
Mbok,” Kinanti lalu berpamitan dan mencium tangan Mbok Par serta Pak Aji.
Melihat gadis cantik berambut panjang itu pergi,
Mbok Par dan Pak Aji hanya tersenyum.
“Dia itu beda ya sama anak orang kaya lainnya,”
ujar Pak Aji.
“Iya. Semoga aku masih bisa mendampinginya sampai
dia menikah,” timpal Mbok Par.
“Ngomong apa sih kamu, Par. Dia itu gak bisa hidup
tanpa kamu, cuma kamu yang dia sayangi setulus hati,” kata Pak Aji.
Mendengar perkataan Pak Aji, Mbok Par semakin
senang. Semoga ia bisa terus mendampingi Nona Mudanya itu hingga tua nanti.
(Bersambung)